Kamis, 10 Juli 2014

Semacam Kronik Copras-Capres 9 Juli 2014

Tiga buah buku bacaan dan satu buah mushaf sudah saya masukkan ke dalam tas plastik hitam sebagai barang bawaan. Setelah memastikan handphone, charger, dan uang kecil sudah ada di dalam tas kecil yang saya bawa, saya lalu keluar rumah dan menemui istri saya yang ternyata sedang duduk di atas motor maticnya. Setelah cipika-cipiki dan membicarakan beberapa hal secara singkat, kami berdua saling berpamitan. Hari itu saya akan bertolak ke Kecamatan Kintom. Mobil saya disewa untuk mengantarkan koordinator saksi dari salah satu calon presiden untuk menyampaikan dana saksi sekaligus menjemput formulir C1.

Kota Luwuk pagi hari saat hari pemilihan presiden masih tampak lengang. Beberapa TPS yang berlokasi di pinggir jalan mulai dari BTN Nusagriya sampai ke TPS-TPS yang berlokasi di dalam kota belum dipenuhi banyak orang. TPS di dekat rumah saya di BTN Muspratama pun belum terlalu ramai, padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Pertandingan piala dunia yang baru saja selesai pada pukul enam pagi mungkin membuat banyak warga Luwuk masih terbuai di alam mimpi. Padahal hari ini adalah hari penentuan pemilihan presiden untuk sebuah negara besar yang dihuni lebih dari dua ratus juta warganya. Iring-iringan mobil tronton berisi anggota TNI dan Polri mondar-mandir memecah kelengangan yang terjadi di jalanan Luwuk.

Saya melajukan mobil dengan kecepatan perlahan ke arah jalan Garuda. Orang yang akan saya jemput tinggalnya di kantor sekretariat PKS, namanya Ari, asli orang Palembang. Setelah Ari datang, ia meminta saya untuk melanjutkan perjalanan ke arah Puge. Di sanalah pusat tabulasi suara calon presiden nomor urut 1 bermarkas. Sesampainya di Puge, ia meminta diri untuk turun sebentar. Saya awalnya tidak ingin ikut masuk, tapi akhirnya ingin tahu juga. Saya lalu mengikuti Ari dari belakang. Banyak motor yang terparkir di halaman rumah yang berada tepat di tikungan ke arah perumahan dokter dan jalan menurun ke arah Mambual. Sendal-sendal berserakan di terasnya. Saya lalu menunggu di depan rumah itu. Lalu lalang orang, saya kira mereka adalah para saksi, melewati saya. Seorang lelaki yang tampaknya juga supir lalu menyapa saya. Ia akan mengantar koordinator saksi ke arah Batui, akunya. Tak beberapa lama, Ari keluar dari dalam rumah yang tampaknya penuh dengan hiruk-pikuk manusia itu.

“Ayo kita berangkat”, katanya.

Kami lalu berjalan ke mobil dan berangkat ke arah Kintom. Kelurahan Mendono jadi destinasi pertama kami. Di sana kami rencananya akan bertemu dengan seorang penghubung yang akan menunjukkan letak-letak TPS yang ada di sepanjang Kecamatan Kintom mulai dari Kelurahan  Mendono sampai desa Babang Buyangge.

Kecamatan Kintom adalah kecamatan baru hasil pemekaran kecamatan Luwuk yang terbagi menjadi lima kecamatan baru; Luwuk, Luwuk Utara, Luwuk Selatan, Nambo, dan Kintom. Di wilayah ini banyak bermukim suku asli kabupaten Banggai yakni suku Saluan. Kecamatan Kintom berbatasan langsung dengan kecamatan Batui di bagian barat yang menjadi lokasi eksplorasi gas alam dan kecamatan Nambo di bagian timur.

Sekitar empat puluh lima menit kemudian, kami sampai di Mendono. Saya memutuskan untuk berhenti di Masjid Nurul Iman Mendono  untuk menyelesaikan hajat yang tertunda, sementara Ari duduk-duduk di teras masjid untuk menunggu kedatangan sang penghubung yang akan mengantarkan kami. Sepuluh menit kemudian, orang yang dinanti tiba. Ari lalu menghampiri bapak paruh baya itu untuk berbincang, sementara saya masih tidur-tiduran di teras masjid yang sejuk dan berangin.

“Kita ikuti bapak itu saja”, ucapnya kepada saya yang merasa berat meninggalkan lantai yang terasa dingin.

Bapak paruh baya itu bernama La Maigu. Beliau orang Bau-Bau yang lama tinggal di Kintom dan mantan kades dua periode. Bersama pak La Maigu, kami menyisir setiap TPS yang terbentang di 3 kelurahan dan 11 desa di kecamatan Kintom. Selama perjalanan, ia bercerita tentang banyak hal: asal usul keluarganya, anak-anaknya yang sudah ‘mentas’, pernikahan kali ke duanya karena istri pertamanya meninggal, dan perbincangan ringan soal dunia politik lokal dan nasional.

Usai menyisir semua TPS mulai dari Babang Buyangge sampe Mondonun, kami akhirnya beristirahat di Mendono. Selepas shalat Zhuhur, saya bertemu dengan seorang kenalan, Mas Agus, salah satu orangtua murid di KBIT Madani. Pertemuan yang cukup mengejutkan karena terjadi di Mendono. Usut punya usut, ternyata istri beliau asli orang Mendono dan ia sedang berkunjung ke rumah mertuanya yang berada tak jauh dari masjid. Ari lalu pamit diri ke rumah Pak Djibran yang jadi markas tempat pengumpulan formulir C1. Saya tidak ikut dengannya dan mengobrol banyak dengan Mas Agus sampai lepas Ashar.

Sembari mengobrol, saya memantau pergerakan hasil rekap suara di kecamatan-kecamatan lain dari grup whatsapp yang saya ikuti. Beberapa koordinator saksi yang bekerja di kecamatan Balantak, Balantak Selatan, dan sebagian Toili sudah mengirimkan hasil rekap suara sementara mereka. Sementara daerah-daerah lain belum ada laporan yang masuk, termasuk dari Kintom. Saya lalu melanjutkan obrolan dengan Mas Agus. Saya menyampaikan niat saya untuk membuat rumah baca di Luwuk. Beliau menyimak dengan antusias dan siap jika suatu saat nanti dimintai bantuan untuk menyebarkan proposal donasi di kantornya. Saya berterima kasih kepadanya dan meminta nomor kontaknya.

Lepas Ashar, gerimis halus memisahkan saya dan Mas Agus. Sementara beliau berjalan pulang ke rumah mertuanya, saya lalu berjalan ke arah mobil dan memutar arah ke arah rumah pak Djibran yang berada di ujung tikungan. Saya memarkir mobil di depan pagar rumahnya yang dirimbuni tanaman bunga dan pohon jambu biji. Suara gemericik air dari kolam berisi ikan koi aneka warna menjadi suara yang menyejukkan di sore hari yang pengap itu. Saat masuk ke dalam rumahnya yang luas, saya mendapati ada beberapa orang lelaki sedang duduk-duduk di ruang tamu. Saya menyapa mereka untuk sekedar berbasa-basi dan melangkah ke ruang tengah. Ari tampak sedang duduk di salah satu sofa sambil menghadap meja berisi tumpukan kertas-kertas formulir C1. Saya mengambil tempat di dekatnya dan meraih kertas-kertas itu untuk membaca isinya. Suara televisi mengisi ruang tengah yang ramai dengan orang itu. Sebuah asbak berisi puluhan puntung rokok tergolek pasrah di salah satu sudut meja yang semrawut. Saya bertanya kepada Ari tentang progress rekap suara dan ia berkata bahwa kita baru bisa pulang abis Maghrib. Saya katakan tidak masalah.

Saat Maghrib makin mendekat, nyonya rumah menghidangkan dua gelas es kelapa muda bersirup cocopandan, kue bakpau, dan gogos, di meja kecil di samping kami. Sambil menanti berbuka, kami mengobrol tentang situasi perhitungan suara yang berlangsung di stasiun televisi yang berbeda. Seorang bapak berkata bahwa semua quick count di televisi itu tidak ada yang benar. Saya tidak berminat mendebatnya karena sepertinya akan berakhir dengan debat kusir tanpa isi jadi saya mendiamkan statement sang bapak dan kembali menekuri lembar-lembar formulir C1 yang ada di tangan saya. Sementara itu, Ari tampak sibuk mencatat data-data yang masuk pada sebuah kertas berkolom. Sesekali ia berhenti untuk memberikan amplop berisi honor saksi saat ada saksi yang datang dan menyerahkan formulir C1 kepadanya.

Lepas Maghrib, urusan rekap suara selesai. Seorang saksi dari Desa Kalolos yang kami tunggu-tunggu sejak sore akhinya datang juga. Ari berkata bahwa data C1 itu harus difotokopi supaya form aslinya bisa dibawa pulang ke Luwuk. Sayangnya, di Mendono tidak ada tempat fotokopi yang buka setelah Maghrib. Pak Djibran lalu mengusulkan agar berkas itu difotokopi di Nambo. Saya menyetujui usul itu dan langsung melesat ke arah Nambo dengan kecepatan tinggi. Selesai memfotokopi berkas, kami kembali bertolak ke Mendono untuk menyerahkan fotokopian formulir C1 itu kepada pak Djibran yang akan bertugas sebagai saksi di Kecamatan besok hari.

Suara adzan bersahut-sahutan memenuhi udara. Laut di sebelah kanan kami berwarna abu-abu tua. Perut kami lapar bukan main karena belum makan. Sepotong gogos yang saya lahap di Mendono masih terasa kurang ‘nendang’. Saya dan Ari lalu berembuk apakah mau shalat dulu atau makan dulu. Diputuskan shalat dulu. Saya setuju, karena tangan saya sudah agak gemetar dan perut sudah meronta-ronta minta diisi. Pukul 20.20, kami tiba di Luwuk. Sambil menikmati tahu goreng dan sambal terasi, kami berdua makan dalam diam. Sesekali kami berbincang tentang kemungkinan perolehan suara di Kabupaten Banggai yang tampaknya akan dimenangkan oleh kubu Jokowi. Saya berkata bahwa itu adalah hal yang wajar, karena sentimen orang Sulawesi pada sosok Pak Jusuf Kalla.

Pukul 20.40, kami telah selesai makan. Jensu masih saja ramai dengan pengunjung sementara arus lalu lintas di jalan Urip Sumoharjo masih tampak ramai. Saya lalu mengarahkan mobil ke arah Puge, formulir C1 yang dibawa Ari sejak dari Kintom sudah ditunggu di sana. Sesampainya di Puge, saya mendapati rumah itu begitu ramai dengan orang-orang, jauh lebih ramai ketimbang tadi pagi. Ketua DPD PKS menanyakan kepada saya dan Ari apakah sudah makan dan kami jawab sudah. Saya duduk di salah satu sudut rumah dan numpang mencharge baterai handphone yang sudah kelap-kelip. Sambil menunggu Ari menyelesaikan urusannya, saya tidur-tiduran sebentar di salah satu sudut rumah berbekal guling berbungkus plastik entah milik siapa yang teronggok di situ.

Suara telepon meramaikan suasana. Di salah satu sudut, dua orang muslimah berjilbab sedang meng-entry data dimana salah satunya fokus mengetik dan yang lainnya membacakan jumlah suara yang masuk. Seorang lelaki muda tampak berkonsentrasi dengan laptopnya. Kertas-kertas berhamburan. Tak ada satu pun orang yang bersantai dalam ruangan itu kecuali saya. Seorang lelaki lainnya tampak keluar ke ruang tamu dan terlibat dalam pembicaraan yang tampaknya penting. Saya mengamati hiruk-pikuk yang sedang berlangsung itu dalam jarak yang sangat dekat. Saya juga melongok ke layar leptop tempat rekapitulasi suara secara real time berlangsung. Saya bertanya ke salah satu petugas yang merekap suara tentang progress perhitungan suara yang masuk baik dari skala kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sampai nasional. Jawabannya masih mengawang-awang dan belum pasti.

“Tunggu saja”, jawabnya.

Beberapa menit kemudian, Ari telah selesai dengan urusannya. Ia lalu meminta diri kepada sang ketua DPD untuk undur diri. Setelah itu, Ari meminta saya untuk mengantarnya pulang ke jalan Garuda. Saya lalu meminta diri dan meninggalkan keramaian yang sedang berlangsung tersebut. PKS memang diberikan tugas sebagai pengelola saksi capres nomor urut 1: Prabowo, dan saya telah menyaksikan kesungguhan mereka dalam menjalankan tugasnya. Saya memang hanya pengamat namun pengamat yang menyaksikan langsung dari jantung aktivitasnya. Berita tentang pro dan kontra hasil survey, deklarasi kemenangan yang masih prematur, dan kegaduhan-kegaduhan lain yang terjadi di televisi tidak saya acuhkan dan lebih memilih memerhatikan data-data yang sedang dikelola oleh para saksi dari PKS ini. Semoga yang kelak terpilih dari gelaran pilpres ini adalah sosok yang benar-benar dipilih oleh rakyat Indonesia, bukan pilihan lembaga survey yang level objektivitasnya sangat diragukan. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Juli 2014

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar