Senin, 14 Juli 2014

Mencari Spirit Ramadhan Yang Hilang

Ada yang berbeda dari perjalanan Ramadhan tahun ini. Selain hingar-bingar perhelatan Piala Dunia di Brazil yang baru akan berakhir menjelang akhir bulan nanti, Ramadhan tahun ini juga disinggahi oleh riuh-rendah ajang pemilihan presiden yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Di bulan yang mulia ini, kita tak hanya disuguhi oleh pemandangan masjid-masjid yang ramai dengan jama’ah yang membludak hingga ke emperan, kajian keilmuan yang banyak dilangsungkan, tangan-tangan yang makin ringan berbagi rezeki, lisan dan perilaku yang lebih terjaga, tapi juga rivalitas yang terjadi di lapangan sepakbola dan di antara dua kandidat calon presiden Indonesia termasuk pendukung-pendukungnya.


Khusus tentang pemilihan presiden, ada banyak kejadian yang mengiringi hajatan besar bangsa ini yang bisa kita lihat di pelbagai media, baik media mainstream maupun media non mainstream seperti blog dan laman media sosial. Aksi saling hujat, fitnah yang bertebaran, bahkan terjadi serangan fisik seperti yang dialami oleh kantor berita TV One dan kantor DPD PKS Karawang oleh pendukung salah satu calon presiden. Ramadhan tahun ini memiliki ujian tersendiri yang perlu dicermati.


Pada titik ini, kita kerap bertanya-tanya, apa sebenarnya efek yang paling signifikan bagi kita dari kedatangan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini? Apakah efek signifikan itu hanya berupa berkurangnya lingkar perut, pameran baju baru, rumah yang catnya lebih kinclong, mobil baru yang mengkilap, atau sekedar menyibukkan diri dengan agenda buka puasa bersama yang kerap berakhir antiklimaks dan sekedar jadi ajang kumpul-kumpul tanpa makna?


Bagaimana dengan kualitas spiritual kita; bacaan Qur’an kita yang tak kunjung membaik, hafalan surat yang makin lama makin berkurang dan bukannya bertambah, kemurahan hati kita kepada sesama, menjaga jiwa dan lisan dari hal-hal yang dapat mengotorinya, adakah itu semua jadi agenda utama kita di Ramadhan tahun ini? Atau ia terlupa dengan keramaian di ajang nonton bareng Piala Dunia di kafe-kafe yang buka hingga fajar atau keributan di ajang Pemilihan Presiden yang merembet di kehidupan nyata? Perlahan tapi pasti, spirit Ramadhan yang harusnya terpelihara berangsur menghilang dan karenanya asing dengan keseharian kita. Tak heran jika Ramadhan kali ini hanya sekedar menahan lapar dan haus saja.


Memang, pandangan tentang Ramadhan tak selalu sufistik, karena ada banyak peristiwa penting dalam sejarah umat Islam yang terjadi di bulan yang mulia ini seperti; perang Badar Qubra, Penaklukkan kota Makkah (Fathu Makkah), pernikahan Ali dan Fathimah, dan peristiwa-peristiwa besar lainnya yang tercatat dalam kronik sejarah umat ini. Itulah sebabnya, Ramadhan seharusnya tidak dekat dengan kelesuan dan kelemahan, tapi justru dengan kerja keras.


Kita patut merasa bersyukur dengan kondisi daerah ini yang sangat aman dan kondusif untuk memaksimalkan ibadah detik-detik Ramadhan kita menjadi lebih bermakna. Karena di sudut bumi yang lain, kita dapati berita memilukan tentang serangan pasukan Zionis Israel ke pemukim Palestina di Gaza yang mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan. Gaza, kota para pejuang itu, telah lama mengalami pemboikotan dari segala penjuru mata angin: listrik diputus, air diputus, bahan makanan terbatas, ditambah dengan ancaman misil dan peluru yang mengiringi langkah mereka. Belum lagi dengan kisah pelarangan puasa oleh pemerintahan komunis Tiongkok oleh kaum muslimin di Xinjiang. Kita yang masih berleha-leha dan tidak memaksimalkan Ramadhan kali ini di tengah pemandangan kehidupan yang begitu terserak dalam keseharian kita harusnya merasa malu.


Kini, di hadapan kita membentang sebuah hajatan besar yang menentukan siapa sosok yang akan memimpin bangsa yang besar dengan permasalahan yang besar pula ini. Anis Matta, Presiden PKS, berkata bahwa, Indonesia yang besar ini butuh “otak besar” untuk memahaminya secara utuh. Mari hilangkan caci maki dan prasangka kepada sesama anak bangsa. Mari berdemokrasi secara sehat dan mengesampingkan kepentingan-kepentingan sesaat. Siapapun yang akan terpilih, suka atau tidak, ia akan menjadi pemimpin bangsa ini. Oleh karenanya, di antara doa dan munajat kita yang tak tersela, mari selipkan doa agar negeri ini dianugerahi pemimpin yang dapat membawa negara ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.


Mari kembali merajut asa dan cita, mari kembali mencari spirit Ramadhan yang sempat hilang, agar Ramadhan kali ini tak lagi diisi dengan sumpah serapah, caci maki, dan aksi-aksi vandalistik yang merugikan sesama anak bangsa, tapi dengan riuh rendah tilawah Qur’an, kesantunan kata-kata, kajian-kajian keislaman, saling berbagi antar sesama, dan prasangka baik kepada semua entitas bangsa.


Terakhir, sehubungan dengan pemilihan presiden yang lewat di serambi Ramadhan kita, saya hendak mengutip nasihat salah satu guru bangsa, KH. Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym. Beliau berkata, “Dukung mendukung adalah wajar, beda pendapatpun wajar. Tapi saling membenci dan saling menyakiti tak ada gunanya bahkan merugikan kita semua. Kita harus tetap jernih, proporsional, tak boleh berlebihan menyikapi episode pilpres ini, jangan sampai merusak akhlaq, memutuskan silaturahim dan menurunkan iman. Ingat yang menjamin rizki, keselamatan, kebahagiaan dan kemuliaan dunia akherat adalah Alloh semata bukan presiden atau siapapun. Pilpres bisa jadi amal soleh, bila niat dan caranya benar menurut Allah, tapi yang Maha menentukan hanya Alloh semata. Kita harus sangat siap dengan apapun takdir Alloh. Bila disikapi dengan selalu mendekat kepada Alloh, kita tak akan dirugikan sama sekali, Insya Allah.”


Semoga Allah mudahkan urusan kita. Marhaban yaa syahru ramadhan. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Juli 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar