Senin, 07 Juli 2014

Ruang Privat Yang Tak Lagi Privat

Malam makin beranjak larut namun saya masih belum kunjung bisa tidur. Saya lalu mengambil sebuah buku “berat” supaya kelopak mata turut memberat tapi gagal. Mata saya masih terang. Saya lalu mengirimkan pesan pendek kepada seorang penjual buku yang bukunya mau saya beli. Setelah ber-sms ria dengannya, saya lalu membuka-buka beberapa laman di dunia maya, membaca beberapa tulisan pendek, artikel, dan juga status teman-teman yang berseliweran di linimasa.

Setelah mereply beberapa postingan, saya lalu berjalan ke dapur. Perut saya agak lapar. Saya membuka tudung nasi di meja makan lalu mengurungkan niat untuk mengambil sepotong pisang goreng yang sudah dingin sisa berbuka tadi yang sedang tergolek pasrah di atas piring. Saya lalu mengambil mangkok kaca hadiah dari membeli deterjen di rak piring dan menciduk empat sendok makan kolak pisang buatan mamak yang ada di dalam toples plastik di atas meja. Puas menikmati kolak pisang, saya lalu beranjak ke kamar belakang yang jadi ruang kerja mini saya selama ini. Menyalakan laptop, memutar lagu-lagunya Payung Teduh dengan volume kecil, dan mulai menulis.

Ada sesuatu yang menggelitik pemikiran saya selama ini tentang pola interaksi di media sosial selama ini. Semacam lintasan pikiran yang sejak lama berkelebat di dalam kepala namun belum sempat saya tuliskan secara panjang lebar.

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman saya di facebook menshare postingan tentang sesuatu di linimasanya. Postingan itu sebenarnya sudah diposting beberapa jam yang lalu, namun entah kenapa tiba-tiba aja nongol di linimasa saya. Tergelitik dengan postingan tersebut, saya lalu melontarkan sebuah pertanyaan dengan harapan supaya pertanyaan yang sederhana itu dijawab. Namun ternyata hasilnya jauh dari harapan. Teman saya itu justru nulis ngalor-ngidul dan melakukan postingan sporadis yang pada intinya makin menjauh dari topik awal yang sedang saya pertanyakan. Salah satu argumentasi yang diberikan teman saya itu kurang lebih garis besarnya seperti ini, “Facebook ini milik saya pribadi. Mau saya posting apapun ya terserah saya, donk”.

Sepintas, postingan itu memang tidak salah. Saya pun membenarkan pengakuan itu. Namun yang jadi titik kritisi saya, yang sampai detik ini tak jua direspon oleh teman saya tersebut, adalah bahwa postingan di akun pribadi kita di media sosial memang bagian dari privasi kita. Tapi saat postingan yang sifatnya privat itu dilontarkan di ruang publik maka jangan salahkan orang-orang yang tak sengaja melihatnya untuk kemudian memberikan respon baik pro dan kontra dari postingan yang sifatnya privat itu tadi. Itulah sebabnya, di era media sosial ini, ruang-ruang privat kita tak lagi memiliki sekat-sekat dan karenanya interaksi kita, meski dibatasi ruang dan waktu, menjadi semakin cair dan dekat. Seorang presiden bisa berinteraksi langsung dengan rakyatnya, seorang wakil rakyat bisa berdiskusi langsung dengan calon konstituennya. Kasus kemarahan Ibu Ani Yudhoyono terhadap postingan followernya di sebuah akun media sosial tempo hari karena rasan-rasan yang menurut beliau ndak ilok sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita benar-benar memahami pola interaksi dalam dunia media sosial yang tak lagi bersekat. Saya tidak tahu kalau tema ini ada istilah ilmiahnya. Anda yang paham soal-soal beginian mungkin bisa memberikan saya pencerahan.

Jadi, saat saya menuliskan sesuatu di akun media sosial pribadi saya, maka mau tidak mau saya harus bersiap dengan respon yang diberikan oleh teman-teman yang ada di friendlist saya. Atau dengan respon siapapun yang memiliki akses terhadap postingan saya. Respon itu bisa beragam, bisa pro, bisa kontra, bisa mencaci, bisa sumpah serapah, dan seabrek ekspresi lainnya. Sebisa mungkin, saya akan mencoba untuk mereply semua postingan yang mampir di status atau sharingan saya, meski kadang ada banyak juga yang tidak saya respon karena situasi-situasi tertentu.

Yang ingin saya sampaikan adalah, saat kita telah memutuskan untuk menjadi warga dalam sebuah ruang bernama media sosial dengan pola interaksinya yang serba cair, maka kita perlu menyediakan ruang jiwa seluas-luasnya untuk menampung aneka respon yang mampir ke beranda kita. Mengabaikan hal ini justru menunjukkan jika kita adalah orang yang keras kepala, egois, dan sulit menerima perbedaan. Atau bolehkah jika saya menyebutnya sebagai perilaku intoleran?

Nyanyian jangkrik yang saling bersahutan menyapa indra pendengaran saya di samping lagu-lagu Payung Teduh yang bernuansa syahdu. Pisang goreng dingin di meja makan yang tadi saya abaikan tiba-tiba saja menggugah selera saya untuk segera melahapnya. Sahur masih lama, tapi mata masih belum jua mau terpejam. Tulisan di atas hanya semacam lintasan pikiran. Kalo ada yang kurang berkenan dan ulasannya tidak tajam dan mengawang-awang maka saya mohon maaf, namanya juga lintasan pikiran. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Juli 2014
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar