Selasa, 25 Desember 2012

Sebut Saja Namanya Joni

Sebut saja namanya Joni. Temannya Joni bernama, sebut saja juga, David. Joni berbadan atletis, berkulit hitam legam. Tindak-tanduknya cekatan dan tak malumalu bertanya kepada bosnya yang berdarah Chinese itu. David juga berkulit legam. Namun dia lebih pendiam ketimbang Joni. Ketika bosnya menyuruh dia melakukan ini, David menurut. Ketika bosnya memerintahkan itu, David menjalankan. Dimana saya kenal mereka berdua? Di toko bangunan saat saya sedang membeli ubin.

Dalam beberapa kesempatan yang sempit, saya menyempatkan bertanya beberapa hal kepada Joni. Sudah berapa lama kerja di sini, sudah berkeluarga atau belum, asal darimana, sampai soal yang sensitif: besaran gaji dan bonus yang dia terima. Joni komunikatif dan dia menjawab semua pertanyaan kurang adab saya dengan dalih basa-basi itu.

Saya pun akhirnya mengetahui kalau Joni ini berasal dari Bulagi, Banggai Kepulauan. Umurnya lebih muda setahun daripada saya. Dia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil. Sedangkan David belum berkeluarga. Yak benar, keduanya Nasrani. Hal itu saya ketahui ketika Joni berkata bahwa dia akan pulang kampung untuk merayakan Natal bersama keluarganya. Begitu juga David.

Sore itu, menjelang tutup toko, saya membeli sekitar lima puluh dos ubin berukuran sekian kali sekian. Karena saya nggak punya mobil bak, dan karena mobil si Ko’ bensinnya cuman sedikit, maka saya mengontak teman saya yang punya angkot untuk saya sewa mengangkut ubin-ubin yang beratnya membahana itu. Saya menjanjikan kepada si Ko’ bahwa nanti saya yang tanggung biaya angkut dan biaya antarnya. Saya juga minta kepada Ko’ supaya nanti si Joni dan David yang ikut dengan saya. Si Ko’ yang murah senyum itu menyetujui usulan saya.

Sesampai di tempat yang dituju, kedua pegawai toko bangunan itu dengan cekatan langsung membongkar muatan yang lumayan banyak itu. Awalnya saya mencoba untuk membantu, namun ternyata kardus berisi ubin itu lumayan berat. Walhasil saya mundur dan melihat kerja mereka berdua dari teras rumah.

Ketika semua ubin sudah dipindahkan dari dalam mobil ke dalam rumah, saya berbicara lagi kepada Joni. Sedangkan David berada tak jauh dari kami berdua.

Saya tanya kepada Joni, “Kapan mo pulang ka Bulagi?”

“Sobantar malam, Pak”, jawab Joni.

 “So beli hadiah natal buat nga pe anak?”, tanya saya lagi.

“Belum, pak”, jawabnya sambil tersipu.

Saya lalu membuka tas selempang mungil saya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Saya serahkan uang itu kepada Joni.

“Ini dari saya buat ngana. Sekian nga kase buat David, sekian nga ambe buat ba bili hadiah natal. Terima kase so bantu saya ba angkat tegel kamari e”, ujar saya.

Joni dan David saling beradu pandang. Mungkin mereka bingung ada orang berjenggot tipis (berkumis tipis dan berdompet tipis juga :hammer) bercelana cingkrang yang selalu ngomong “salamlikum ane ente” di handphonenya itu menyerahkan hadiah buat mereka. Hadiah natal?

Karena uang yang saya sodorkan belum juga diterima, maka saya tarik tangan si Joni dan meletakkan uang yang tak seberapa jumlahnya itu kepadanya. Joni tampak sangat senang. Senyumnya mengembang. Begitu juga David. Keduanya kemudian mengucapkan terima kasih kepada saya. Karena keduanya senang, saya juga ikut senang.

Lalu untuk apa saya tulis ini? Buat pencitraan? Buat gaya-gayaan kalo saya ini dermawan gitu? Atau ada motif politis karena 2014 udah dekat (halah)?

Kok duitnya gak disumbang buat masjid? Buat anak yatim? Kok dikasih ke orang Nasrani? Buat Natalan pulak?

Anda yang membaca tulisan ini berhak menilai saya dengan nilai apapun. Saya tidak keberatan. Monggo. Saya hanya senang melihat orang lain senang. Dan saya senang menghargai kerja keras orang lain, siapapun dia, semampu yang saya bisa.

Jadi, sampeyan ngucapin Selamat Natal buat Joni dan David?

Mau tau aja atau mau tau banget? [wahidnugroho.com]



Muspratama, Desember 2012
Menjelang Maghrib 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar