Kamis, 22 Oktober 2015

Pagi Itu


Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi yang lain, yu Gendis menangis. Ia ngambek karena nggak ada yang mau memandikannya. Istriku sedang berganti baju dan aku sedang mengangkut barang-barang ke dalam mobil. Aku dan istri nyaris berdebat sebelum akhirnya putri sulungku, Azka, mengambil alih menampung permintaan Gendis. Dengan lembut, dibujuknya sang adik untuk mandi. Ia lalu menuntun adik bungsunya itu membuka baju dan digiringnya ia ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Aku tidak memerhatikan bagaimana anak sulungku itu memandikan adiknya. Aku mencoba mempercayainya dan membiarkannya ngopeni adiknya.

Mbak Azka sekarang sudah berusia enam setengah tahun. Sudah kelas 1 SD dan sudah bisa membaca sendiri. Ia pembelajar yang cepat tapi mudah bosan. Meski tak jarang berlaku menyebalkan, ia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi anak yang manis dan kakak yang penyayang kepada adik-adiknya. Berbeda dengan ci Fidel yang usilnya nggak karuan, mbak Azka cenderung protektif dengan adik-adiknya meski kalau egoisnya lagi kumat dia akan jadi kakak paling pelit sedunia.

Tadi siang, aku membaca buku Munif Chatib yang berjudul Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata. Buku itu merupakan sebuah novel yang bercerita tentang anak disleksia. Aku belum membacanya sampai tuntas, baru masuk ke bab empat, sepertinya. Dituturkan dengan sederhana dan ringkas, meski objek ceritanya nggak sesederhana dan seringkas gaya berceritanya. Ketika membaca di bagian awal buku itu, aku langsung teringat dengan momen ketika anak-anakku lahir ke dunia ini. Selain mbak Azka yang lahir ketika aku sedang shalat subuh di masjid RSUD Luwuk, kelahiran kedua adiknya aku saksikan secara langsung. Aku menggengam tangan istriku yang mengejang kuat-kuat ketika itu. Aku masih ingat dengan suasananya, udaranya, warna langitnya, bau-bauannya.

Kini, telah bertahun-tahun peristiwa yang menakjubkan itu berlalu. Aku sempat melihat-lihat foto anak-anak ketika mereka masih bayi dulu. Aku menonton video saat aku memandikan mbak Azka yang direkam oleh istriku, juga polah-tingkah adik-adiknya yang menggemaskan. Betapa semuanya begitu cepat lewat. Anak-anak semakin besar, usiaku pun semakin menua, meski aku merasa masih sangat muda. Sering aku mengamati anak-anak yang sedang bermain bersama yang kerap berakhir dengan pertengkaran dan tangisan. Memerhatikan mimik mereka ketika marah, atau menangis, dan tertawa. Di bening matanya, terpantul kepolosan yang tanpa dosa. Memandangi itu aku langsung teringat dengan dunia yang fana ini. Betapa beratnya masa depan kalian, nak.

Selesai membaca buku itu, aku menelepon istriku yang sedang berada di rumah orangtuanya di Simpong. Kutanya apakah anak-anak sudah makan atau belum, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sudah belanja ini dan belanja itu atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Sayup-sayup kudengar suara salah satu putriku di belakang sana. Usai menelepon, aku jadi terpikir untuk menulis sesuatu, dan jadilah tulisan ini. Aku tak tahu, tulisan ini membahas tentang apa. Kubiarkan semua mengalir begitu saja.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluargaku, dan keluarga kita semua. Aamiin. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015
Reaksi:

1 komentar: