Senin, 07 Juli 2014

Catatan Lelaki Tak Sempurna

Waktu kecil dulu, saya pernah berniat untuk menulis buku harian. Nggak tau kenapa, kayaknya kok keren aja gitu kalo bisa punya buku harian sendiri. Waktu masih kelas enam SD, saya pernah beli buku tulis kosong yang harganya paling murah, saya sampul dengan kertas cokelat, lalu saya beri nama dan tulisan basmalah dengan huruf arab yang jelek sekali di halaman pertama. Saya sering menanti-nanti waktu malam supaya ada materi yang bisa saya tuangkan ke dalam buku harian itu. Perjalanan saya dari rumah ke sekolah, pulang ke rumah dengan ngompreng mobil bak terbuka, atau sepeda bmx merah antik saya yang digantikan dengan sepeda federal baru berwarna ungu. Saya kadang menulis tentang teman-teman yang pernah berkelahi dengan saya di sekolah, jajanan dan mainan di sekolah, dan juga beberapa tulisan pendek tentang kesan-kesan saya terhadap teman-teman sekelas. Mungkin karena saya cepat bosan, aktivitas itu saya tinggalkan. Buku harian yang sempat jadi teman saya dalam kurun waktu yang tak seberapa lama itu hilang entah kemana. Waktu SD pula saya dipercaya untuk jadi juru tulis di kelas. Biasanya saat guru pergi saya akan diberikan sebuah buku untuk disalin di papan tulis. Kebiasaan itu masih berlangsung sampai saya SMP.

Saat masuk SMP, saya memulai lagi aktivitas mencatat di buku harian. Sebuah buku tulis tipis lalu menjadi teman coret-coret saya waktu itu. Kehadiran asmara di masa belia turut menyuntikkan energi menulis saya. Saya jadi akrab dengan lagu-lagu romansa, puisi, dan juga cerita-cerita romantis. Saya suka menulis lirik-lirik lagu yang saya suka. Saya juga menulis, katakanlah, surat cinta. Dulu saya sempat menyimpan surat-surat balasan si dia dalam sebuah tempat khusus, namun belakangan saya harus membuang surat-surat itu demi kebaikan saya dan keluarga saya.

Surat-surat itu tak melulu berbentuk surat yang lazim kita kenal, karena kadang hanya berbentuk sepotong kertas dengan tulisan merah jingga di dalamnya, atau sekedar bertukar kabar. Saat-saat sebelum saya memutuskan untuk membuang surat-surat itu, saya meluangkan waktu sejenak untuk membacanya satu demi satu dan tersenyum-senyum saat mengingati masa-masa belia itu.

Waktu SMA, saya juga masih suka nulis. Termasuk surat-surat untuk si dia. Saya tak punya sahabat pena meski dulu sempat kepingin punya. Tapi saya kurang punya nyali untuk menjalin sahabat pena. Meski begitu, saya suka meringkas buku-buku yang pernah saya baca, atau menulis cerita-cerita sambil lalu. Semua tulisan itu sudah hilang.  Sayang sekali, memang. Di antara semua mata pelajaran yang saya suka,  Bahasa Indonesia dan Sejarah adalah mata pelajaran yang saya suka. Namun demi mengejar gengsi, persetan dengan gengsi, mau tak mau saya terpaksa mempertajam kemampuan eksakta saya agar bisa bersaing dengan teman-teman di kelas. Waktu mau lulus kelas dua SMA dan masuk ke penjurusan, saya sempat berkata kepada mamak bahwa saya mau masuk kelas bahasa ketika itu. Saya tertarik belajar Bahasa Jerman karena di sekolah saya dulu ada seorang guru sosiologi yang jago bahasa Jerman. Tapi ternyata peminat kelas bahasa di angkatan saya sangat kurang, sehingga saya terpaksa memilih jurusan IPA. Meski begitu, saya suka mampir ke perpustakaan sekolah, baca-baca buku cerita, koran, majalah, atau sekedar buat nongkrong-nongkrong selain tidur-tiduran di mushala sekolah.

Lulus dari SMA, saya melanjutkan aktivitas halaqah saya yang belang-bontang saat masih sekolah. Kali ini dengan seorang ustadz yang cerdas dan lulusan timur tengah. Beliau selalu mendorong kami, para mutarabbinya ini, untuk menulis materi yang digilir setiap pekannya. Waktu itu buku yang jadi bahasan materi kami adalah Hadits Arba’in dan Afatun ‘Ala Thariq. Saya termasuk yang paling menunggu-nunggu giliran untuk memberi materi karena di situ saya jadi bisa menulis artikel berdasarkan buku-buku referensi yang ada. Saat kuliah ini pula saya berkenalan dengan blog. Waktu itu masih di friendster. Tak lama, saya juga mendaftar di multiply. Tapi awalnya saya rutin mengisi blog friendster saya. Nanti di tahun 2005 saya baru mengaktifkan multiply saya.

Saya nggak suka mengkopas tulisan orang lain untuk saya taruh di blog, kalopun ada paling hanya satu dua saja. Saya lebih suka menulis sendiri. Meski jelek dan ngalor-ngidul tapi ada kepuasan tersendiri saat membaca tulisan hasil karya saya. Tulisan-tulisan di blog itu nggak selalu bertema serius seperti tulisan-tulisan tentang materi keislaman, tapi juga kadang soal kondisi ruhiyah, kadang soal hubungan pertemanan, kadang soal politik, dan, yang pasti, soal cinta. Saya punya teman yang cukup sering berkorespondensi saat masih nongkrong di friendster dulu. Iya, dia perempuan. Sebut saja namanya Mawar. Khusus di bagian gak usah dilanjut ya, hehe..

Waktu masih kuliah ini juga, saya diamanahi sekelompok anak SMA untuk saya bina. Mentoring namanya. Menjadi mentor adalah salah satu wadah yang sangat cocok untuk menyalurkan hobi menulis saya. Maka jadilah mentee-mentee saya itu dulu saya kirimi tulisan-tulisan pendek, biasa berisi nasihat-nasihat. Saya juga berkorespondensi dengan beberapa teman ikhwan baik di dalam dan di luar negeri, termasuk juga berkorespondensi dengan beberapa akhwat yang saya kenal melalui surat. Dan, ya, surat-surat dari para akhwat itu pun juga sudah saya musnahkan awal tahun 2013 yang lalu saat saya pulang ke rumah. Saya tidak memungkiri bahwa dulu saya pernah dekat dengan beberapa orang akhwat dan kami kerap berkorespondensi melalui surat atau melalui pesan pribadi. Akhwat-akhwat itu sudah berkeluarga semuanya, sehingga saya tak perlu menyebut nama-nama mereka dengan alasan maslahat. Saya menganggap semua hal yang terjadi pada diri saya itu sebagai bagian dari episode kehidupan yang sudah lewat. Episode-episode yang turut mendewasakan saya dan membuat senyum tersungging saat mengingatinya. Menyadari bahwa saya dulu pernah melakukan hal yang konyol, berisiko, dan juga mungkin memengaruhi stabilitas hati saya. Tapi itu semua sudah lewat  dan saya mencukupi diri untuk menuliskannya pada titik ini saja.

Waktu kuliah ini saya membaca banyak buku lebih banyak karena koleksi buku-buku di perpustakaan kampus dan perpustakaan MBM yang melimpah. Saya juga rutin membaca majalah gratisan di Fatahillah MBM, jurnal, artikel, dan berinteraksi dengan banyak orang. Bisa dibilang, “kepala” saya terbuka saat di dunia kuliah karena saya berhadapan dengan dunia yang sama sekali berbeda saat masih di bangku sekolah dulu. Saat saya diamanahi sebagai ketua Badan Legislatif Mahasiswa dan karenanya mendapatkan jatah kunci sekretariat yang ada komputernya, membuat saya jadi lebih sering mengetik tulisan di word ketimbang menulisnya di buku tulis seperti yang sudah-sudah. Ada banyak draft tulisan saya di komputer itu yang sayangnya tak sempat saya selamatkan semua karena keterbatasan fasilitas. Kala itu flashdisk masih menjadi barang mahal dan belum terjangkau bagi saya.  

Sampai detik ini, aktivitas menulis di blog boleh dibilang menjadi salah satu aktivitas yang bisa saya pertahankan dengan sekuat tenaga dalam kurun waktu yang panjang. Memang, belum ada buku yang lahir dari aktivitas ini lebih karena sayanya aja yang kurang PD. Mungkin saya masih terjebak di zona nyaman menulis blog tenimbang buku yang mengandung pertanggungjawaban tersendiri. Meski begitu, sejak kuliah saya sudah berniat menulis buku. Sebuah kerangka buku pernah saya tulis dengan sangat jelek sekali tercatat dengan runut di buku catatan saya yang sudah hilang entah kemana. Saya juga menuliskan beberapa referensi yang harus saya lahap sebelum buku itu mulai ditulis. Namun lagi-lagi karena aktivitas kuliah dan organisasi yang cukup padat membuat impian itu hanya tinggal impian. Saya sempat mencoba bangkit untuk coba menulis buku kembali dengan tema yang berbeda tapi gagal. Belum lagi motivasi kuliah saya yang sangat rendah membuat nilai indeks prestasi saya kembang kempis setiap semesternya. Masa kuliah bisa dibilang masa suram dunia akademik karena saya jujur aja emang gak terlalu semangat kuliah akuntansi dan perpajakan, hehe.. Tapi alhamdulillah, Dia punya rencana lain untuk saya.

Itulah sebabnya, saya tidak pernah mengaku diri sebagai lulusan STAN, tapi lolos, karena memang saya lulus dengan sangat susah payah ketika itu. Tanpa bantuan teman-teman yang sabar membimbing mata kuliah akuntansi dan juga belas kasihan dosen pembimbing, saya mungkin akan bernasib lain. Tapi, ya itu tadi, Allah mungkin sedang menyiapkan rencana lain untuk saya jadi ya dinikmati saja.

Nilai IP saya yang terendah kedua seangkatan spesialisasi Pajak mengakibatkan saya terdampar di Luwuk, Sulawesi Tengah. Tapi di sini, semangat menulis saya jadi meninggi. Saya jadi banyak menulis demi mengusir suntuk dan bosan berada di tanah rantau. Saya sempat berencana membuat semacam direktori rumah makan kaki lima di kota Luwuk di blog, tapi urung karena satu dan banyak hal. Saya juga sempat punya ide untuk menulis hasil jalan-jalan saya selama di Luwuk ke dalam blog, tapi tak maksimal.

Sampai detik ini, saya masih berusaha untuk menjaga stamina menulis untuk tetap menyala, meski dengan susah payah. Saya memang masih payah sekali. Seorang ustadz menantang saya untuk menulis buku dan tantangan itu masih saya simpan sampai detik ini. Tantangan yang selalu terngiang dan sedang berusaha saya realisasikan. Saya tak mau berjanji muluk tapi saya akan berusaha memenuhi tantangan sang ustadz tersebut demi kebaikan saya sendiri. Membuat pengakuan dalam tulisan ini sebenarnya tidak mudah buat saya karena ada banyak hal yang sebelumnya saya simpan kini harus saya ungkapkan demi menghancurkan dinding besar yang menghalangi tercapainya impian saya untuk memiliki buku sendiri. Saya pun sudah bersiap andai istri saya membaca catatan ini lalu ia menghampiri saya dengan segepok pertanyaan. Tidak masalah. Saya yakin ia akan mengerti bahwa suaminya ini memang bukan lelaki bermasa lalu sempurna dan tanpa cela.

Gerimis yang sejak pagi mengguyur bumi Luwuk sudah sirna. Maghrib masih lama, tapi waktu Ashar sudah mendekat. Tiba-tiba saja, saya rindu dengan kampung halaman, rindu dengan bapak. Semacam cinta yang bertepuk sebelah tangan. Semoga Allah beri kekuatan kepada diri ini untuk menaklukkan kelemahannya sendiri. Kelemahan yang telah menggurita di dalam hati dan karenanya sulit diusir pergi. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Juli 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar