Fetish berasal dari bahasa Portugis, feticio, yang artinya pesona. Awalnya, istilah fetish digunakan secara umum untuk menggambarkan sebuah kondisi yang melahirkan kecintaan dan hasrat akan sesuatu secara spesifik. Namun belakangan, definisi fetish mengalami penyempitan makna menjadi sebuah gejala penyimpangan seksual, yakni sebuah hasrat seksual terhadap suatu bagian tubuh, objek, atau gerakan pada tubuh.
Dari segi psikologis, penyakit fetish ini membuat penderitanya (fetishist) menjadi sangat terobsesi dengan bagian tubuh, objek, atau gerakan tubuh tertentu dan hanya mencintai pada bagian yang membuatnya terobsesi itu saja. Kenapa gejala ini disebut dengan kelainan? Karena penderita fetishism ini tidak akan tertarik selain objek dari fetish-nya itu sendiri (biasa disebut partialism).
Misalnya begini. Ada yang punya kelainan fetish terhadap, maaf, ketiak perempuan. Orang yang punya obsesi terhadap ketiak akan sangat dimungkinkan mencapai kepuasan seksual hanya dengan melihat bagian tersebut tanpa peduli siapa pemilik ketiak itu, apakah wanitanya sedap dipandang atau tidak, apakah ketiaknya berbulu lebat atau tidak (halah). Kinda weird, huh? Ya begitulah situasinya.
Tulisan ini bukan tentang fetish yang sudah saya terangkan di atas, tapi tentang fetish yang lain yakni buku, atau yang saya sebut sebagai book fetish. Book fetish, atau insatiable appetite for reading, adalah sebuah ketertarikan terhadap bagian tertentu dari sebuah buku, tak peduli siapa penulis buku itu, bahkan mungkin judulnya. Saya pribadi belum menemukan definisi yang baku tentang istilah book fetish ini tepatnya seperti apa.
Jadi, bagaimana book fetish itu? Misalnya saja begini.
Ada orang yang tergila-gila dengan cover sebuah buku tua, makin tua sebuah buku maka makin seksi, katanya. Entah seksi dimananya. Ada yang sangat terobsesi dengan bunyi halaman buku yang sedang dibolak-balik. Bunyi kertas yang bercumbu dengan jari-jemari itu melahirkan sebuah ekstase tersendiri, katanya. Ada juga yang sangat terobsesi dengan aroma sebuah buku, makin kecut dan berbau debu maka semakin menerbitkan nafsu birahinya dengan buku itu, entah nafsu birahi apa. Ada juga yang terobsesi dengan material sebuah buku, buku yang terbuat dari kulit, misalnya. Atau ada juga yang sudah mencapai kepuasan batiniah hanya dengan memandangi deretan atau tumpukan buku yang ada di lemarinya. Meski begitu, ada juga model fetish yang cukup simpel: buku. Dia hanya akan mengalami, katakanlah, orgasme jiwa saat melihat buku itu sendiri.
Seorang jurnalis bernama Porter Anderson malah menggambarkan sosok seorang book fetishist ini dengan sebuah penjelasan yang sangat sederhana berikut ini;
"A lot of folks have something that sure looks like a fetish about books. They hold physical books to be little short of sacred. It may not matter what’s in them, either. Just books. Any books, as long as they’re physical paperback or hardcover books."
Ada juga model fetish yang lain. Misalnya seperti berikut.
Saat pikiran sedang penat, maka ada orang yang akan mendatangi lemari bukunya, memandangi deretan buku-bukunya dengan pandangan takzim, sesekali mengusap debu yang menempel pada beberapa bagian bukunya, mengambil salah satu buku dan mulai membolak-baliknya, meraba cover dan lembar-lembar halamannya, mencium aromanya, membaca-baca beberapa bagiannya, dan, sim salabim, kepenatannya lalu menguap. Nggak percaya? Tipe terakhir ini terjadi pada diri saya sendiri.
Lalu bagaimana dengan buku digital atau ebook?
Well, saya termasuk orang yang masih berpikiran konservatif bahwa buku adalah buku ketika saya bisa membolak-balik halaman per halamannya dengan ujung jemari saya sendiri dan mampu meraba setiap senti bagian “tubuhnya” dengan tangan saya sendiri. Karena buku digital atau ebook bukanlah sebuah produk buku, bagi saya, ia hanya bagian dari pelayanan penerbit kepada pembacanya untuk dapat “menikmati” buku yang mereka terbitkan dengan cara lain. See? It’s just a part of publisher’s service to their reader, not the book itself. Di samping itu, buku fisikal dapat menghadirkan kepuasan tersendiri saat memandangi sebuah lemari kayu tua yang berisi deretan buku-buku aneka rupa di kala sinar matahari senja jatuh pada salah satu sudutnya dan menghadirkan efek tyndall berupa debu-debu yang beterbangan kesana kemari saat Anda memindahkan satu dua buku dari barisannya, atau sekedar menepuk-nepuk cover berdebunya. Tapi ini bukan berarti saya anti dengan buku digital, lho. Saya hanya merasakan sensasi yang berbeda saat membaca ebook bila dibandingkan dengan membaca buku cetak meski isi dari buku itu mungkin sama saja dan tak ada bedanya. Lagipula, kalau “hanya” berupa ebook, dimana letak fetishnya?
Itu bagi saya. Kalau selera kita ternyata tidak sama ya ndak apa-apa. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar