Rabu, 06 Agustus 2014

Untukmu Yang Hendak Berumah Tangga Di Usia Muda (1)

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, mendekatlah. Mari luangkan waktumu, kita duduk barang sejenak. Ada yang ingin kusampaikan kepadamu wahai pemuda yang bersemangat baja. Mari kita duduk di sebuah kursi di tengah-tengah sebuah taman untuk menikmati semilir angin yang sejuk. Selonjorkan kakimu dan carilah posisi duduk yang membuatmu nyaman. Dengarkanlah nyanyian serangga yang bersembunyi di balik dedaunan. Dengarkanlah kepak sayap burung liar yang mondar-mandiri terbang di atas kepala kita dan nikmatilah kesunyian yang menyergapmu secara tiba-tiba.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, dengarkanlah. Pada bagian awal ini, aku ingin menyitir sebuah syair yang indah dari Ibnu Hazm rahimahullah. Demikian bunyinya:

Sungguh, cinta sejati tak lahir dalam kejapan
Ia lahir bukan oleh paksaan
Sungguh, cinta sejati berjalan lambat dan pelan
Ia berjalan dalam paduan panjang dan pancangan tiang
Cinta sejati lahir kerna mantapnya niat, teguhnya tujuan
Cinta sejati tak kan sirna dan pudar ikatan

Bagaimana menurutmu syair di atas? Setujukah dirimu jika syair di atas begitu indah untuk digumam-gumamkan oleh seorang pemuda yang tengah dimabuk cinta seperti dirimu? Jika kau setuju denganku, maka cobalah untuk melongok kembali ke dalam jiwa terdalammu, carilah sesuatu bernama niat di sana, seperti apakah keadaannya. Sudah bening bersihkah ia? Sudah tegak luruskah ia? Tak perlu, tak perlu kau memberikan jawaban itu kepadaku. Berikanlah jawaban itu kepada Sang Pemilik hatimu. Ia lah yang Maha Membolak-balikkan hati di antara kedua jemariNya.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, tetaplah di sini. Masih ada hal lain yang ingin kubicarakan. Aku masih punya syair lainnya untukmu. Syair ini kubuat sendiri. Ia memang tak seindah syair milik Ibnu Hazm, namun ingin pula kusitir di sini untuk kita nikmati bersama.

Cinta tak memintamu mengulur-ulur waktu dalam penantian tak berkesudahan
Ia memberimu kesempatan dan kerelaan untuk berkorban demi sebuah kepastian

Bagaimana menurutmu? Semoga syair itu tidak jelek-jelek amat. Aku memang tak mahir bersyair. Saat dirimu telah meluruskan niat dan meneguhkan tekad, maka apalagi yang dirimu tunggu? Mulailah menyusun batu-bata rencanamu hingga ia dapat menjadi tangga yang memungkinkanmu menjemput sang kekasih hati. Tak perlu, tak perlulah kau memintanya menunggumu. Cinta tak perlu janji-janji yang muluk. Bekerja saja dalam diam, tak perlu banyak lantang-lantang bersuara. Sebut-sebut saja namanya dalam doa-doamu yang selaksa-laksa, perlahan-lahan, penuh keyakinan. Melihat kesungguhanmu yang menakjubkan itu bisa saja Dia kelak akan mengatur jejaring takdir agar ia, yang namanya kau sebut-sebut itu, senantiasa berada dalam jangkauanmu. Cinta memang bisa menunggu, tapi ia pembosan yang ulung meski kau tahu Dia tak pernah bosan menunggumu. Tapi dia bukan Dia. Kau mungkin perlu ingat itu baik-baik.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, jangan dulu dirimu pergi. Semoga dirimu belum bosan mendengarkanku celotehanku, ini. Kali ini, aku ingin membincangkan sesuatu yang sedikit realistis denganmu. Cinta memang harus realistis. Meski dinamikanya kadang tak logis tapi ia adalah sesuatu yang empiris. Maka, bertanyalah kepada mereka yang telah menjalani pernikahan di usia muda, banyak-banyaklah mendengar, simaklah perkataan mereka baik-baik. Menikah tak melulu soal keindahan dan kesenang-senangan. Ia adalah sebuah tanggungjawab yang tak hanya berbatas di dunia saja, tapi hingga kehidupan setelahnya. Ia adalah perjanjian, perjanjian yang sangat kuat.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, tetaplah di sini. Pernikahan ibarat sebuah perjalanan bersama. Sebagai seorang pemimpin dalam perjalanan, dirimu perlu memahami karakteristik perjalanan ini seperti apa. Maka siapkanlah perbekalanmu sebaik mungkin. Bacalah buku-buku. Carilah sebanyak-banyak mungkin ilmu. Saat perjalananmu menemui gunung terjal, lautan berombak ganas, atau jalan buntu, mintalah petunjuk kepada Tuhanmu. Setelah menikah, hati dan jiwanya memang berhak kamu kuasai, tapi tak bisa kamu miliki. Hatimu bukan milikmu, apatah lagi hatinya. Maka serahkanlah semuanya kepada sang pemilik hati dan jiwa-jiwa. Ketika Allah mengamanahimu buah hati, maka syukurilah. Itu adalah wujud tanggungjawab lainnya yang semakin bertumpuk di pundak ringkihmu. Namun jika ternyata belum, tak perlu berkecil hati. Mungkin Dia punya rencana lain yang entah namanya apa.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, apakah dirimu masih di situ? Pernikahan memang menyunggingkan senyum, mencemerlangkan wajah, dan meringankan langkah. Tapi dirimu mungkin perlu tahu, bahwa pernikahan juga dapat meneror hatimu. Cepat atau lambat, dirimu akan menua, dingin, membosankan, dan mungkin juga tak berguna. Cepat atau lambat, kamu akan menjadi beban bagi pasanganmu, atau pasanganmu menjadi beban bagimu. Ketika pundakmu makin merendah dan posturmu kian meringkih, siapkah dirimu menjalani semua itu?

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, mungkin ini pesan terakhir yang bisa kusampaikan kepadamu. Saat dirimu sudah menikah, maka dirimu bukan lagi milikmu saja. Kau sudah menjadi milik istrimu dan anak-anakmu. Waktumu tak lagi milikmu. Pikirmu tak lagi milikmu. Relakah dirimu berbagi sesuatu yang sejak sekian tahun lalu hanya menjadi milikmu seorang? Siapkah dirimu ketika ruang kecil di dalam hati dan pikirmu itu dipenuhi dengan tumpukan cucian, iuran sekolah yang belum terbayar, biaya susu dan popok yang membengkak dan lain-lainnya yang memeras keringatmu hingga kering tuntas?

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda. Rasa-rasanya, sudah terlalu banyak aku menulis untukmu – atau mungkin kurang? Tulisan ini akan kututup dengan sebuah perkataan yang bertenaga dari seorang Anis Matta. Begini katanya:

Para pecinta sejati tak suka berjanji 
Tapi begitu mereka memutuskan untuk mencintai
Mereka akan segera membuat rencana untuk memberi

[wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar