Rabu, 24 September 2014

Rumah Ini Sudah Tidak Seperti Dulu Lagi

Rumah ini sudah tidak lagi seperti dulu. Suara anak-anak semakin riuh. Buku-buku yang biasanya berjejer dengan rapi di lemari kayu dan kerap dihinggapi debu itu tak lagi serapi dulu, meski masih tetap berdebu. Kadang ada komik yang terselip di antara deretan koleksi Paulo Coelho atau Tariq Ali, kadang ada buku sirah yang terselip di antara tumpukan aneka komik segala judul.

Buku-buku yang biasanya berjejer dengan menampilkan bagian punggung mereka, kini tak lagi seperti dulu. Anak-anak yang datang silih berganti kadang tidak mengindahkan perintah agar mereka mengembalikan buku-buku yang sudah dibaca ke tempat mereka mengambilnya semula dengan bagian punggung menghadap ke luar, dan bukan sebaliknya.

Setelah Rumah Baca Jendela Ilmu diresmikan, rumah kami nyaris tak pernah sepi dari aktivitas anak-anak segala usia. Mulai dari SD sampai SMA, bahkan ibu rumah tangga. Mulai pukul 4 sore, mereka akan datang satu persatu, menguluk salam, dan mata mulai menyusuri rak-rak buku untuk mencari judul buku yang mereka kehendaki, lalu mulai membaca. Kadang ada yang membaca tanpa suara, kadang dengan suara bergumam, seperti suara dengungan lebah. Kadang ada yang sekedar bermain petak umpet dan berlari-lari nggak jelas. Kadang ada anak-anak yang datang dengan gadget di tangan mereka, baik smartphone maupun laptop, lalu asyik dengan petualangannya di dunia maya setelah menanyakan password wifi kepada saya.

Segala hiruk-pikuk itu akan berangsur berkurang menjelang pukul 9 malam. Satu persatu dari mereka akan berpamitan pulang, meski masih ada satu dua anak remaja yang duduk di teras rumah sambil memangku laptop mereka. Tapi itu tidak lama. Paling setengah sampai satu jam kemudian mereka akan pulang, dan rumah ini hanya akan diwarnai oleh suara jemari yang sedang mengetik, membolak-balikkan halaman buku, atau suara dengkuran anak-anak yang telah tertidur.

Rumah baca ini memang belum genap sebulan diresmikan. Masih ada banyak hal yang perlu saya lengkapi terkait peraturan-peraturan yang harus dipenuhi saat pengunjung-pengunjung belia itu datang dan membaca. Masih banyak buku yang belum mendapatkan “rumahnya” karena keterbatasan jumlah lemari yang kami miliki sehingga buku-buku itu kadang teronggok begitu saja di “lahan” kosong yang berada di pinggiran lemari, atau kadang kami tumpuk begitu saja di atas buku-buku yang berderet dengan rapi.

Selain beberapa permasalahan teknis yang masih harus saya selesaikan, ada setitik rasa bahagia dalam hati ini kala melihat anak-anak itu memanfaatkan waktunya dengan membaca. Kadang istri saya bercerita bahwa di jam istirahat sekolah (dekat rumah kami ada sekolah bernama SD Kilongan Indah) ada anak-anak yang datang berkunjung untuk membaca, atau saat ada pelajaran agama Islam berlangsung, anak-anak yang beragama Nasrani pun berkunjung ke rumah ketimbang bosan bermain di sekolah sambil menunggu pelajaran agama itu usai.

Saya juga mengamati hiruk-pikuk yang ada di hadapan saya itu dengan seksama, menghafalkan nama-nama dan wajah-wajah yang seakan tak ada habis-habisnya datang ke rumah. Menyimak laporan-laporan dari istri dan mamak saya tentang satu dua nama yang menarik perhatian. Mendengarkan cerita anak-anak saya terkait kesan-kesan mereka dengan dibukanya koleksi buku yang ada di rumah itu untuk publik, untuk sebagian teman-teman bermain mereka. Saya juga memberikan perhatian pada testimoni-testimoni yang diberikan warga sehubungan dengan adanya rumah baca ini di lingkungan mereka. Saya merasa bahagia. Bahagia karena setidak-tidaknya saya sedang berusaha untuk menjadi warga yang bisa memberi manfaat bagi lingkungan tempat saya tinggal, meski masih sebatas yang saya mampu.

Dalam jenak-jenak waktu yang ada, saya memikirkan dan menuliskan beberapa rencana untuk pengembangan rumah baca ini. Namun saya tampaknya masih perlu untuk mengulur waktu sedikit lebih lama. Saya ingin bersabar mendampingi tumbuh kembang usaha khidmah ini sampai setidaknya enam bulan ke depan. Setelah itu, saya baru akan memutuskan langkah apa yang selanjutnya akan saya ambil untuk meningkatkan kualitas rumah baca ini sekaligus memperluas dan memperdalam impactnya bagi masyarakat banyak, terkhusus bagi warga yang ada di sekitaran kelurahan Kilongan Permai ini.

Dorongan dan dukungan dari teman-teman sekalian, dan pastinya doa, baik berupa moral dan material, benar-benar telah menyuntikkan semangat yang berlipat di dalam diri saya agar bisa berbuat lebih, meski saya harus berjibaku dengan banyak hal: banyak kebutuhan dan banyak kewajiban, di samping harus memenuhi beberapa target personal yang saya canangkan sejak lama. Segala bantuan yang saya terima itu takkan bisa saya balas kecuali dengan doa. Semoga bantuan dari teman-teman semua mendapatkankan sebaik-baik balasan dari Allah swt dan bernilai amal jariyah yang berimbas pada keberkahan diri dan harta teman-teman semuanya. Amin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, September 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar