Kamis, 22 Mei 2014

Bapak...


Suara tarhim terlantun jernih dari arah pengeras suara. Masjid Agung perlahan mulai ramai. Seorang bapak tua berjaket cokelat lusuh lalu berdiri di depan saya. Ia lalu melepas jaket yang sedang dikenakannya dan duduk bersandar di tiang masjid sambil menatap ke arah permadani berwarna merah. Waktu Maghrib sudah mendekat. Sang muadzin yang duduk tak jauh dari tempat saya mulai melihat ke arah jam digital di depannya.

Dari balik punggungnya, saya mengamati sosok lelaki tua yang rambut kelabunya mulai menipis di bagian belakang itu dengan seksama. Posturnya tampak familiar dengan saya. Bahunya yang membungkuk itu seolah pernah saya lihat sebelumnya. Rambut tipis dan uban yang mewarna di kepalanya seperti pernah saya temui di masa yang telah lewat. Saat memandangi punggung lelaki tua itu, saya lalu teringat dengan sosok lelaki yang nyaris tujuh tahun lalu telah meninggalkan saya: bapak.

Adzan Maghrib mulai menggema, memenuhi rongga-rongga masjid di sore yang penat itu. Lelaki tua di depan saya masih duduk bersandar di tiang masjid, sementara ada lelaki lain yang sedang mengamati keberadaannya tanpa disadarinya. Ada rasa hangat yang tiba-tiba muncul dari pelupuk mata yang langsung saya halau kehadirannya.

Adzan Maghrib telah selesai dikumandangkan. Saya lalu merapalkan do'a untuk baginda Nabi dan tak lupa mengirimkan selaksa doa pula kepada bapak, yang sampai detik ini masih belum bisa saya lepas kepergiannya yang sangat tiba-tiba itu.

Duh, Gusti, maafkan hambaMu yang lemah ini.

Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ madkhalahu, waghsilhu bil-ma’i watstsalji wal-baradi. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Mei 2014 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar