Kamis, 22 Mei 2014

Menyikapi Masalah Anak


Siang ini saya dan istri menjemput anak-anak di sekolah. Ketika semua anak-anak yang saya jemput sudah masuk ke dalam mobil dan istri saya kembali, ternyata Mbak Azka masih belum nampak. Saya lalu bertanya kenapa Mbak Azka-nya nggak ada? Istri saya lalu menjawab, “Dia nggak mau pulang”.

“Nggak mau pulang gimana maksudnya?” tanya saya heran.

Saya lalu kembali menyuruh istri masuk ke dalam sekolah dan menjemput Mbak Azka agar segera naik mobil. Dua menit berselang istri saya nampak sedang berjalan keluar dari dalam gerbang sekolah. Sendirian. Tidak ada Mbak Azka di sampingnya.

“Dia nangis, bi. Nggak mau pulang, katanya.”

“Loh? Kenapa?”

“Dia mau ikut menari tapi tidak diajak sama ibu gurunya.”

Setengah kesal dan tidak percaya, saya lalu keluar dari dalam mobil dan berjalan ke dalam sekolah. Dari depan pintu kelas, saya melihat beberapa siswi, teman sekolahnya Mbak Azka, sedang berlatih menari. Saya mendapati putri sulung saya sedang duduk di ujung kursi kayu bersama teman-temannya yang sedang melihat latihan menari itu; menangis dan menggigiti jarinya. Ia lalu melihat saya dan menatap dengan matanya yang sendu.

“Mbak Azka kenapa? Ayo pulang, nak”, ajak saya.

Ia tetap menangis. Matanya mengarah kepada teman-temannya yang sedang latihan menari lengkap dengan aksesorisnya. Saya langsung bisa menangkap maksud tangisan putri saya itu dan dengan pandangan mata saya lalu mengajaknya keluar kelas. Ia menurut dan ke luar dari kelas untuk mencari sepatunya. Saat berjalan menuju mobil, saya menggandeng tangannya dan membujuknya untuk diam. “Malu menangis di depan teman-temanmu, nak”, bujuk saya. Ia tetap menangis. Saya lalu bertanya lagi.

“Mbak Azka kenapa menangis?”

“Mbak Azka mau ikutan menari.”

“Oh, gitu. Tapi berhenti dulu nangisnya ya, malu kalo diliat teman-temannya Mbak Azka.”

Ia bergeming.

Saat masuk ke dalam mobil, Mbak Azka lalu duduk di baris ke dua bersama Fidel dan teman-temannya yang lain. Suara isak tangisnya masih terdengar dari balik kemudi. Saya lalu bertanya kepada istri tentang gerangan apa yang terjadi pada putri sulungnya itu.

Istri saya lalu bercerita tentang latihan menari sebagai persiapan untuk acara pengambilan rapot di sekolahnya. Tentang betapa senangnya Mbak Azka yang belakangan ini suka menari sendirian di rumah. Ia ingin ikut ambil bagian sebagai penari dalam acara itu. Namun hasilnya antiklimaks. Karena ia tidak dipilih oleh guru-gurunya. Saat berbicara, suara istri saya bergetar pertanda ia sedang menahan emosinya agar tidak meluap saat bercerita. Saya manggut-manggut tanda mengerti dan menanyakan beberapa poin lagi perihal kriteria apa yang dipakai ibu gurunya Mbak Azka saat menunjuk siswi yang ikut ambil bagian sebagai penari. Istri saya tidak tahu dan mengatakan beberapa kemungkinan. Ada nada investigatif dalam tata bahasanya. Seolah ia hendak memprovokasi saya untuk larut emosional dengan hasil investigasinya. Tapi saya bergeming.

Saya lalu mencari benang merah antara tangisan Mbak Azka yang tidak lolos uji seleksi tim tari dengan standarisasi perekrutan anggota tim tari oleh ibu-ibu gurunya yang, dalam pandangan istri saya, tidak objektif. Ada semacam aroma “ketidakadilan-dalam-pembentukan-anggota-tim-tari” yang terendus oleh istri saya saat itu.

“Harusnya anak-anak itu ditanya, mau ikut atau tidak. Jangan yang itu-itu saja yang ditunjuk”, ujar istri saya. Kesal.

“Memangnya yang ditunjuk untuk tampil beneran yang itu-itu saja? Memangnya kamu sudah tanya sama ibu gurunya?” cecar saya untuk menetralkan kekesalannya. Ia diam dan memuntahkan argumentasi dan kemungkinan lainnya, masih dengan nada kesal dalam suaranya.

Di tengah perjalanan, saya lalu meminta Mbak Azka untuk maju ke depan supaya bisa dipangku oleh umminya dan bisa saya tanyain perihal beberapa poin penting dari peristiwa tangisan di sekolah tadi.

“Mbak Azka suka menari?”

“Suka.”

“Nanti abi mau tanya ke ibu gurunya Mbak Azka dulu ya, kenapa Mbak Azka sampai tidak ikut menari.” Ia mengangguk.

“Tapi..” lanjut saya, “...kalau misalkan Mbak Azka tidak bisa ikutan menari Mbak Azka tidak menangis lagi?”

Ia menggeleng. Menangis.

Kemauannya untuk turut serta dalam tim menari ternyata sangat kuat. Saya melihat air mata yang menganak sungai di pipinya dan menyuruhnya untuk diam. Ah, putriku ini sudah bisa merasa sedih karena ditolak, ternyata.

“Siapa tau Mbak Azka bakalan diajak taun depan. Mbak Azka mau?”

Ia menggeleng. Menangis. Lagi.

Saya lalu menoleh ke arah istri.

“Nanti aku mau bicara sama ibu gurunya. Siapa nama ibu guru yang ngurus acara ini, mi?”

Istri saya menyebut sebuah nama. Saya kenal dengan nama itu.

“Kalau begitu nanti aku mau bicara sama kepala sekolahnya saja.”

Istri saya setuju.

Dalam perjalanan pulang, saya lalu menasihati istri tentang berlaku objektif saat ada, katakanlah, “ketidakadilan” yang menimpa anak-anak kita. Saat anak-anak kita diperlakukan tidak adil oleh keadaan maka respon pertama kita bukanlah mengutuki keadaan itu tapi justru memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selamanya berlaku adil kepada kita. Kita tidak bisa meminta semua orang untuk berlaku baik dan sesuai dengan idealisme yang kita miliki saat bergaul dengan anak-anak yang sudah kita besarkan dengan idealisme tertentu. Adakalanya, kita perlu membiarkan anak-anak merasakan sedih, ditolak, atau dalam hal ini, bersikap legowo saat tidak lolos seleksi yang nampak tidak adil, dan sesekali mengakrabi mereka dengan kepahitan hidup agar mereka bisa belajar menunjukkan sikap terbaik saat menghadapinya. Tugas kita sebagai orangtua bukanlah untuk mengusir jauh-jauh semua permasalahan anak-anak, tapi tugas kita sebagai orangtua adalah mengajari mereka tentang sikap terbaik saat mereka menghadapi masalah. Masalah mereka sendiri.

Lagian, siapa juga sih orangtua yang pengen anaknya dapet masalah? Saya kira nggak ada. Tapi masalah kadang datang tanpa diundang dan mau tidak mau, suka tidak suka, kita perlu membekali diri saat uninvited problem itu datang mengetuk pintu rumah kita.

Sayangnya, ada orangtua yang terlibat terlalu jauh dalam permasalahan anak-anak, bahkan ikut larut dalam masalah tersebut dan membiarkan anak-anaknya menonton kedua orangtuanya berakrobat menyelesaikan masalah yang menimpa dirinya. Hal semacam itu, kalo menurut saya, justru akan melahirkan anak-anak manja yang selalu bergantung dengan belas kasihan dan simpati orang lain.  Anak-anak yang tidak peka dengan dirinya dan cenderung menyalahkan kondisi saat ia menjumpai permasalahan. Ini tentu hal yang ingin kita hindari.

Jadi, saat anak-anak kita diperlakukan tidak adil, tidak sesuai dengan norma hidup yang kita yakini, tidak sejalan dengan idealisme yang kita miliki, maka katakan saja kepada mereka bahwa hidup ini memang tidak akan selalu berbaik hati kepadamu, tapi ia akan menawarkanmu kesempatan ke dua untuk memperbaiki diri agar dapat mengubah kepahitan hidup itu menjadi pelajaran hidup yang dapat mendewasakan akal dan pikirmu.

Saya kira, tugas pertama saya untuk menyamakan frekuensi dengan istri saya saat menyikapi masalah tangisan dan kemungkinan ketidakadilan itu, dari sudut pandang saya sebagai orangtua, sudah saya lakukan. Tugas ke dua saya adalah menasihati Mbak Azka agar ia dapat memberikan respon terbaik dari situasi pelik, pelik sesuai dengan level usianya, yang sedang dihadapinya. Tugas ke tiga saya, tentu saja, mengklarifikasikan hasil “investigasi” istri saya kepada ibu guru yang berwenang agar ada kesepahaman yang didapat dari tragedi kecil tadi siang. Tugas pertama saya sudah selesai. Tugas ke dua sedang saya usahakan, dan tugas ke tiga rencananya akan saya selesaikan malam ini.

Menjadi orangtua memang tidak (selalu) mudah. Ini adalah sebuah proses pembelajaran yang sangat berguna bagi saya dan istri yang masih berstatus sebagai orangtua baru, yang tentu saja masih sangat hijau dengan hal-hal semacam ini. Saya bukan pakar pendidikan anak. Saya juga bukan orang yang punya kompetensi dalam dunia perparentingan. Saya hanya menuruti intuisi dan kata hati saya untuk menyikapi masalah itu sesuai dengan apa yang saya yakini dan pahami selama ini. Semoga apa yang saya, kami, lakukan ini baik adanya. Amin. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Mei 2014 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar