Minggu, 06 Juli 2014

Tentang Copras-Capres: Semacam Sudut Pandang

Helatan pemilihan presiden yang dipenuhi dengan hingar-bingar, bahkan tak jarang caci-maki, fitnah, dan sumpah serapah, kali ini benar-benar membawa suasana yang berbeda bagi saya. Berbeda karena, tak seperti pemilu yang sudah-sudah, orang-orang sudah tak lagi malu-malu menunjukkan afiliasi politik mereka kepada salah satu dari dua calon yang sedang berlaga. Teman-teman saya, baik yang di dunia maya dan di dunia nyata, yang dulunya nampak apatis, sekarang tidak. Postingan mereka memenuhi linimasa saya dan obrolan-obrolan sambil lalu kami pun tak jarang menyerempet ke soal pemilihan presiden dan segala dinamikanya. Peran media sosial sebagai saluran aspirasi di dunia yang semakin cair dan tak berjarak menjadi salah satu faktor yang paling dominan.

Secara pribadi, saya senang-senang aja dengan perkembangan ini. Setidaknya saya jadi tahu bagaimana cara teman-teman saya berpikir dan bagaimana cara mereka menganalisa sesuatu hingga menjadi sebuah kesimpulan yang sama-sama bisa dikritisi. Khusus di media sosial, kadang saya merespons postingan beberapa teman yang tak jarang meluas pada diskusi-diskusi yang hangat. Diskusi yang memaksa saya untuk memeras nalar dan juga menggali kembali dasar sebuah pemahaman dari keyakinan yang saya miliki selama ini. Saya sangat menikmati diskusi-diskusi itu, karena kami bisa saling bertukar pikiran dan ujung-ujungnya bisa saling memahami posisi kami masing-masing dari sebuah peristiwa yang sama.

Kadang, saya mendiamkan beberapa postingan yang provokatif, yang andai akan saya respon tentu sang pembuat postingan akan merasa senang karena “umpannya” telah berhasil memancing respon yang, entah sengaja atau tidak, sedang diprovokasinya. Saya juga suka senyum-senyum sendiri menyaksikan postingan teman-teman saya yang kontra dengan apa yang saya dukung. Tapi cukup sampai di situ saja, karena untuk hal-hal tertentu yang sudah disikapi dengan jelas, saya cenderung bermain “aman” dengan tidak masuk ke dalam perangkap mereka dan mencukupkan diri dengan menolerir apa yang mereka posting/katakan.

Di sisi lain, perhelatan pilpres kali ini telah memaksa saya untuk kembali membuka literatur-literatur terkait perjalanan bangsa ini yang rumit dan berliku. Sejak dulu, saya memang tidak terlalu tertarik dengan buku-buku sejarah nasional karena ketidakjelasan kontennya diakibatkan penguasaan narasi sejarah oleh beberapa pihak. Namun dengan seiring berkembangnya situasi dan ternyata ada banyak hal-hal mengejutkan yang seolah keluar dari persemayamannya hingga akhirnya membuat orang-orang baru nyadar dan ngeh dengan eksistensinya yang selama ini tidak terungkap, membuat saya harus membuka-buka kembali literatur yang sempat saya tinggalkan sejak lama. Saya lalu membeli buku-buku yang saya anggap perlu demi memuaskan rasa ingin tahu saya terhadap objek yang sedang saya perhatikan. Saya juga membaca artikel-artikel yang saya ungguh dari internet, menyesapnya perlahan-lahan, mengunyah dan mencernanya di dalam kepala, menyambungkannya dengan nalar dan logika, agar tercipta satu narasi utuh yang bisa saya jadikan pegangan dalam memandang kondisi bangsa dan negara ini secara jujur.

Oleh karenanya, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada siapapun, baik yang pro dan kontra dengan saya dalam diskusi-diskusi yang kita lakukan; atau kepada mereka, para ahlul nyinyir yang postingannya kerap saya baca tanpa komentari di media sosial; atau kepada mereka yang kerap berdiskusi dengan saya dalam beberapa kesempatan yang ada; atau kepada siapapun yang telah meramaikan linimasa media sosial saya dengan segala polah-tingkah dan latar-belakang pemikirannya; sehingga saya kembali bersemangat untuk membuka buku dan literatur tentang sejarah bangsa ini, bangsa yang besar yang tak pernah lepas dari nestapa ini. Saya yakin, mempelajari masa lalu, membacai sejarah, bukan untuk membuat kita larut dalam nostalgia semu dan kebanggaan yang tidak produktif, tapi untuk mencari spirit bangsa ini dalam meraih takdir kesuksesannya di masa depan.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Juli 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar