Kamis, 25 September 2014

Tentang Status Facebook Saya Tempo Hari

Status facebook saya tempo hari ternyata menangguk begitu banyak respon, baik dari teman-teman yang sudah saya kenal maupun dari orang-orang yang baru mengenal saya dan sebaliknya. Status yang, menurut saya, cukup panjang dan agak bertele-tele itu ternyata sudah dikomentari lebih dari 100 kali, termasuk postingan saya sendiri, di-share lebih dari 40 kali, dan di-like lebih dari 260 kali. Angka-angka itu mungkin akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan, entah sampai kapan. Jumlah yang cukup mengejutkan dan di luar perkiraan saya.

Ekses dari status tersebut membuat saya cukup kelabakan merespon postingan, pesan pribadi, dan juga permintaan pertemanan baik dari orang-orang yang sudah saya kenal maupun dari beberapa orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Alhamdulillah, jumlah teman saya di facebook pun mengalami penambahan yang cukup signifikan setelah status gajebo tersebut rilis. Padahal status itu hanya status biasa yang berisi tentang ringkasan paling ringkas tentang episode hidup saya yang suram di kampus plat merah yang konon kabarnya bergengsi itu.

Ada beragam respon yang saya dapatkan dari mereka. Semuanya boleh dibilang bernada positif, bahkan ada beberapa yang mengaku bahwa kisah saya menjadi semacam cerminan kisah hidup mereka sendiri, bil khusus mereka yang berhasil lolos dari kampus STAN dengan nilai yang jauh dari memuaskan. Laskar PMDK alias Perhimpunan Mahasiswa Dua Koma. Yakni mahasiswa yang berhasil ‘lolos’ dari STAN dengan IPK kurang dari tiga koma nol.

Selain itu, ada beberapa kisah inspiratif yang saya baca dari respon-respon yang berserak itu. Kisah yang akan saya ingat baik-baik dan akan saya ambil pelajaran darinya. Sebagian orang ada yang menaruh simpatinya kepada saya, walaupun saya agak bingung dengan ungkapan simpati tersebut. Mungkinkah mereka itu bersimpati dengan tempat bekerja saya saat ini yang jauh dari, katakanlah, mentereng karena berlokasi di sebuah daerah yang namanya saja baru kali pertama mereka dengar? Atau simpati karena ada sebab lain? Saya tidak tahu. Ada juga yang merasa bahwa status saya itu memberikan inspirasi dan motivasi bagi para pembacanya. Untuk bagian ini, saya lebih memilih untuk menyerahkannya kepada sidang pembaca saja.

Lalu, apa sebenarnya tujuan saya menuliskan status sepanjang itu? Status yang memuat sebagian kecil perjalanan hidup saya yang mungkin bagi beberapa orang diartikan sebagai status bermodus curhat atau bahkan tidak ada guna dan maknanya sama sekali kecuali semangat ingin eksis semata? Bisa jadi, ada orang-orang yang menganggap status itu demikian. Saya tidak bisa menahan penilaian orang terhadap pandangan-pandangan saya. Adalah hak mereka untuk menilai saya tanpa bisa saya cegah.

Istri saya, dalam perjalanan pulang kami ke rumah, sempat bertanya kepada saya, apa maksudnya menulis status semacam itu. Status yang mencantumkan, katakanlah, aib kecil saya di masa silam. “Emang abi nggak malu apa nulis kayak begitu?” tanyanya. Udara di Luwuk sangat panas waktu itu. Pendingin mobil sampai-sampai saya pasang di angka maksimal agar suasana bisa sedikit lebih sejuk. Putri ke dua saya yang baru saja saya jemput dari sekolahnya berdiri di antara dua jok depan dan matanya menatap lurus ke jalanan yang membara. Sambil menyetir, saya berkata kepadanya dengan kata-kata selugas mungkin.

Saya menjelaskan bahwa “aib” yang saya ungkapkan itu sebenarnya bukanlah aib. Kalau boleh dibilang, status tersebut adalah ekspresi kejujuran saya dalam memandang diri saya sendiri sebagai seorang manusia yang juga punya kekurangan. Sebagaimana yang saya akui, saya memang tidak menikmati masa-masa perkuliahan di STAN bukan karena faktor eksternal, tapi lebih pada faktor internal yang ada di dalam diri saya yang memang kurang suka pelajaran-pelajaran non eksakta. Saya akui, saya cukup beruntung bisa melalui masa-masa perkuliahan yang sulit itu dan, katakanlah, berhasil masuk ke dalam keluarga besar sebuah kementerian yang orang-orang bilang: bonafid. Kalo boleh sedikit berbesar kepala, zaman sekarang ini siapa sih yang nggak mau jadi PNS di Kementerian Keuangan? Saya yakin jumlahnya cukup banyak. Lihat saja situs Panselnas. Pendaftar yang ingin bergabung ke kementerian ini jumlahnya yang paling mencolok jika dibandingkan dengan pendaftar di instansi lain: lebih dari seratus tiga puluh empat ribu pelamar! Jumlah itu masih jauh di atas pelamar Badan Narkotika Nasional yang jumlahnya ‘hanya’ enam puluh delapan ribuan sekian sekian, atau Kejaksaan Agung yang jumlah pelamarnya tak lebih dari tiga puluh ribu. Dari situ aja, kita bisa lihat bahwa animo masyarakat untuk bergabung ke instansi ini cukup banyak. Dan adanya saya di instansi ini dengan segala kekurangan yang saya miliki tentu wajib disyukuri dengan sepenuh-penuh syukur.

Kembali ke soal ‘aib’. Saya kadang suka jengkel melihat orang-orang yang lebih suka mengambil jalan pintas demi menutupi kekurangan mereka. Saya teringat sama cerita istri saya yang pada suatu hari kedatangan pembeli ke warung buburnya dan mengajaknya mengobrol. Pembeli itu adalah seorang ibu paruh baya. Dari cerita istri, saya kenal suami sang ibu yang saat datang ke warung sambil mengendarai mobil hatchback keluaran terbaru itu. Singkat cerita, ibu itu berkata kepada istri saya tentang anaknya yang lulusan SMK tapi didaftarkan ke Kedokteran sebuah universitas negeri ternama. Uang berjumlah sekian sudah disiapkan sang orangtua demi memuluskan niat itu. Apa lacur? Anak itu gagal lulus tes. Tak berhenti sampai di situ, sang orangtua lalu mencari jalan pintas. Dihubunginya keluarga-keluarga yang berpengaruh agar bisa meluluskan si anak ini ke Fakultas Kedokteran yang dimaksud. Sayangnya (atau syukurlah?) usaha itu masih gagal juga. Akhirnya, si anak ‘hanya’ dikuliahkan di sebuah universitas swasta di Luwuk dan demi menyenangkan hatinya, sang ayah lalu membelikannya sebuah mobil baru. Mobil yang pagi itu dikendarai sang ibu. Dalam hati saya berpikir, ini yang salah sebenarnya siapa? Sang anak yang ‘tak tau diri’ ingin masuk ke fakultas kedokteran meski basic pendidikannya sama sekali nggak nyambung atau ambisi orangtuanya yang keterlaluan sampai-sampai mengorbankan anaknya? Saya nggak tau. Tapi dari kisah itu, saya jadi belajar banyak tentang ketidaktahudirian yang karenanya membuat manusia jadi mencari jalan pintas untuk menampilkan ketidaktahudiriannya itu dengan begitu telanjang, dan kasar.

Saya juga pernah diceritakan tentang persaingan orang-orang yang siap membayar lebih tinggi agar bisa masuk ke Universitas maupun instansi yang diinginkannya, meski sebenarnya ia tidak kompeten-kompeten amat. Sayangnya, kisah seperti ini begitu banyak di keseharian kita. “Kalau nggak pasti lulus ngapain ikut ujian?”, “Kamu ikut tes udah dapet jaminan lulus apa nggak?”, “Daripada capek-capek ujian mendingan kita bayar aja” adalah ungkapan-ungkapan yang sering banget saya dengar, mungkin Anda juga pernah mendengar ungkapan semacam itu.

Betapa banyak orang-orang yang tak mau mengakui kekurangan diri hingga lantas menutupinya dengan jalan pintas dan ketidaktahudirian yang banal. Ia terabas tembok-tembok etika dan batas moralitas tentang elok tidaknya mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan mengabaikan nilai-nilai kompetisi yang sehat. Betapa banyak orang-orang yang seharusnya punya kapabilitas dalam suatu pekerjaan harus tersingkir hanya karena ada orang yang lebih punya ‘kemampuan dana’ dan kedekatan koneksi, soal kompetensi itu nomer ke dua puluh sekian dan sekian? Teramat banyak yang harus dikorbankan hanya demi memuaskan sesuatu yang sangat imajiner bernama:gengsi.

Waktu pembukaan Rumah Baca Jendela Ilmu tempo hari, para siswa SD Kilongan Indah mempertunjukkan sebuah tarian daerah yang sangat bagus sekali. Saya sangat menikmati tarian itu dan sempat bertanya-tanya kepada sang guru, yang juga tetangga saya, tentang tarian tersebut: apa namanya, siapa koreografernya, sudah pernah dapat juara atau belum, dan sebagainya dan seterusnya. Sang guru berkata bahwa tarian tersebut pernah dilombakan di ajang O2SN tingkat kabupaten dan meraih posisi kedua. Saya menyangsikan cerita sang guru dan bertanya balik, masak sih tarian sebagus dan sekompak ini ‘hanya’ dapat juara dua? Juara satunya siapa? Salah satu guru yang ada di situ cuman senyam-senyum saja mendengar pertanyaan saya yang sepertinya terdengar retoris itu. Sang guru yang saya tanya pun hanya berkata, “Biasa lah pak, kayak nggak tau aja, hehe”. Saya manggut-manggut karena mengerti. Juaranya SD itu kan? Tanya saya sambil menyebutkan sebuah SD, katakanlah, favorit, tempat anak-anak pejabat dan pembesar daerah ini disekolahkan. Sekolah yang konon kabarnya sering mendapat juara kompetisi-kompetisi level daerah itu. “Padahal waktu kami tampil, respon penonton itu lebih meriah daripada waktu mereka – SD favorit – itu tampil. Tapi justru malah mereka yang juara pertama dan kami yang ke dua. Waktu itu banyak yang protes dengan keputusan juri. Tapi, ya, mau gimana lagi? Akhirnya, waktu mereka tanding di level provinsi, mereka kalah karena memang kualitasnya sangat jauh dari lawan-lawannya yang lain”. Sang guru menjelaskan panjang lebar di sela-sela suara musik dan tarian anak-anak didiknya yang sedang berlangsung.

Yah, demikianlah situasinya.

Jadi, ketika saya berkuliah di STAN dengan segala kebodohan dan kemalasan yang melekat dalam diri saya, saya pun mengakuinya dan sadar betul dengan kondisi saya saat itu. Meski sempat bermasalah dengan salah satu dosen killer yang kadung mencap saya kurang punya sopan santun, padahal saya nggak ngerasa pernah melukai harga diri sang dosen killer tersebut, saya tetap melenggang santai tanpa merasa terbebani dengan apapun. Saya juga nggak tertarik mendatangi rumah sang dosen hanya untuk mengharap keibaannya. Semuanya berlangsung dengan sangat natural dan tanpa rekayasa (halah). Pun ketika saya berhadapan dengan tiga dosen penguji yang punya reputasi baik sebagai dosen-dosen berkualitas tinggi di kampus yang terkenal tidak suka berkompromi dengan nilai mahasiswanya, saya pun nggak sampe minta belas kasihan beliau-beliau agar meluluskan saya yang bodoh ini. Saya, ketika itu, sadar dengan sesadar-sadarnya dengan konsekuensi yang akan saya terima sebagai akibat dari kemalasan saya belajar selama tiga tahun ke belakang. Andai ketika itu saya dinyatakan tidak luluspun saya akan menerimanya dengan lapang dada. Mau gimana lagi? Lha wong saya nggak lulus juga karena salah saya sendiri? Namun, Allah punya rencana lain. Saya justru diluluskan berdasarkan simpati salah satu dosen meski saya tak pernah meminta simpatinya. Alhamdulillah. Ini semuanya adalah kemudahan dari Allah, meski saya sadar kalau saya ini belum menjadi hambaNya yang baik.

Dalam tulisan ini saya juga ingin sedikit menjelaskan bahwa saya tidak sedang meratapi nasib saya yang tak kunjung pindah dari Luwuk. Sebaliknya, saya justru bahagia bisa berada di kota kecil ini dan bahkan ingin tinggal lebih lama lagi di sini. Tapi, keinginan itu hanya tinggal keinginan. Bagaimanapun, ada orang lain yang lebih berwenang dalam menentukan masa depan saya di instansi yang tengah memasuki masa-masa kegamangan identitas ini. Saya berharap agar saya diberikanNya keputusan yang terbaik. Baik bagi saya pribadi, keluarga, dan juga lingkungan tempat saya berada.

Moga Allah mudahkan urusan ini. Aamiin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, September 2014
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar