Selasa, 05 Agustus 2014

5 Agustus

Ada sebuah perasaan yang aneh ketika tanggal yang biasanya "dispesialkan" justru menjadi tanggal yang paling dihindari selama tujuh tahun terakhir. Sebelum tahun 2007, saya merasa bahwa tanggal kelahiran adalah sesuatu yang perlu diistimewakan. Bukan karena apa-apa, lebih karena ungkapan rasa syukur telah diberikan kesempatan hidup dariNya. Di samping itu, pengistimewaan tanggal kelahiran juga bisa berarti ucapan terima kasih kepada kedua orangtua saya yang telah memelihara saya sejak kecil hingga besar. Saya tahu bahwa hadirnya saya dalam keluarga ini membutuhkan penantian yang cukup panjang. Panjang karena butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya almarhum bapak saya memiliki putra pertamanya yakni saya. Bahkan beliau sampai harus menikah dua kali demi seorang anak yang dinanti-nantikannya.

Iya, bapak memang menikah dua kali. Mamak saya adalah istri keduanya. Beliau menikah dengan mamak pada tahun 1980, sementara saya baru terlahir ke dunia di tahun 1985. Dari cerita-cerita yang disampaikan mamak kepada saya, butuh usaha ekstra hingga akhirnya Allah menakdirkan mamak mengandung janin berupa saya nyaris 30 tahun yang lalu.

Dan karena asbab itulah, sejak saya mengerti apa itu hari kelahiran, saya meletakkan tanggal kelahiran saya pada tempat yang istimewa. Tak jarang saya menanti-nantikan tanggal itu dan mengucapkan syukur tak terkira atas rentetan nikmatNya yang tak terhitung. Tapi sejak tahun 2007, semuanya berubah.

Pada sebuah sore di tanggal 5 Agustus 2007, bapak berpulang. Meninggalkan mamak dan kedua putranya yang baru saja mentas. Saya baru saja penempatan di Luwuk pada bulan Maret 2007, sementara adik saya satu-satunya baru saja lulus tes masuk UIN di bulan yang sama dengan meninggalnya bapak. Beliau meninggal dalam kondisi yang, menurut penuturan mamak, sangat sehat, dan bahagia. Memang kalau saya ingat-ingat, dalam telepon terakhir, mamak mengabarkan bahwa bapak sehat-sehat dan tidak pernah kondisinya sesehat waktu itu. Mamak juga mengabari bahwa beliau sedang senang karena uang-tak-seberapa yang pernah saya berikan kepada bapak disimpannya dengan setia di dalam dompet lusuhnya. Mungkin bahagia dan sehatnya, setelah berbulan-bulan didera sakit komplikasi dan menjalani segala rupa pengobatan, adalah pertanda bahwa waktunya memang sudah dekat. Saya tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Saat menuliskan ini, saya baru tersadar bahwa kemungkinan itu bisa saja benar. Entahlah, hanya Allah yang tahu.

Itulah sebabnya, tanggal 5 Agustus selalu jadi hari yang saya hindari. Saya kerap mencoba melupakan bahwa ada satu tanggal dalam setahun bernama 5 Agustus. Padahal tanggal kelahiran saya adalah sehari setelahnya: 6 Agustus, dimana tanggal itu pernah saya istimewakan dahulu. Tapi sekarang semuanya terasa hambar dan tidak membuat saya bersemangat.

Hambarnya momen hari kelahiran bukan karena saya tidak lagi mensyukuri nikmatNya. Saya tetap mensyukuri segala anugerahNya kepada saya tanpa pandang tanggal kapanpun. Tapi rasa hambar itu hadir lebih karena saya tak bisa terlepas dari bayang-bayang kesedihan yang memerangkap perasaan saya sejak tujuh tahun belakangan. Entah sampai kapan.

Di tanggal 5 Agustus ini pula saya selalu mengadakan semacam ‘ritual’ menulis surat buat bapak yang telah berpulang. Sayang, ada beberapa surat yang hilang karena dulu saya ketik langsung di blog dan tidak sempat saya pindahkan ke word. Saya sempat berusaha menuliskannya kembali namun saya khawatir akan kehilangan segenap emosi yang tumpah-ruah ketika surat itu saya tulis. Sepertinya saya akan kembali menuliskan surat-surat itu saat saya sudah siap menuliskannya.

Surat itu memang tak akan pernah bisa dibaca oleh bapak, tapi rapalan doa yang tertuang di dalam kalimat-kalimatnya semoga sampai kepadanya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afiyhi wa’fu’anhu. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar