Kamis, 29 Mei 2014

The Bucket List



The Bucket List adalah sebuah film drama komedi yang diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman yang rilis pada tahun 2007 yang lalu. Film ini menceritakan tentang Edward (Jack) dan Carter (Morgan), dua orang tua penderita kanker yang dirawat di kamar yang sama pada sebuah rumah sakit dalam menjalani waktu senja mereka dengan melakukan hal-hal yang telah mereka rencanakan dalam sebuah daftar bernama The Bucket List. The Bucket List itu sendiri maksudnya adalah daftar keinginan yang ingin dilihat dan dilakukan oleh mereka berdua sebelum mereka mengalami apa yang dinamakan dengan “kick the bucket”, atau meninggal dunia. Review dan resensi film ini sudah cukup banyak tersebar di internet, jadi silakan Anda cari sendiri gambaran rincinya via mesin pencari yang tersedia.

Dulu, waktu masih sangat belia, saya pernah membuat deretan daftar keinginan yang ingin saya capai selama hidup. Seiring berjalannya waktu, beberapa keinginan yang ada di dalam daftar itu tidak semuanya bisa saya penuhi. Ada yang terpaksa harus saya ganti dan hilangkan karena satu dan lain hal. Ada yang tidak mampu saya capai karena sebab-sebab yang tak bisa saya tolak. Tapi saya merasa cukup bahagia dengan beberapa pencapaian yang sudah saya lakukan, meski, dalam level tertentu, saya merasa pencapaian itu masih bisa saya tingkatkan lagi baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Sore ini, di sela-sela pekerjaan merehab rumah yang sedang berlangsung di rumah, saya membaca kembali sebuah buku, yang sampulnya berwarna abu-abu, yang sudah lama sekali saya abaikan di sudut rumah yang berdebu: Berpikir dan Berjiwa Besar yang ditulis oleh David J. Schwarz. Kali pertama saya membaca buku ini adalah saat saya masih SMA dulu. Saya tidak ingat persis di mana saya membacanya ketika itu, apakah ketika di dalam kelas atau ketika di perpustakaan sekolah, atau justru di tempat lain. Saya lupa. Tapi isi buku itu, dari sebagian besar bagiannya yang telah saya baca secara sekilas, masih saya ingat dengan jelas. Buku ini juga sempat saya baca kembali saat berkuliah di STAN. Adalah kunjungan ke sebuah toko buku di Palasari Bandung yang mengantarkan saya bertemu kembali dengan buku yang pernah saya baca bertahun silam itu. Saya juga tidak ingat persis apa nama toko buku itu. Bagian yang masih saya ingat ketika itu adalah saat saya mengambil buku bercover pink itu dari dalam tumpukan buku-buku yang ditempatkan pada sebuah lemari besi yang cukup tinggi dan saya mulai membacanya hingga nyaris lupa waktu.

Dan hari ini, setelah nyaris setengah hari saya membaca buku itu, bergantian dengan beberapa buku dan ebook lain, saya serasa mendapatkan energi untuk kembali menyusun The Bucket List yang sempat terlupa. Memang, hidup tanpa impian serasa hambar tanpa makna. Hidup yang tak diisi dengan impian hanya akan berjalan seperti rutinitas yang dapat membunuh kreativitas, dan saya tak mau menjalani hidup dengan semangat seperti itu.

Anis Matta, dalam salah satu ceramahnya, pernah berkata bahwa, obsesi terbesar yang mengisi ruang jiwa umat manusia dan karenanya menggerakkan seluruh pikiran, kemauan, dan sikap-sikapnya untuk meraihnya adalah dorongan untuk meraih kebahagiaan, sekaligus upaya untuk menghindarkan diri dari semua bentuk yang bertentangan dengan kebahagiaan. Oleh karena itu, unsur-unsur mendasar yang membentuk sebuah kebahagiaan hidup seseorang, salah satunya, adalah perasaan terarah. Itu karena pertanyaan tentang arah kehidupan adalah pertanyaan paling fitri dalam diri seorang manusia. Dan selama pertanyaan paling fitri itu tidak bisa terjawab, maka selama itulah manusia akan mengalami disorientasi hidup. Wajar bila kejadian bernama “tersesat” adalah kejadian yang paling tidak diinginkan saat hidup ini berjalan. Oleh karena itu, perasaan terarah merupakan unsur yang menciptakan keutuhan kepribadian di dalam diri seorang manusia. Dan keterahan ini dapat terwujud saat kita dapat merumuskan mission statement di dalam hidup kita.

Untuk itulah surat-surat Makkiyah didominasi oleh tema-tema ideologis semisal iman kepada Allah, iman kepada Rasul dan iman kepada Hari Kemudian, termasuk juga mengimani kehidupan setelah kematian berupa surga dan neraka. Itu karena, ketiga hal tersebut merupakan unsur mendasar yang akan menegaskan tentang arah kehidupan kita selanjutnya akan kita jalani dengan cara seperti apa. Misi apa yang akan kita emban saat nafas kehidupan ini terhembus dan bagaimana cara kita mengakhiri hidup yang sementara ini bila dikorelasikan dengan misi hidup tersebut. Maka tidak heran, ketika tema tentang kematian menjadi salah satu bahasan paling mendasar agar kita senantiasa ingat bahwa kita sebenarnya sedang menuju ke “sana”. Ada kehidupan yang lebih hakiki dan abadi di “sana”, dimana kehidupan itulah yang akhirnya akan mengisi ruang jiwa kita saat menjalani hidup yang tak seberapa lama ini. Oleh karenanya, firman Allah dalam surat Al Ankabut ayat 46 seyogyanya menjadi modal penting yang harus senantiasa kita renungkan bahwa, "Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan”. Demikianlah arah “kehidupan” yang harus selalu kita ingat.

Itulah sebabnya, The Bucket List kita bukan hanya soal kesenangan semu yang tidak memiliki korelasi positif dengan kehidupan-yang-sesungguhnya kelak, apalagi bila keinginan-keinginan itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama. Tapi The Bucket List kita sesungguhnya bisa lebih bermakna dari hal-hal yang semu dan sia-sia itu, yang bisa memberikan kontribusi positif bagi kehidupan-yang-sesungguhnya kita kelak. Bucket List kita, adalah langkah-langkah terarah yang ingin kita jalani selama hidup ini, dimana langkah demi langkah itu kelak akan mengantarkan kita pada fase hidup yang sesungguhnya dan ke arah mana hidup itu akan dihabiskan selamanya.

Saya lalu merenungi banyak hal, utamanya hal-hal yang sudah terlewat. Hal-hal yang sudah saya abaikan dan lewati begitu saja. Peluang-peluang kebaikan yang sudah saya lalaikan sekian lama. Potensi-potensi kebermanfaatan yang tidak saya acuhkan selama ini. Maka, pada malam hari ini, ditemani sayup-sayup suara ceramah dari pengeras suara sebuah masjid yang ada di bawah sana, saya mulai memberanikan diri untuk membuat daftar keinginan saya, my own bucket list, yang semoga saja bisa menjadi ruang besar yang mengkoridori setiap langkah hidup saya ke depan. Saya memulainya dengan mimpi-mimpi besar saya: menghafal qur’an, naik haji, melunasi hutang-hutang, menyaksikan peristiwa-peristiwa yang saya anggap besar (semisal pernikahan adik, anak-anak, termasuk menyaksikan cucu-cucu saya), mencapai kestabilan finansial, dan hal-hal lain yang begitu kuat mewarnai labirin mimpi saya dan dapat menentukan kualitas kehidupan saya yang sesungguhnya kelak. Dalam setiap mimpi yang saya inginkan, saya menyelipkan doa untuk kebaikan saya sendiri, untuk kebaikan masyarakat yang saya diami, dan untuk kebaikan negeri yang saya cintai ini. Moga Allah mudahkan. Amin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Mei 2014
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar