Judul : Growing Up Bin Laden
Pengarang : Jean Sasson, Najwa Ghaneem, Omar bin Laden
Penerbit : Literati
Tebal : 543 halaman
Harga : Rp. 109.000
“Aku sama sekali tak seperti ayah. Ketika dia menginginkan perang, aku menginginkan perdamaian. Dan kini kami mengambil jalan hidup yang berbeda, masing-masing menganggap diri kami benar. Ayah telah membuat pilihan, dan aku pun demikian. Aku, akhirnya, adalah penguasa bagi diriku sendiri. Aku tak keberatan hidup dengan cara itu.”
[Omar bin Laden]
[Omar bin Laden]
Pertama kali melihat buku ini dipajang di etalase sebuah toko buku online, saya langsung tertarik untuk memilikinya. Berita kematian Osama bin Laden di Pakistan (berdasarkan klaim pihak militer US) yang terjadi beberapa hari yang lalu salah satu faktor ketertarikan saya itu. Walaupun ada banyak pro dan kontra seputar berita yang, bagi saya, masih sangat diragukan kebenarannya itu, sosok seorang Osama bin Laden yang penuh kontroversi menggelitik saya untuk mengetahui pribadinya secara mendalam.
Tak banyak memang buku-buku yang membahas sosok Osama bin Laden dari sumber terdekatnya, keluarganya. Sebelum Growing Up Bin Laden terbit, sudah ada beberapa buku yang membahas tentang The Most Wanted Family On Earth ini, seperti yang ditulis oleh Carmen bin Laden, yang sayangnya bukan ditulis oleh seorang bin Laden murni berhubung Carmen adalah istri dari saudara tiri Osama. Atau buku yang berjudul The Bin Laden yang ditulis oleh Steve Coll yang meskipun menuai banyak pujian tapi, sayangnya, tidak memuat data yang berasal dari sumber pertama di keluarga Bin Laden. Jadi, buku memoar ini bisa dikatakan sebagai sumber tervalid (mungkin untuk saat ini) yang berceritera tentang kehidupan seorang Osama bin Laden dari sumber yang paling dekat dalam hidupnya: Najwa Ghaneem, istri pertama Osama, dan Omar bin Laden, putra keempat Osama yang “gagal” diproyeksikan untuk menjadi The Next Osama.
Growing Up Bin Laden ini ditulis oleh Jean P. Sasson, seorang penulis wanita berkebangsaan Amerika yang sudah menghabiskan waktu puluhan tahun hidupnya untuk menulis buku-buku seputar kehidupan masyarakat Saudi. Sebagaimana penulis barat kebanyakan, tema-tema yang diangkat oleh Mrs. Sasson, seperti biasa, penuh dengan kontroversi. Ada banyak bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang cukup terkenal adalah trilogi The Princess yang mengisahkan tentang sisi lain kehidupan keluarga kerajaan Saudi yang, sebagaimana saya sebut sebelumnya, penuh dengan kontroversi.
Kembali ke bin Laden.
Najwa Ghaneem mengawali buku ini dengan kisah di masa kecilnya di Latakia, sebuah kota pelabuhan di Suriah. Kenangan-kenangannya akan negeri indah di sisi laut Mediterania itu, yang dilanjutkan dengan pertemuannya yang pertama kali dengan Osama, yang merupakan sepupunya, sampai akhirnya mereka menikah. Najwa Ghaneem mengakui bahwa Osama adalah seorang lelaki yang sudah membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama. Sosok Osama yang pendiam mendorong rasa penasaran Najwa untuk mengenalinya lebih mendalam. Setelah melalui usaha yang tak terlalu mulus, Osama dan Najwa akhirnya menikah di tahun 1974. Saat itu Osama berusia 17 tahun dan Najwa berusia nyaris dua tahun lebih muda. Tak lama kemudian, Osama dan Najwa pindah dari Suriah ke Jeddah.
Di Jeddah inilah Omar bin Laden terlahir sebagai putra keempat Osama pada tahun 1981 setelah sebelumnya tiga kakak laki-laki Omar lahir: Abdullah, Abdul Rahman, dan Sa’ad. Perkenalannya dengan Abdullah Azzam, tokoh karismatik asal Palestina yang menggelorakan semangat keislaman Osama yang belakangan menjadi ikon perlawanan bangsa Afghan saat perang melawan Uni Soviet, serta invasi negari beruang merah itu ke Afghanistan pada tahun 1979 merubah pola pikir seorang Osama sehingga hari-harinya menjadi sibuk dengan penggalangan dana untuk membantu perjuangan saudara-saudara muslimnya di Afghanistan. Sebagai seorang organisatoris dan juga aktivis, Osama adalah orang terbaik yang bisa melakukannya.
Sebagai salah satu penyandang dana terbesar dan juga promotor paling berpengaruh di kawasan Arab yang selalu menyerukan donasi kepada Afghanistan, sosok Osama menjadi kian terkenal di mata internasional. Usaha yang awalnya hanya berkisar pada pengumpulan dana dan juga penyediaan logistik perang ini semakin berkembang. Osama merasa tak cukup hanya berpartisipasi di balik layar. Oleh karenanya, setelah setengah dekade ia menghabiskan waktunya untuk melakukan penggalangan dana, Osama mulai aktif terjun ke dalam perang Afghan-Soviet bersama mentor spiritualnya, Abdullah Azzam.
Melalui sudut pandang istri pertama dan putra keempatnya, sepak terjang Osama memberikan beragam tanggapan bagi mereka berdua. Sebagai seorang istri yang selalu taat dan begitu mencintai suaminya, Najwa Ghaneem tidak mempermasalahkan jalan yang ditempuh oleh Osama meski usaha itu berisiko menghilangkan nyawanya. Ia selalu mendukung apa yang dilakukan oleh suaminya itu, meski terkadang isi hatinya berkata bahwa apa yang dilakukan oleh suaminya sudah lebih dari cukup.
Saat membaca kisah yang dituturkan oleh Najwa, saya agak sedikit heran dengan pribadi Osama yang tidak terbuka meski kepada istrinya sendiri. Pada beberapa bagian, saya melihat kekhawatiran yang melanda Najwa tidak dicover dengan penjelasan yang memadai dari suaminya tentang apa yang sebenarnya dia lakukan. Saya pun jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah tidak pernah ada komunikasi dua arah antara suami dan istri itu sampai sang istri harus berakrobat sedemikian rupa untuk mengasuh anak-anaknya saat sang suami pergi berjihad ke Afghanistan? Osama mungkin sudah menyediakan banyak hal dari segi materi, meski tak semuanya memadai karena pandangan sempitnya tentang modernisasi, tapi perhatian dan juga kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya, yang jumlahnya tidak sedikit, ternyata cukup sulit saya dapatkan tercantum di buku ini. Ada beberapa bagian di buku ini yang merekam kegelisahan anak-anak Osama karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka.
Lain halnya dengan Omar. Sebagai anak yang paling perasa di antara putra-putri Osama yang lain, Omar tidak bisa menerima begitu saja apa yang dilakukan oleh ayahnya. Pemberontakan Omar terhadap ayahnya terekam dengan baik di buku ini, dengan subjektifitas yang kental tentunya. Omar merasa bahwa ayahnya terlalu ketat dalam menjalankan agama sehingga ia, saudara-saudaranya, dan juga ibunya, menjadi tersiksa karena ketatnya aturan yang diberikan oleh sang ayah. Di bagian awal buku ini, kita akan mendapati pribadi Omar yang dipenuhi dengan kegelisahan, ketidakpuasan, dan juga kekecewaan terhadap sosok ayahnya. Diliputi ketatnya aturan sang ayah dan hausnya kasih sayang seorang anak, yang sayangnya tidak mendapat respon memadai dari sang ayah, Omar tumbuh menjadi anak yang penyendiri dan pendiam.
Di buku ini kita juga akan melihat potret keluarga Osama secara jelas dan gamblang. Bagaimana kehidupan keluarga mereka yang kaya harus berakhir dengan sangat “mengenaskan” saat mereka harus diusir ke pegunungan Tora Bora di Afghanistan. Ada beberapa bagian yang menarik selain fokus penulis pada kedua tokoh Omar dan Najwa ini. Di antaranya adalah poligami Osama yang berjalan tanpa masalah, walau ada yang berakhir dengan perceraian, tapi itu pun berakhir dengan cara yang baik. Osama adalah lelaki yang sangat menghormati wanita dan begitu mencintai ibunya, begitu setidaknya kesan yang bisa saya dapat dari buku setebal 500an halaman ini.
Ada banyak blank information di buku ini tentang pribadi Osama yang sesungguhnya. Ketertutupan Osama terhadap anak dan istrinya, hanya bisa ditafsirkan sepenggal-sepenggal oleh Najwa dan Omar, tentunya dengan penilaian subjektif dari mereka berdua. Sehingga, walau buku ini, untuk sementara, adalah buku yang cukup intim membahas Osama, apa yang menjadi kegelisahannya terhadap Islam dan Barat tetap belum terekam dengan maksimal. Tapi usaha penulis layak diacungi jempol, terutama saat merangkai kenangan Najwa dan Ghaneem melalui beberapa bagian, sehingga membaca memoar ini laiknya membaca sebuah cerita novel.
Selain testimoni Najwa dan Omar, yang diakui penulisnya sebagai pengutipan sepenuhnya tanpa mengubah isi cerita, penulis juga mencantumkan opini pribadinya di beberapa bagian. Buku ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar eksklusif keluarga Osama, data lengkap keluarga dan apa yang serta kronologis kejadian-kejadian penting mulai dari kelahiran Osama sampai tahun 2009, tahun disusunnya buku ini.
Sebagai orangtua, saya cukup kecewa dengan pola pendidikan yang diterapkan oleh Osama kepada keluarganya. Tanpa kompromi, minim komunikasi, dan penuh dengan dominasi. Beberapa di antaranya adalah penolakan Osama dengan kehidupan modern yang, menurut saya, sangat keterlaluan, pengekangan yang dia lakukan kepada anak-anaknya untuk menikmati masa kanak-kanak mereka, dan juga, ini yang paling mengecewakan, pola komunikasi yang cenderung searah dan tidak memberi ruang untuk perbedaan pendapat. Saya tadinya berharap, dibalik sisi kontroversi seorang Osama, terdapat sisi-sisi menyejukkan yang ia hadirkan ke dalam keluarganya, tapi ternyata harapan saya menemui jalan yang cukup terjal. Osama bin Laden mungkin bisa dibilang “sukses” menjadi seorang inspirator jihad bagu sebagian kalangan, aksinya banyak dipuji dan juga militansinya untuk membela Islam layak diperhitungkan, meski penuh kontroversi, tapi sebagai kepala keluarga Osama, secara naif, bisa dikatakan gagal untuk menyeimbangkan aktifitasnya di luar rumah dengan kewajibannya sebagai seorang ayah dan sebagai kepala keluarga.
Oh iya, di buku ini kita juga akan mendapatkan informasi berharga mengenai perselisihan Osama dengan keluarga besar kerajaan Arab Saudi serta pendapat-pendapatnya tentang para pejabat kerajaan, tentu saja melalui lisan seorang Omar. Selebihnya silakan Anda baca sendiri.
Membaca buku ini, saya jadi teringat dengan salah seorang tokoh besar Islam, yang telah berhasil membumikan fikrohnya hingga lebih ke 80 negara, Hasan Al Banna. Betapa beliau mampu menyeimbangkan kesibukannya di luar rumah dengan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Betapa Hasan al Banna telah berhasil mentarbiyah anak, istri, dan juga keluarga besarnya untuk bisa menerima, bahkan ikut terlibat, dalam usaha dakwahnya mulai dari skala Mesir dan Timur Tengah, hingga akhirnya mendunia.
Apa pendapat Anda tentang pengakuan seorang anak terhadap ayahnya di bawah ini?
“Kehidupan terasa menyenangkan ketika ayahku berada jauh, jauh sekali” [Omar bin Laden, halaman 124]
Bandingkan perkataan Saiful Islam al Banna tentang ayahnya, Hasan Al Banna.
“Ayah, semoga Allah merahmatinya, sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu hati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah untuk mentaatinya. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa demikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mau melawannya.” [Saiful Islam Al Banna, Ada Cinta Di Rumah Hasan Al Banna hal. 39]
Nah.
[wahidnugroho.blogspot.com]
Simpong, Juni 2011
0 celoteh:
Posting Komentar