Rabu, 08 Mei 2013

Saya dan Seorang Polisi: Sebuah Dialog Imajiner



Siang itu dua orang lelaki nyaris seumuran bertemu di bawah sebuah pohon mangga yang rindang. Sambil menikmati segelas es kelapa muda, keduanya tampak sedang asyik mengobrol. Lelaki pertama adalah seorang berseragam polisi, sementara lelaki kedua mengenakan batik bermotif parang berwarna merah.

“Sebenarnya ketika saya melihat Anda sedang menuntun ibu yang hendak menyeberang tadi, saya sudah mengurangi laju kendaraan saya untuk mempersilakan ibu itu menyeberang”, ucap lelaki kedua yang berbaju batik membuka dialog. “Tapi karena saya tidak mengerti apa maksud kode tangan dari Anda, saya menganggap bahwa kode itu adalah perintah kepada saya untuk meneruskan perjalanan dan Anda berdua bersama ibu itu akan menyeberang setelah saya lewat”, urainya kemudian.

“Jujur aja saya tadi lumayan mangkel ketika Anda tidak memberi kesempatan ibu itu untuk menyeberang”, lelaki berseragam polisi membuka suara. Wajahnya tampak sedikit kesal. “Andai tadi Anda memutuskan untuk berhenti dan meladeni kemangkelan saya, mungkin bakal ada keributan di tengah jalan di awal pagi tadi”, lanjutnya.

Lelaki berbaju batik mengangguk. “Ya, saya tadi juga cukup tergoda dengan bisikan untuk turun dan ‘meladeni’ Anda. Tapi andaipun terjadi, saya tidak akan takut”, ujarnya mantap sambil meneguk es kelapa yang tinggal tersisa setengah gelas.

Wajah lelaki berseragam polisi tampak terkejut. “Anda tidak takut dengan polisi?”, katanya sambil tangannya mengaduk gelas berisi es kelapa bercampur sirup gula merah.

Lelaki berbaju batik menggeleng mantap dan menandaskan sisa es kelapanya.

“Saya itu baru takut kalo berbuat salah. Berhubung tadi pagi saya tidak merasa salah, kenapa saya harus takut. Jangankan Anda yang hanya seorang, Kapolri Anda sekalian pun akan saya hadapi bila saya memang tidak salah”, katanya santai. Gelas kaca bergagang yang sudah kosong diletakkan di hadapannya. “Saya juga bisa saja meladeni emosi sesaat untuk, mungkin, berkelahi atau bergelut dengan Anda di atas aspal tadi. Tapi saya merasa bahwa orang-orang seumuran kita ini tidak lagi menyelesaikan masalah kecil nan sepele itu dengan cara kekanakan seperti itu”.

Lelaki berseragam polisi itu tampak gusar dengan perkataan lelaki berbaju batik barusan. Sambil mengelus dagunya yang licin karena baru dicukur, ia lalu berkata, “Masuk akal. Saya setuju dengan sudut pandang Anda”.

“Jika tadi Anda memberi isyarat stop kepada saya, dengan menyorongkan kelima jari Anda yang bersatu rapat ke arah depan, saya pasti anak berhenti dan mempersilakan ibu itu untuk menyeberang. Tetapi karena Anda tadi memberikan saya isyarat yang tidak saya ketahui artinya, wajarlah bila saya langsung menyelonong”, urai lelaki berseragam batik. “Toh, tidak semua orang di kolong langit ini bisa mengerti isyarat tangan dari seorang polisi, setidaknya isyarat yang tadi Anda berikan kepada saya”, lanjut lelaki berseragam batik yang seolah tidak perduli dengan reaksi lelaki berseragam polisi yang hendak memotong kalimat pertamanya tadi. Lelaki berseragam polisi itu kemudian tampak manggut-manggut.

“Ya, mungkin Anda ada benarnya juga”, ucapnya tulus yang diikuti dengan tenggakan terakhir dari es kelapa muda berwarna cokelat. “Ini memang soal miskomunikasi saja”.

“Tapi saya juga mau minta maaf kepada Anda bila miskomunikasi tadi mungkin menyinggung Anda di hadapan ibu itu”, ujar lelaki berseragam batik tulus. “Tapi..”, perkataan itu menggantung.

“Saya juga ingin Anda meminta maaf kepada saya”, kata lelaki berseragam batik tegas. Sebuah kontainer sarat muatan melewati pohon mangga besar itu sambil membawa debu yang beterbangan.

Lelaki berseragam polisi terperanjat. “Untuk apa?”, tanyanya agak ketus.

“Karena Anda tadi menyebutkan kata-kata yang tidak elok untuk orang sebaik Anda”, urai lelaki berseragam batik kalem. “Anda pasti masih ingat kata-kata apa yang saya maksud”, lanjutnya.

Lelaki berseragam polisi itu tampak kaget dan tersipu malu. “Ah, Anda benar. Saya mohon maaf atas ketidakelokan kata-kata saya tadi”, ucapnya tak kalah tulus.

Lelaki berbaju batik tersenyum. “Termasuk mentraktir saya segelas es kelapa muda?”.

Lelaki berseragam polisi langsung tergelak, “Hahaha... Jangankan segelas, satu gerobak ini pun bila Anda mampu silakan habiskan”, kelakarnya.

“Diuangkan saja kalau begitu”, seloroh lelaki berbaju batik.

Kedua lelaki itu tertawa bersama sekeras-kerasnya, meninggalkan sang penjual es kelapa muda dengan tampang keheranannya.

***

Pagi ini saya nyaris baku hantam dengan seorang oknum polisi hanya karena miskomunikasi sepele. Sayang sekali saya tidak melihat nama yang tercantum di seragamnya. Andai tadi namanya terlihat dengan jelas, saya mungkin akan mencarinya dan mengajaknya minum es kelapa muda di bawah pohon seberang kantor Pelni, yang berjarak tak sampai tiga puluh meter dari markas Polres Luwuk, sambil membicarakan insiden kecil yang terjadi di antara kami berdua tadi pagi di seberang SMK Daerah Luwuk. Saya yakin, dia polisi yang baik. Buktinya dia mau repot-repot membantu seorang ibu untuk menyeberangkan jalan sambil ‘menghadiahi’ saya kata-kata mutiara. [wahidnugroho.com]

 Tanjung, Mei 2013 

Reaksi:

2 komentar: