Kamis, 30 Juni 2011

Tentang Marah

Rihlah peringatan Hari Keluarga Rabu (29/6) kemarin menyisakan banyak cerita. Salah satu yang saya dan istri ingat adalah sambutan yang disampaikan oleh ustadz kami, Iswan Kurnia Hasan Lc. Dalam sambutan singkatnya, beliau mencuplik sedikit cerita dari istri almarhum Haji Subhan yang terus-menerus pingsan saat mengenang sosok suaminya yang luar biasa itu. Dimana luar biasanya?

Ustadz Iswan berkata bahwa sepanjang usia pernikahan mereka tak pernah sekalipun almarhum memarahi istrinya. Itulah sebabnya, saat sang istri mengingat kembali momen itu, ia langsung jatuh pingsan berulang kali. Saya takjub. Sebagian besar keluarga yang menghadiri acara itu juga takjub. Anda yang membaca tulisan ini mungkin akan berdecak kagum dengan “ketangguhan” sang suami tersebut.

Saya pernah mendengar kisah lain yang sedikit berbeda tapi substansinya sama: kesabaran. Syahdan ada seorang suami yang tak pernah mengeluhkan masakan istri, baik enak maupun tidak. Saya tidak tahu secara persis bagaimana kelanjutan kisah ini, apakah sang istri tetap nyaman dengan ketidak-bisa-masaknya, atau sebaliknya. Terus terang saya tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya.

Kemarin siang, ketika kami berempat dalam perjalanan pulang ke rumah, istri saya menceritakan kembali kisah tentang almarhum Haji Subhan itu kepada saya. Sebabnya bagi istri saya jelas: saya termasuk kriteria suami yang sering memarahinya, sehingga istri saya perlu untuk membangkitkan kembali cerita itu untuk menyindir saya. Jawaban saya saat disindir seperti itu singkat saja, “Saya ini Wahid, bukan Haji Subhan!”. Intonasi saya jelas dan tegas.  

Di sisi lain, saya jadi merasa sedikit bersalah – sekali lagi: sedikit – dengan sindiran istri saya itu. Saya harus akui kalau saya bukanlah tipe suami yang seheroik dua kisah di atas. Ketika masakan istri saya tak enak, saya katakan dengan jujur. Ketika saya tak suka istri saya begini dan begitu, saya katakan terus terang. Ketika saya merasa tak nyaman, saya ungkapkan apa adanya. Saya memang tak suka memendam emosi dan lebih suka untuk mengungkapkannya.

Kadang, marah itu harus saya ungkapkan lewat kata-kata, kadang dengan diam. Bila emosi saya berada pada titik didih, saya biasanya diam atau memasang wajah masam. Saya bukan tipe suami yang marah dengan berisik. Biasanya, ketika emosi mereda, saya bicarakan permasalahan yang menggusarkan itu di dalam kamar ketika anak-anak sudah tertidur. Prinsip saya ketika sedang marah adalah, masalah tidak boleh dibawa tidur dan harus selesai hari ini juga. Kadang masalah itu selesai dengan singkat, kadang saya perlu mengulurnya beberapa jam.

Ketika mendengar dua kisah gemerlap di atas barusan, saya sempat sedikit tergoda untuk merubah diri menjadi sosok suami yang heroik tersebut, atau setidaknya mendekati. Tapi hasilnya justru membuat saya tak nyaman. Rasul saja pernah marah. Well, marahnya Rasul memang sangat beralasan, ada banyak kisah yang berserak tentang hal ini di dalam hadits beliau. Setidaknya alasan itu yang saya berikan kepada istri saya kemarin. Tapi sindiran itu cukup menggelisahkan saya, setidaknya membuat saya kembali mengintrospeksi diri, apakah saya sesering itu marah, atau memarahinya?

Jawaban atas pertanyaan saya di atas tentu hanya bisa dijawab oleh istri saya. Sekarang, sambil mencoba untuk berkompromi dengan godaan di atas, sepertinya saya butuh waktu sejenak untuk mengenang kembali saat-saat saya marah – dan memarahi – kepada istri saya. Apakah marah yang saya keluarkan itu sudah sesuai porsi dan situasinya, apakah marah yang saya lakukan itu sudah masuk akal alasannya, atau faktor-faktor lain yang menentukan konfigurasi dan komposisi emosi saya kepada wanita yang saya cintai itu.

Bismillah. [wahidnugroho.blogspot.om]


Simpong, Juni 2011
Ronda tengah malam.
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar