Selasa, 23 April 2013

Ketika Syahwat Sebagai Pengobat



“Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa.” [Anis Matta]


Ketika jiwa telah berasa penat, dan raga mengeras liat, maka hanya sentuh fisiklah yang pantas jadi pengobat. Saat tawa tak lagi terasa renyah, saat bisikan tak lagi mengusik jiwa, maka belaian dari jemari lembutlah yang akan jadi penguat rasa. Di waktu desah suara tak mampu meredakan gejolak hati, maka saatnya memuarakan semua gejolak yang membadai itu ke dalam wadah bernama birahi.

Inilah salah satu sifat paling purba dari manusia. Temu jiwa sentuh fisik, begitu Anis Matta meredaksikannya. Bahwa jiwa-jiwa yang sentiasa beresonansi itu pun butuh sentuhan fisik. Islam meredaksikannya dengan kata mawaddah.

Mawaddah ibarat bara api. Sesuatu yang sifatnya menggebu-gebu penuh nafsu berlandaskan cinta dan sayang kepada pasangannya, baik yang sah maupun tidak. Mawaddah, kata Cahyadi Takariawan, adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik.

Maka bila ada seorang lelaki yang tertarik secara fisik kepada seorang perempuan, itulah yang kita sebuh sebagai mawaddah. Bila ada seorang lelaki yang suka dengan perempuan bertubuh langsing, berdada padat dan berpinggul sintal, maka itu bentuk lain dari mawaddah. Ini adalah hal yang manusiawi dan tidak perlu dianggap sebuah kontroversi. Saya akan memandangnya sebagai sebuah kontroversi bila relasi ketertarikan itu tidak dibingkai dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah.

Jadi, wajar bila ada seorang suami yang tertarik (baca: bernafsu) dengan bagian tertentu dari tubuh istrinya. Sangat wajar bila seorang suami merasa tergoda dengan kerlingan mata dan singkapan tak sengaja aurat dari sang istri. Inilah yang dinamakan mawaddah itu. Anda para istri harusnya merasa terhormat dan dihargai bila suami Anda memandang Anda dengan tatapan ketertarikan, nafsu, ataupun birahi. Anda tentu akan merasa tak dicintai, tak disayang atau tak dikehendaki lagi bila suami tak lagi menyentuh Anda, tak lagi berbicara dan berlaku intim dengan Anda.

Keintiman ini disebut oleh para ulama sebagai gharizah na’u, atau naluri untuk melanjutkan hidup, naluri untuk berketurunan. Terakhir, saya ingin menyitir dua buah hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya,” kata Nabi Saw. menjelaskan, “maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan perhatian penuh rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya (diremas-remas), maka berguguranlah dosa-dosa suami-istri itu dari sela-sela jari-jemarinya.” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi’ dari Abu Sa’id Al-Khudri ra)

Ketika saling memandang pun dihujani dengan rahmahNya dan sentuhan fisik berupa remasan tangan mengundangNya untuk menggugurkan dosa-dosa, maka tak heran bila suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai fadhilah dari perkara jimak, yang mungkin menurut sahabat itu adalah sesuatu yang mengherankan bila perkara ranjang bisa menghadirkan pahala baginya.

“Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah dirimu jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, maka ia mendapat pahala” (HR Muslim).

Maha Benar Allah yang telah berfirman, “Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (QS Al-A’raf 189).

Temu jiwa sentuh fisik, itulah mawaddah yang sesungguhnya. Begitulah perkara syahwat yang dibingkai dengan ikatan pernikahan. Ia berfungsi sebagai pengobat jiwa yang lelah, tempat tetirah raga yang melemah. Syahwat yang nikmat, sehat, dan berpahala. Amboi nian! [wahidnugroho.com]


Kilongan, April 2013 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar