Beberapa saat yang lalu saya membaca tulisan seorang teman
soal resensi, bagaimana meresensi yang baik dan benar, serta teknik-teknik
tertentu agar resensi yang kita buat itu enak dibaca dan layak muat di media. Tulisan
itu sangat bagus dan sangat mencerahkan. Apalagi bila yang menulis adalah orang
yang pernah dan sedang berkecimpung di dalamnya. Tentu tulisan tersebut akan
lebih terasa bobotnya.
Saya sendiri mendapatkan banyak pelajaran yang berharga dari
tulisan tersebut. Sedikit banyak, saya merasa terkoreksi dengan beberapa poin
yang disebutkan sang penulis terkait dengan dunia resensi buku dan
pernak-perniknya.
Saya senang meresensi sebuah buku, atau anggap saja seperti
itu (Entahlah sepertinya saya terlalu percaya diri dengan mendeklarasikan coretan
kecil saya sebagai sebuah resensi?). Membicarakan buku yang sudah kita baca
ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ada terapi bagi jiwa dalam aktivitas
tersebut. Apalagi bila buku yang kita baca itu menerangi akal dan memberikan
kepuasan batin, serasa ada semangat ingin berbagi rasa itu kepada orang-orang
yang belum membacanya, serta mencoba untuk meresonansi jiwa-jiwa bersama orang
yang telah melahapnya. Ini pendapat saya.
Karena meresensi berhubungan dengan kepuasan batin, saya
merasa bahwa tulisan tentang sebuah buku tidak melulu berbenturan dengan
regulasi ini dan itu. Pendapat saya ini mungkin terdengar sedikit arogan dan
mengundang cemoohan, tapi setidaknya saya berusaha jujur dengan diri saya
sendiri.
Saya memang tak suka didikte, apalagi bila bicara soal
selera. Saya senang dan puas dengan selera saya dan cukup berbahagia karenanya.
Itulah sebabnya saya mulai mengganti redaksi “resensi”
sebagai ”bincang”. Karena saya merasa bahwa apa yang saya tulis itu tak layak
diredaksikan sebagai sebuah resensi. Jadi ketika saya menulis tentang buku yang
saya baca, maka saya sedang mengajak Anda untuk berbincang tentang isi buku itu
dan segala pernak-pernik yang ada di sekitarnya. Perbincangan ini mungkin akan
terasa sedikit membosankan dan penuh aroma subjektifitas, tapi Anda tak perlu
khawatir karena hal itu bisa kita kompromikan, tentu saja.
Bila ada yang setuju, maka itu wajar. Bila ada yang tidak,
maka tak perlu ada yang dirisaukan. Toh perbedaan pendapat mengenai tema ini
tidak menentukan masuk syurga atau tidaknya seseorang. Subjektif. Sungguh
tulisan ini terlalu pekat aroma subjektifitasnya.
Mohon maaf.
H2, Juli 2012
0 celoteh:
Posting Komentar