Kamis, 01 Mei 2014

Elegi Motor Mogok



Suatu pagi saya hendak berangkat ke kantor. Saya masih tinggal di Hanga-Hanga ketika itu. Setelah melewati jembatan Kelapa Dua, saya biasanya akan belok ke kanan, lewat rumah Ko Cin, dan seterusnya. Tapi pagi itu saya tidak mengambil jalur yang biasanya saya lewati dan lebih memilih lurus lewat depan PLTD. Ada kejadian menarik saat saya melewati jalan itu. Seorang laki-laki sedang mendorong motor matic yang tampaknya sedang mogok. Di atas motor itu, berdiri seorang anak berusia kurang lebih tiga atau empat tahun. Melihat pemandangan seperti itu, saya teringat kejadian beberapa tahun silam ketika motor Binter Kawasaki 82 yang saya dan almarhum bapak tumpangi terpaksa didorong karena ban belakangnya pecah di kawasan Kalimalang Jakarta Timur. Waktu itu saya masih tahun-tahun akhir di SMP.

Ketika itu saya dan almarhum bapak baru saja menghadiri sebuah acara keluarga di kawasan Pondok Kelapa. Ya, hanya kami berdua. Ketika malam sudah agak larut, bapak mengajak saya pulang. Malang tak dapat ditolak, ban belakang motor kami pecah dan terpaksa bapak harus mendorong motor lawas yang berbobot cukup berat itu untuk mencari tukang tambal ban. Langit malam tampak berwarna kelabu karena hujan deras baru saja turun. Kondisi lalu lintas tidak seberapa ramai. Di pinggir jalan, banyak terdapat penjual makanan seperti Martabak Telur, Nasi Goreng, dan lain-lain. Beruntung saya dan bapak sudah makan malam di tempat salah seorang kenalan bapak sebelum kami pamit untuk pulang.

Selang beberapa menit berjalan, bapak masih belum menemukan tukang tambal ban. Saya mengikuti bapak dari arah belakang, sambil bersiap untuk mengambil posisi beliau untuk mendorong motor tatkala bapak sudah kecapekan. Begitulah, saya dan bapak mendorong motor secara bergantian sambil kepala kami menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tukang tambal ban yang masih buka. Malam sudah semakin larut, namun tukang tambal ban yang kami cari masih belum kunjung ketemu. Kami berdua tidak banyak berbicara ketika itu karena memang kami tidak terbiasa saling bicara. Saya selalu mengambil jarak terhadap bapak dan mungkin bapak juga melakukan hal yang sama kepada saya. Kami berdua sama-sama laki-laki keras kepala dan tidak mau mengalah antara satu sama lain. Kami punya selera dan cara berpikir yang berbeda. Selalu ada kecanggungan yang tercipta yang menjadi spasi pertemuan-pertemuan kami sebelumnya.

Ketika posisi saya digantikan bapak dan saya berjalan di belakang beliau, saya lalu menatap punggung bapak yang sudah mulai menua. Tahun itu umur beliau sekitar lima puluh tiga atau lima puluh empat tahun. Mungkin lima puluh lima. Tahun depan saya akan masuk SMA, dan tahun depan itu pula bapak akan pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Saat menatap punggungnya, saya seolah sedang menatap masa depan saya yang masih gelap. Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga, saya merasa bahwa beban yang ditanggung oleh bapak dalam menjalani tugasnya sebagai seorang kepala keluarga bukan hanya tugasnya seorang, tapi juga tugas saya, atau setidaknya akan beralih ke tangan saya suatu saat nanti. Saat sedang memikirkan masa depan yang segelap langit malam, saya melihat ke arah langit. Bintang-bintang yang tadinya terhalang awan gelap perlahan mulai tampak.

Beberapa supir angkot tampak sedang main kartu gaple di depan warung rokok sambil berteriak-teriak dan tertawa riang. Jalan raya Kalimalang sudah hampir mencapai ujungnya dan flyover Cawang sudah tampak dari kejauhan. Tukang tambal ban pun masih belum jua ketemu. Saya melirik ke arah warung kelontong yang masih buka untuk mencari jam dinding, tapi saya tidak mendapatkannya. Jalan yang akan kami lewati memecah jadi dua. Bapak lalu memutuskan untuk mengambil jalur kanan yang berlawanan dengan jalur yang seharusnya beliau ambil ke arah kiri. Kami berdua terus berjalan melawan arus lalu lintas. Bapak mendorong motornya dengan kecepatan langkah yang terjaga, sementara saya mengikuti beliau dari belakang. Saat flyover sudah tepat berada di hadapan kami, bapak membelokkan motornya ke kanan dan melihat ada seorang tukang tambal ban sedang merokok di pinggir bengkelnya yang kecil dan kumuh. Seingat saya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluhan menit ketika itu. Setelah berbasa-basi sejenak dengan tukang tambal ban yang merupakan seorang lelaki yang, tampaknya, berumur tidak jauh beda dengan bapak, beliau lalu menstandartengahkan motornya lalu duduk di kursi kayu sambil menunggu ban motornya diperiksa oleh tukang tambal ban. Lagi-lagi, bapak lebih banyak diam dan memerhatikan kerja tukang tambal ban, sementara saya mengambil jarak beberapa meter dari kedua lelaki sebaya itu dan lebih memilih melihat keramaian lalu lintas yang makin menyurut seiring malam yang melarut. Beberapa menit kemudian, tukang tambal ban telah menyelesaikan pekerjaannya. Bapak lalu menstarter motor dan mengajak saya untuk naik. Terdengar raungan motor mesin dua tak yang cempreng dan berisik. Saya lalu naik di belakang bapak dan kami berdua berboncengan membelah lalu lintas Jakarta lepas pukul sebelas malam.

Sekian belas tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu hingga akhirnya saya melihat kembali pemandangan yang nyaris tidak jauh beda dengan pemandangan yang pernah saya lihat dan alami dulu. Bedanya, anak yang dibawa oleh lelaki itu masih kecil dan berdiri dengan santai di bagasi bagian depan motor yang sedang dituntun oleh bapaknya, sementara saya dahulu harus bergantian mendorong motor dengan bapak. Saya lalu mengabadikan peristiwa yang berkesan itu dengan kamera ponsel saya dan kembali melanjutkan perjalanan ke kantor yang sempat tertunda.

Saat saya membayangkan kembali peristiwa yang sudah belasan tahun silam terjadi itu, saya baru tersadar bahwa itulah momen terakhir saya dan bapak menghabiskan waktu selama beberapa jam berdua, hanya berdua saja, hingga saya tenggelam dalam kesibukan saya dan bapak dengan kesibukannya beberapa tahun kemudian, sampai akhirnya beliau meninggal dunia tujuh tahun yang lalu akibat sakit yang dideritanya. Andai waktu bisa diputar kembali meski itu tak mungkin terjadi. Ratusan dan ribuan kata-kata “andai” terasa mengiang-ngiang di dalam kepala saya. Rasa sesal menekan dada saya hingga terasa sesak.

Tiba-tiba saja, pelupuk mata saya terasa menghangat. Ada bulir air bening yang menganak sungai di sana. Saya menghapus air bening itu dengan ujung jaket parasut saya. Matahari pagi mulai terasa terik. Tapi hati ini, entah kenapa, serasa gerimis. Robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayaani shaghiraa. [wahidnugroho.com]


Titip rindu buat bapak.
Kilongan, Mei 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar