Rabu, 28 Mei 2014

Jumlah Kebutuhan Itu Berbanding Lurus Dengan Tanggung-jawab


Jumlah kebutuhan itu berbanding lurus dengan tanggung-jawab.

Waktu masih bujangan dulu, saya menganggap bahwa tinggal di kamar kos berukuran tigakalitiga meter, dengan tumpukan buku di salah satu sudutnya dan klumbrukan pakaian yang belum disetrika di sudut yang lain sudah lebih dari cukup. Makan bisa seadanya, sesuai "amunisi" yang tersedia di kantong celana. Ada mie instan ya dimakan, ada ikan cakalang sous ya dinikmati, ada ubi banggai rebus dan dabu-dabu-tarasi ya sudah itu saja yang disantap. Kalau tidak ada makanan ya puasa, kalau tidak punya uang ya melamun saja di kamar sambil baca-baca buku yang jumlahnya tak seberapa. Mau jalan-jalan pun seenaknya. Mau pergi sampai kapanpun tak ada yang bertanya.

Waktu baru menikah, saya menganggap tinggal di rumah kontrakan kecil dengan perabotan seadanya pun tak mengapa. Saya ingat betul perabotan pertama yang saya beli saat baru menikah dulu adalah sebuah kompor minyak tanah, wajan penggorengan, panci, dan perlengkapan dapur lainnya. Sebagian perabot diberikan oleh mertua termasuk rice cooker dan kasur pegas. Lemari es pun diberikan oleh kepala kantor saya yang lama. Perabotan dapur lainnya seperti piring dan mangkok saya “cicil” dengan cara membeli deterjen berhadiah piring dan atau mangkok.

Waktu putri pertama saya belum lahir, saya menganggap bahwa tinggal di mana saja asalkan bersama istri itu bukan suatu masalah. Di lingkungan yang agak berisik dan padat pun tak mengapa. Di rumah kontrakan yang tidak terlalu nyaman asal terlindung dari panas dan hujan pun tidak mengapa. Namun, resiko yang bisa saja timbul saat memutuskan tinggal di lingkungan yang tidak begitu tenang dan padat itu ternyata cukup mengkhawatirkan saya ketika buah hati kami lahir kelak. Maka, diputuskanlah untuk pindah ke kontrakan lain yang lebih tenang, dan kami pun mendapatkannya. Kepindahan itu pun  berakibat pada timbulnya kebutuhan lain yang diperlukan oleh sebuah keluarga kecil yang hendak tumbuh. Maka jadilah barang sekian dan sekian masuk ke dalam daftar kebutuhan keluarga kami ketika itu.

Waktu putri ke dua saya lahir, jumlah kebutuhan lainnya pun meningkat. Pun ketika kami memutuskan untuk merehab total rumah mertua yang sudah tidak layak huni agar nyaman kami sekeluarga tempati juga menjadi salah satu kebutuhan di antara deretan kebutuhan lain yang kami kehendaki menjelang kelahiran putri ketiga kami.

Waktu keluarga kecil kami, keluarga kecil yang masih belia dan hijau itu, datang dan memasuki sebuah komunitas masyarakat baru yang lebih besar dan heterogen, maka hadirlah kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya ketika masih bujangan dulu. Maka mulailah kami membangun dapur yang agak besar, kamar tambahan, mempermak rumah habis-habisan, membuat saluran pembuangan air, membangun garasi, memperbaiki teras, membuat pagar rumah meski sederhana, memplafon langit-langit yang menganga agar tampilan rumah sederhana itu jadi “layak” dan mantesin di mata tetangga, mencari lemari kayu bekas warisan mertua dan dari kantor saya yang sudah tidak terpakai untuk menyimpan koleksi buku saya yang makin tak terbendung, termasuk membeli perabotan yang dulu tak pernah terbayangkan untuk dimiliki seperti oven, mixer, tea set, cetakan puding, dan perabotan lain.

Maka benarlah adanya. Jumlah kebutuhan berbanding lurus dengan tanggung-jawab yang diri kita emban sebagai pribadi, dan pribadi yang memiliki fungsi dan peran tertentu dalam sebuah komunitas tertentu, dengan masalah-masalah tertentunya. Apalagi dengan adanya peran kemasyarakatan yang semakin banyak dan luas. Dipercaya sebagai ini, diminta sebagai itu, dianggap begini, dan disebut begitu, dalam hal positif, tentu saja, mengundang kebutuhan-kebutuhan lain yang sebelumnya hanya dianggap angin lalu dan sepele seperti peci nasional, baju koko yang baru, baju batik yang baru, sendal yang baru, dan sepatu serta celana baru. Saya yang dulunya hanya bersarung dan berkaos saat shalat di masjid, kini harus memperhatikan  penampilan saya, minimal dengan berbaju koko rapi jali, wangi, dan berpeci.

Jumlah kebutuhan dalam hidup berbanding lurus dengan jumlah tanggungjawab dan peran yang kita jalankan. Saya percaya itu, dan sedang belajar agar tidak terlalu gagap dalam memenuhinya. Dulu saya menganggap hidup ini akan saya jalani dengan sederhana, mudah, dan tidak rumit. Namun saat saya masuk ke dalam pusaran aktivitas masyarakat ternyata tidak semudah dan sesederhana yang saya kira, meski dalam beberapa hal, kesederhanaan dan ketidakrumitan itu yang diperlukan untuk mengurai permasalahan yang yang ada. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Mei 2014


Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar