Selasa, 07 Mei 2013

Luwuk Lagi



“Mas Wahid tinggal di mana?”, tanya seseorang kepada saya.

Saya menjawab, “Di Luwuk”.

Biasa akan ada lanjutan pertanyaan yang isinya kurang lebih, “Luwuk yang dekat Palopo itu ya?”. Pertanyaan itu adalah pertanyaan lazim ke dua setelah pertanyaan, “Luwuk? Di mana itu?”.

Saya hanya bisa tersenyum dan biasa menjawab seperti ini.

“Bukan. Saya di Luwuk. Dengan huruf K. Kalau Luwu itu tanpa huruf K di belakangnya. Kedua daerah itu, Luwu dan Luwuk, terpisah ratusan kilometer, dan berada di provinsi yang berbeda. Luwuk di Sulawesi Tengah, sedangkan Luwu ada di Sulawesi Selatan”, urai saya panjang lebar.

Luwuk adalah kota kecil yang terletak di pantai selatan provinsi Sulawesi Tengah. Luwuk terletak di bibir teluk kecil bernama Teluk Lalong, yang melingkar dan menyempit di bagian ujungnya seperti bulan sabit lonjong, berbatasan dengan selat Peling dan Pulau Peling di sebelah selatan. Luwuk adalah ibukota kabupaten Banggai. Semoga Anda tidak bingung dengan Pulau Banggai yang ada di lepas pantai selatan dari kota Luwuk ini, karena itu adalah ibukota kabupaten baru bernama Banggai Laut. Bersebelahan dengan Kabupaten Banggai Laut adalah Kabupaten Banggai Kepulauan yang beribu kota di Salakan.

Jadi Kabupaten Banggai beribukota di Luwuk, Kabupaten Banggai Laut beribukota di Pulau Banggai, dan Kabupaten Banggai Kepulauan beribu kota di Salakan. Twisted, huh?

Kabupaten Banggai berjarak lebih dari enam ratus kilometer dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah, Palu, serta lebih dari seribu kilometer dari Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Butuh sekitar lima puluh lima menit penerbangan dari Manado atau Makassar untuk sampai ke kota kecil yang kian hari kian sumpek ini. Sebelah selatan Kabupaten ini berbatasan dengan Selat Peling dan Pulau Peling, Teluk Tolo di sebelah barat daya, Laut Banda di sebelah tenggara, laut Maluku di sebelah timur, teluk Tomini di sebelah utara, serta Kabupaten Tojo Una-Una dan Morowali di sebelah barat.

Dan di kota inilah tempat saya mengais hidup saat ini. Kota yang makin hari menunjukkan wajah lusuhnya diterpa kumpulan debu yang semakin menebal dan tumpukan sampahnya yang membuat saya bersungut sebal. Luwuk saat ini tumbuh menjadi kota yang kian ramai dengan industri hulu seperti dibukanya eksplorasi gas alam, nikel, dan barang tambang lainnya. Kota kecil yang pertama saya datangi di tahun 2007 ini begitu tenang, kini sudah mulai riuh dengan hingar-bingar kota metropolitan, meski sarana dan prasarana yang ada masih jauh dari standar kota metropolitan.

Kini sudah ada banyak restoran makanan cepat saji di kota ini. Sesuatu yang dulu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Penerbangan dari dan ke kota Luwuk pun dipadati oleh banyak penumpang. Kadang bila kita tidak membeli tiket sejak jauh-jauh hari, maka jangan harap bisa dapat tiket pesawat dengan harga murah. Arus pendatang mulai membanjiri kota kecil yang makin sumuk ini sejak awal tahun 2008 dan tak putus-putus sampai sekarang. Aroma investasi di pelbagai bidang yang dulunya belum maksimal tergarap sudah mulai meramaikan pasar dan lini perdagangan lainnya.

Bila mau berkunjung ke Luwuk dari Jakarta, maka ada beberapa maskapai penerbangan yang melayani rute ini: Sriwijaya Air dan Lion Air. Dulu sempat ada Batavia Air sebelum bangkrut dan Merpati. Kemudian untuk rute pendek ada Wings Air dan Sky Air dari Makassar, serta Express Air dari Manado dan Palu. Untuk jalur darat bisa lewat Palu dengan PO Kesayangan Anda, Tiga Berlian, Mandiri Pratama, Touna Indah, dan agen perjalanan darat lainnya. Bila Anda punya stamina lebih dan ingin mendarat (istilah untuk bepergian dengan mobil) dari Makassar, maka Anda bisa menumpang PO Honda Jaya atau Mandiri Pratama. Durasinya? Sekitar empat puluh jam.

Jalur laut bisa menggunakan jasa kapal pelni Tilong Kabila yang melewati Gorontalo, Bau-Bau, Makasar, dan Banawa. Dari Jakarta juga ada KM Sinabung yang merapat di Pulau Banggai. Dilanjutkan dengan kapal ferry atau kapal kayu sampai ke pelabuhan di Luwuk. Tapi saya belum pernah mencoba moda ini, bil khusus Tilongkabila dan Sinabung.

Sudah enam tahun saya tinggal di kota ini, sejak bulan Maret tahun dua ribu tujuh Masehi. Saya menikah di sini, anak-anak saya pun lahir di kota ini pula.

“Sampai kapan di Luwuk?”, begitu pertanyaan lain yang lazim saya dapati.

“Saya nggak tau”, saya biasa menjawabnya dengan singkat.

Saya masih cukup betah di sini. Tapi bila arus sungai takdir berkata lain, maka ikuti saja kemanapun ia mengarah. Bagi saya, dimanapun kita berada, selama bersama keluarga, maka itulah rumah yang harus kita tempati dan jaga keberadaannya.

“Tidak rindu sama kampung halaman di Jurangmangu?”, tanya mereka lagi.

“Pasti. Tanah dimana saya menghabiskan nyaris tujuh belas tahun usia puber saya itu takkan pernah saya lupakan”, jawab saya tanpa memberi jeda. “Pasti”.

Diam-diam saya memang memendam kerinduan untuk kembali ke tanah itu, entah kapan. Mungkin belum saat ini. Sekarang saya ingin menikmati kota kecil yang makin sumpek ini dengan kesyukuran yang meluap. Syukur, karena saya masih bersama orang-orang yang saya cintai, dan mereka pun mencintai saya. Lebih dan kurangnya. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Mei 2013

Setelah baca broadcast mutasi pelaksana di chatting grup

Reaksi:

2 komentar: