Minggu, 18 Mei 2014

Luwuk di Ujung Senja



Nyanyian tonggeret melengking nyaring dari arah pohon palem yang berdiri tegak. Saat tonggeret bernyanyi itu artinya musim penghujan sudah berada di penghujungnya meski cuaca di Luwuk akhir-akhir ini semakin tidak jelas apakah musim hujan atau musim kemarau. Saya selalu suka mendengar nyanyian serangga yang punya daur hidup menakjubkan itu. Pertama kali saya mendengar suara tonggeret atau dalam istilah jawa garengpung itu adalah saat mamak mengajak saya jalan-jalan ke perbukitan Gondosuli lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Suaranya yang berisik tapi menenangkan itu terkadang mampir juga ke plafon rumah di atas bukit kami di kala senja.

Tiupan angin menimbulkan tarian dedaunan yang saling berbisik. Tiga orang anak lelaki sedang bermain di seberang jalan dekat taman di samping kantor Telkom. Seorang lelaki muda tampak sedang memotret seorang gadis belia di dekat sebuah pohon bunga tak jauh dari tempat saya berada. Suara renjis tawa mereka menjadi lantunan yang berpadu harmoni dengan suara lain yang saya sesap di sore itu. Di bawah bayang-bayang pohon palem, saya duduk menyelonjorkan kedua kaki, bersandar pada undakan beton rendah yang saya lapisi dengan sandal jepit agar tidak menyiksa punggung, meletakkan handphone dan tas selempang kecil di dekat sandal jepit lainnya yang berbaring begitu saja di atas rumput. Saya mencoba memotret semua peristiwa yang bergulir di sekitar saya saat itu: langit biru, awan abu-abu, cahaya matari yang temaram, bukit, udara, hijaunya dedaunan, dan mencoba untuk menuangkannya dalam tulisan. Tapi saya tak mampu kecuali hanya sebagian kecilnya saja.

Arus lalu lintas di depan Gelora sudah mulai ramai, begitu juga dengan jalan Ir. Sukarno yang sedang saya belakangi. Sekelompok anak muda, sepertinya fans dari sebuah klub Eropa, tampak sedang menyiapkan booth untuk acara nonton bareng di halaman sebuah rumah besar yang ada di sisi jalan. Saya membuka buku Fatherland yang sebelumnya saya pegang, membolak-balik beberapa halamannya, meletakkan pembatasnya di samping handphone saya dan mulai membaca.

Sore itu saya sedianya mengantarkan teman-teman istri saya ke lokasi pengajian di luar kota, tapi batal karena satu dan lain hal. Saat hendak kembali ke kantor untuk lanjut lembur, saya mengurungkan niat itu dan mengarahkan mobil saya ke arah Masjid Agung. Saya berniat untuk bertetirah sebentar di bawah bayang-bayang menaranya dan membaca buku di situ. Sebuah lagu dari Blake Shelton dan The Band Perry menemani perjalanan saya saat mobil yang saya kendarai memasuki areal Masjid Agung. Sekelompok anak kecil tampak sedang latihan karate di pelataran masjid yang diteduhi bayangan masjid, sementara ada dua orang laki-laki paruh baya tampak sedang duduk di bawah bayang-bayang menara. Menyadari bahwa calon lokasi nongkrong saya sudah digunakan orang lain, saya lalu mengurungkan niat untuk duduk-duduk di lokasi itu dan mengarahkan kendaraan saya ke tempat lain sampai akhirnya sebuah undakan di atas taman Gelora, tempat latihan silat, yang ada di depan kantor Telkom menjadi destinasi akhir saya sore itu.

Entah kapan terakhir kali saya melakukan semacam aktivitas ini: jalan-jalan sendiri, lalu duduk-duduk di tempat yang agak sepi dan membaca buku. Aktivitas yang cukup sering saya lakukan saat masih jomblo dulu. Biasanya saya akan membawa tas berisi satu atau dua buku, lalu duduk di Taman CD kampus STAN, atau spot lain yang sepi dan tenang di sekitaran kampus Jurangmangu dan mulai membaca atau menambah hafalan saya yang tak seberapa itu. Semenjak menikah dan memiliki tiga orang putri yang aktif, aktivitas seperti itu nyaris sudah tak pernah saya lakukan. Di ujung senja yang menua, saya ingin kembali melakukan aktivitas itu dan kini saya sedang mulai untuk menikmatinya meski durasinya tak seberapa lama.

Setelah bergonta-ganti posisi duduk beberapa kali, saya akhirnya menemukan posisi duduk yang enak. Setengah jam, satu jam berlalu, hingga akhirnya suara tilawah dari pengeras suara di Masjid Agung mulai terdengar. Nyaris dua jam saya duduk dan membaca di tempat itu, ternyata. Sesekali saya menghentikan bacaan saya dan melihat ke sekeliling. Mendengar, mengamati, dan sesekali memejamkan mata saya sambil menikmati alunan suara kota Luwuk di kala senja. Saya melihat jam di handphone; sudah setengah enam lewat. Itu artinya, beberapa belas menit ke depan suara tarhim sudah siap dikumandangkan.

Saya membersihkan kaki dan celana dari kerikil dan tanah kering yang menempel, mengembalikan pembatas ke lembar halaman yang terakhir saya baca, memasukkan handphone ke dalam tas selempang dan mulai meregangkan tubuh saya yang terasa agak kaku. Matahari sore masih menyisakan seberkas sinar lembutnya dari balik bukit sementara langit di ufuk barat sudah mulai berwarna abu-abu tua. Saya lalu berjalan ke arah mobil yang saya parkir tak jauh dari tempat saya duduk, membuka pintunya, meletakkan buku dan tas di jok sebelah, menstarternya, dan melaju perlahan membelah lalu lintas Luwuk di Sabtu senja yang penuh warna, ditemani suara Tim McGraw dari pemutar musik di mobil.  Saya mengarahkan mobil ke Masjid Agung, bersiap untuk menunaikan shalat Maghrib di sana dan melanjutkan agenda lembur saya di kantor sebelum akhirnya pesan pendek dari istri saya membuat saya merubah agenda paska senja itu.

Kilau cahaya lampu dari rumah-rumah di atas bukit dan Luwuk Shopping Mall berpendaran lemah di permukaan Teluk Lalong yang tenang. Mungkin lain kali saya akan melakukan kegiatan seperti ini lagi. Mungkin. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Mei 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar