Senin, 02 Juli 2012

Subjektif

Beberapa saat yang lalu saya membaca tulisan seorang teman soal resensi, bagaimana meresensi yang baik dan benar, serta teknik-teknik tertentu agar resensi yang kita buat itu enak dibaca dan layak muat di media. Tulisan itu sangat bagus dan sangat mencerahkan. Apalagi bila yang menulis adalah orang yang pernah dan sedang berkecimpung di dalamnya. Tentu tulisan tersebut akan lebih terasa bobotnya.

Saya sendiri mendapatkan banyak pelajaran yang berharga dari tulisan tersebut. Sedikit banyak, saya merasa terkoreksi dengan beberapa poin yang disebutkan sang penulis terkait dengan dunia resensi buku dan pernak-perniknya.

Saya senang meresensi sebuah buku, atau anggap saja seperti itu (Entahlah sepertinya saya terlalu percaya diri dengan mendeklarasikan coretan kecil saya sebagai sebuah resensi?). Membicarakan buku yang sudah kita baca ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ada terapi bagi jiwa dalam aktivitas tersebut. Apalagi bila buku yang kita baca itu menerangi akal dan memberikan kepuasan batin, serasa ada semangat ingin berbagi rasa itu kepada orang-orang yang belum membacanya, serta mencoba untuk meresonansi jiwa-jiwa bersama orang yang telah melahapnya. Ini pendapat saya.

Karena meresensi berhubungan dengan kepuasan batin, saya merasa bahwa tulisan tentang sebuah buku tidak melulu berbenturan dengan regulasi ini dan itu. Pendapat saya ini mungkin terdengar sedikit arogan dan mengundang cemoohan, tapi setidaknya saya berusaha jujur dengan diri saya sendiri.

Saya memang tak suka didikte, apalagi bila bicara soal selera. Saya senang dan puas dengan selera saya dan cukup berbahagia karenanya.  

Itulah sebabnya saya mulai mengganti redaksi “resensi” sebagai ”bincang”. Karena saya merasa bahwa apa yang saya tulis itu tak layak diredaksikan sebagai sebuah resensi. Jadi ketika saya menulis tentang buku yang saya baca, maka saya sedang mengajak Anda untuk berbincang tentang isi buku itu dan segala pernak-pernik yang ada di sekitarnya. Perbincangan ini mungkin akan terasa sedikit membosankan dan penuh aroma subjektifitas, tapi Anda tak perlu khawatir karena hal itu bisa kita kompromikan, tentu saja.

Bila ada yang setuju, maka itu wajar. Bila ada yang tidak, maka tak perlu ada yang dirisaukan. Toh perbedaan pendapat mengenai tema ini tidak menentukan masuk syurga atau tidaknya seseorang. Subjektif. Sungguh tulisan ini terlalu pekat aroma subjektifitasnya.

Mohon maaf.


H2, Juli 2012 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar