Senin, 09 Juli 2012

Hidayat Nur Wahid

Tempo hari saya membaca sebuah tulisan dari salah seorang artis muda Indonesia bernama Panji Pra.. err, saya gak hafal nama panjangnya. Sebut saja namanya Panji. Kalau ada salah ejaan mohon dimaafkan.

Saya tidak kenal Panji, sebagaimana dia pasti tak kenal saya. Yang saya tahu, dia adalah artis muda yang cerdas, kritis, gaul – sebagaimana kebanyakan artis, dan cukup tampak sebagai pemikir. Setidaknya ini kesan yang saya tangkap.

Sebagai seorang artis, wajahnya cukup familiar, tentu. Saya pernah melihat beberapa acaranya di televisi. Beliau juga mantan host sebuah acara dialog interaktif khas anak muda di salah satu saluran televisi swasta yang membahas tema politik dan tema-tema sosial kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Acara yang sangat bagus di tengah-tengah gelombang hedonisme dan budaya pop yang melanda sebagian acara untuk kaum belia.

Oke, kembali ke soal tulisan.

Panji pernah membuat tulisan tentang dukungannya secara terbuka kepada salah satu calon kandidat Gubernur DKI. Sebuah tulisan yang sangat bagus, argumentasinya juga logis. Saya senang dengan tulisannya. Very open minded, sangat muda, dan aroma ‘beda’nya sangat kuat di sana. Menurut saya tulisan itu sangat layak diapresiasi, terlepas dari unsur subjektifitasnya yang saya kira itu sah-sah saja.

Saya juga ingin membuat tulisan berupa dukungan kepada salah satu kandidat Gubernur DKI. Sayang, saya bukan artis. Nama saya tidak terkenal sebagaimana Panji. Tapi itu tak masalah. Saya hanya ingin berusaha untuk jujur dengan hati saya sendiri sebagaimana Panji yang telah berupaya jujur dengan tulisannya.

Tulisan ini akan berbicara tentang sebuah nama: Hidayat Nurwahid, atau lazim diakronimkan sebagai HNW. Saya lebih nyaman menyebutnya Ustadz.

Saya tidak kenal beliau secara personal. Beliau juga pasti tidak kenal dengan saya. Lagi pula siapa saya sampai beliau harus repot-repot mengenal saya?

Soal kepribadiannya, soal apa dan siapa beliau serta lebih dan kurangnya, ada banyak tulisan yang telah beredar, baik secara digital maupun cetak, yang telah berbicara dengan sangat baik mengenai sosoknya. Tentang komitmen keislamannya, profesionalitasnya, serta integritas dan kebersahajaan hidupnya. Ini sudah menjadi rahasia umum yang nyaris semuanya bisa kita baca.

Sekian banyak tulisan dan informasi yang beredar tentang figurnya tentu akan melahirkan banyak tafsiran. Cari muka lah, pencitraan, kampanye atau apapun. Itu adalah hak mereka untuk berpendapat, dan saya tidak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Akan tetapi bagi Anda yang tak gampang lupa, informasi-informasi tersebut tentu sudah Anda dapatkan sejak bertahun-tahun yang lalu, lama sebelum beliau bertarung dalam pilkada DKI.

Kembali soal Ustadz.

Saya merasa bahwa saya tidak terlalu mengenal beliau secara pribadi karena saya belum pernah sekali pun bertemu dengannya. Saya belum pernah berbicara dengannya secara langsung, apalagi berdialog dan berdiskusi dengan beliau. Hanya kisah-kisah tentang beliau yang pernah saya baca dan dengar, sebagaimana Anda yang mungkin juga pernah mendengar kisah-kisah yang sama.

Lalu tulisan ini sebenarnya tentang apa?

Saya memang tidak mengenal beliau secara personal, tapi saya mengenali orang-orang yang berada di balik kerja-kerja beliau. Tidak secara personal, tentu saja, karena saya tidak pernah bertemu orang-orang itu secara langsung, sebagiannya. Tapi jiwa saya dan mereka serasa beresonansi, karena kedekatan fikrah dan ukhuwah tak kasat mata yang terjalin di antara saya dan mereka. Atas resonansi jiwa inilah mengapa saya mencintai dan mendukung beliau.

Terlalu absurd? Anda yang tidak mengalaminya mungkin tidak akan memahaminya karena saya sendiri merasa kesulitan untuk meredaksikan apa yang saya rasa ini dalam bentuk kata-kata. Kadang ungkapan cinta itu tidak membutuhkan penjelasan yang gamblang, karena abstraknya rasa. Anda yang pernah mencinta sesuatu pasti mengerti dengan perasaan cinta yang tak mudah dideskripsikan.

Karena tak mudah mendeskripsikan rasa ini, maka tulisan ini mungkin akan sedikit membingungkan bagi Anda yang sempat membacanya. Tapi tak apalah. Saya hanya ingin menumpahkan apa yang saya rasa dengan apa adanya.

Saya tak dibayar atau diperintah siapapun untuk menulis ini, lagipula siapa saya? Saya hanya satu dari sekian banyak anak bangsa yang dengan tulus hati mencintai dan mendukung beliau. Anda boleh menyebut saya fanatik, atau meredaksikan saya dengan istilah apapun. Silahkan. Saya tidak akan keberatan. Itu adalah hak Anda yang tidak akan saya gugat.

Saya ingin berdoa untuk kebaikan beliau dan keluarga, serta kebaikan bagi kita semua. Dan kepada para warga DKI Jakarta yang akan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 11 Juli 2012, semoga kelak terpilih pemimpin yang beriman, adil, serta dapat menjalankan amanahnya dengan baik dan mampu membawa  kemakmuran dan ketentraman rakyatnya. Semoga keberkahan melimpah bagi kita semua. Amin. [wahidnugroho.com]


H2, Juli 2012

Menjelang Subuh di kota Luwuk

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar