Senin, 12 Oktober 2015

Lelaki Yang Menggambar Sebuah Pohon Kecil


Hari Sabtu sore, seorang lelaki tampak duduk di sebuah batu kali besar yang teronggok di bawah naungan pohon tanjung. Sebuah potongan papan dijadikannya alas duduk agar terasa nyaman. Angin mengalun lembut, membelai rumputan, mencumbui dedaunan. Alam bergerak bersama, beresonansi, bersimfoni. Lalu lintas yang melengkungi taman itu tidak terlalu ramai. Satu dua kendaraan berlalu. Segerombolan anak muda berjalan menuju kantor Telkom yang berjarak selemparan batu dari tempat lelaki itu duduk. Seorang pekerja bangunan tampak mengamati lelaki itu dari balik pondasi padepokan pencak silat yang pengerjaannya belum jua rampung setelah sekian lama itu.

Untuk mengisi waktu, awalnya lelaki itu ingin membaca buku sebagaimana kebiasaannya yang selalu membawa bahan bacaan di dalam tasnya. Tapi ternyata buku yang dicarinya itu tertinggal di mobil yang diparkir di pinggir jalan sana. Lelaki itu kemudian melongok lagi ke dalam tas selempangnya dan mendapati sebuah buku catatan berkaver hitam koral. Lelaki itu lalu mengeluarkannya, membuka kompartemen lainnya yang cukup banyak itu demi mencari pensil atau pulpen atau alat tulis apapun yang ada di sana. Ia lalu menemukan pulpen berujung kecil dengan tinta hitam yang sedikit meluber di bagian ujungnya. Matanya menerawang ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu. Atau menggambar sesuatu. Sebuah pohon tanjung, pohon palem, semak bunga bougenville, tiang listrik, rumput kering, tugu Adipura, aspal yang memantulkan cahaya matahari sore yang lembut, bayang-bayang Masjid Agung di balik rimbun pepohonan, semuanya itu belum juga membuat tangannya bergerak.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah pohon kecil yang tumbuh tak jauh dari tempatnya duduk. Dipandanginya pohon kecil, sepertinya itu pohon tanjung, yang dedaunannya berwarna hijau tua itu. Desau angin menggoyang-goyangkan ujung daunnya. Seperti penari yang sedang melenggak-lenggokkan pinggul dan tangannya seirama nada. Sinar matari sore yang lembut memagut permukaan daunnya yang sedang bergoyang-goyang itu. Ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, semut merayapi bagian bawah batang pohon kecil itu. Dunia lalu menciut menjadi hanya antara lelaki itu dan sebatang pohon kecil dihadapannya itu. Matanya yang sedari tadi tampak gelisah, kini tertuju tajam pada pohon kecil itu saja. Tangannya bergerak, jemarinya bergerak, isi kepalanya bergerak. Lelaki itu mulai menggambar sebuah sketsa.

Mulanya adalah sebuah daun, lalu dua buah, tiga buah, dan berlembar-lembar daun digambarinya. Ia lalu menarik garis lurus dari atas ke bawah, membuat batang dan cabang-cabangnya yang mungil, mengarsir beberapa bagian, dan membuat garis-garis yang membentuk tulang daun itu baik secara horizontal maupun diagonal. Sebuah gerobak bakso dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkok keramik melewati taman itu. Namun ia tampak bergeming, ajeg dengan pohon kecil yang sedang digambarnya kala itu.

Selesai menggambar pohon, meski tak sempurna, lelaki itu lalu menggambar potongan balok kayu yang tergeletak pasrah di dekat pohon kecil itu. Dibuatnya sebuah garis, lalu dua buah garis, dan garis-garis lainnya yang bersatu menjadi sebentuk trapesium berdimensi tiga. Diarsirnya beberapa bagian agar tampak dramatis dan dibuatnya sekerat bayangan yang jatuh di sisi sebelah kirinya, karena matahari berada di balik punggung lelaki itu yang terlindung oleh naungan rimbun pohon tanjung.

Setelah pohon dan balok, lelaki itu lalu menambahi aksen tanah dan rerumputan yang mengelilingi pohon dan balok itu. Mulanya ia menambah segaris di sebelah kanan, segaris di sebelah kiri, lalu dua tiga dan bertumpuk-tumpuk garis di sekitarnya hingga membentuk sekumpulan rumput. Atau setidaknya seperti itulah menurutnya.

Gambar itu belum usai ketika seorang lelaki lainnya berperawakan besar, memanggul tas punggung, dan bermata agak sipit mendatanginya dengan senyum terkembang. Lelaki itu menyudahi ritual menggambar pohon kecil, balok kayu, dan rerumputan yang sejak sepuluh menit terakhir menguasainya itu dan menyapa lelaki yang baru saja datang itu. Ia menggumam perlahan, hanya dirinya saja yang bisa mendengar suaranya, bahwa kerja hari ini ibarat menyemai sebuah bibit yang lahir dari kegelisahan, termasuk juga optimisme, yang selalu menyemang di dalam lubuk jiwanya yang terdalam. Jauh di dalam hatinya, lelaki itu merapalkan doa kepada Sang Pemilik Mayapada, agar diberinya ia kekuatan dan kesabaran, juga ketekunan dan kelapangdadaan, ketika membersamai tumbuh kembang bibit itu hingga bertemu dengan takdirnya, semoga takdir yang baik, di masa depan. Semoga. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Oktober 2015
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar