Minggu, 22 Juni 2014

Kekhawatiran Orangtua


Saya seorang bapak belia dengan tiga orang putri. Celotehan mereka mewarnai hari-hari saya sedemikian rupa sehingga saya terkadang, atau malah seringkali, harus berdamai dengan waktu-waktu tertentu yang tak lagi bisa dinikmati sendiri. Adakalanya saya duduk sendirian, menatap layar laptop, memandangi langit biru, menikmati desir angin, membaca bertumpuk buku, atau hanya diam begitu saja tanpa gelak-tawa mereka di sisi, tapi suara mereka yang nyaring dan riuh itu selalu menggema di dalam jiwa saya. Kecerewetan mereka yang tidak karuan itu selalu meramaikan relung hati saya.

Itulah sebabnya, saya merasa bahwa kesunyian yang saya idam-idamkan agar bisa saya nikmati itu sebenarnya hanyalah kesunyian yang semu, kesunyian yang tidak nyata. Utopis belaka. Karena saat saya menjalani kesendirian itu, wajah-wajah mereka selalu membayang di pelupuk mata. Saat saya mencoba keluar dari dunia mereka yang penuh dengan keberisikan itu, saya justru selalu terseret dan terseret kembali ke dunia mereka, meluangkan jenak-jenak waktu saya hanya untuk sekedar menyimak celotehan mereka yang belum sempurna.

Kita tentu senang mengamati tindak-tanduk anak-anak kita yang masih bayi. Kelucuan dan kepolosan mereka membuat kita gemas karenanya. Gembilnya pipi dan halusnya kulit mereka selalu menenangkan kita saat menyentuhnya. Aroma tubuh mereka yang kecut menjadi aroma yang selalu kita rindukan. Kadang kita berpikir, alangkah nikmatnya jika anak-anak ini tetap seperti itu selamanya. Alangkah menyenangkannya jika setiap malam mereka tidur bersama dengan kita, lalu kita bangunkan saat matahari sudah meninggi, kita mandikan mereka, dan kita ajak mereka bermain setiap hari. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Anak-anak kita akan tumbuh besar. Mereka tak lagi lucu dan polos seperti sediakala, tindak-tanduk mereka tak lagi membuat kita gemas, pipi mereka tak lagi gembil dan mungkin sudah ditumbuhi jerawat. Yang terpenting dari itu semua adalah pemikiran mereka akan mendewasa, dan bukan mustahil mereka akan tidak setuju dengan kita dalam beberapa hal.

Dengan semakin bertambahnya usia anak-anak, saya, jujur saja, justru merasakan kekhawatiran, dan juga ketakutan. Kekhawatiran dan ketakutan yang bertumpuk-tumpuk. Kekhawatiran yang sangat sulit saya ungkapkan dengan kata-kata. Ketakutan yang tak mudah saya sampaikan dengan untaian aksara. Meski begitu, kekhawatiran dan ketakutan itu selalu menghantui saya dengan begitu intens, dan karenanya kerap menguasai hari-hari saya. Kekhawatiran dan ketakutan yang membuat saya melangkah dengan ragu dan tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang saya lakukan. Kekhawatiran itu menampilkan wujudnya dalam banyak bentuk, tak terbatas ruang dan waktu.

Saya, akhir-akhir ini, suka mengamati pelajar-pelajar yang lewat di depan warung bubur kami. Warung bubur yang kami sewa itu, qadarullah, berdekatan dengan banyak sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat atas. Bahkan ada pula universitas di dekat situ. Saat sedang duduk-duduk di bangku di depan warung, sambil membolak-balik halaman buku yang sedang saya baca, saya mengamati lalu-lalang para pelajar itu dan mengingat wajah ketiga putri saya di rumah. Saya lebih suka mengamati pelajar putri, bukan karena saya punya “kelainan” for sake of God, tapi lebih karena ketiga putri saya, bila Allah menakdirkan umur panjang bagi mereka, insya Allah, akan sampai pada usia seperti itu  Saya merasa perlu mengamati tindak-tanduk mereka dan sebisa mungkin menyiapkan diri untuk menghadapi permasalahan khas anak-anak di usia mereka.

Malam itu, ketika anak-anak dan istri saya sudah tidur semuanya, saya menonton sebuah film berjudul Delivery Man. Film ini diperankan oleh Vince Vaughn dan emosi saya benar-benar larut saat menontonnya. Saya membayangkan masa ketika anak-anak saya sudah dewasa dan bagaimana mereka akan menghadapinya kelak. Di bagian-bagian akhir film itu, ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja menyergap saya dan membuat saya merenung sekian lama karenanya. Saya sampai harus mengulang-ulang adegan itu untuk menangkap pesan Mikolaj Wozniak kepada putranya David saat mereka berbincang – untuk rincinya silakan tonton sendiri filmnya ya hehe – yang isi pertanyaannya kurang lebih seperti ini: Mana yang lebih sulit untuk dilakukan oleh orangtua: menyediakan kehidupan yang baik untuk anak-anaknya, atau membersamai mereka saat mengalami kesulitan dalam hidupnya. Pertanyaan retoris itu dijawab sendiri oleh sang ayah yang berkata bahwa, “Harta terbesar bagi setiap orangtua adalah dapat melihat anak-anaknya setiap hari”, which is menurut saya adalah suatu kesulitan yang tak bisa ditolak seiring tumbuh-kembang mereka. Saya, dari lubuk hati yang terdalam, ingin melihat anak-anak saya tumbuh dewasa dan memperhatikan bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah-masalahnya. Saya berdoa semoga saya bisa mendapatkan kesempatan yang berharga itu dan, tentu saja, membekali diri agar bisa menjadi orangtua dan penasehat yang sebaik-baiknya. Saya tahu ini bukan perkara mudah. Saya bahkan merasa sedikit kecut saat mula-mula membayangkannya.

Saya tidak tahu, apakah perasaan semacam ini hanya saya sendiri yang rasakan atau dirasakan juga oleh orangtua lainnya di belahan bumi ini? Saya berharap kita punya perasaan yang sama dalam tema ini agar kita, sebagai orangtua, bisa mendiskusikan tema yang bernuansa harap-harap-cemas sekaligus menarik ini dan bisa saling menyemangati saat salah satu dari kita, contohnya saya, terjerumus dalam perasaan takut dan khawatir tak berkesudahan. Tulisan ini merupakan cara saya mengekspresikan kekhawatiran itu. Tulisan ini mungkin awal dari kekhawatiran-kekhawatiran lain yang akan timbul seiring berjalannya waktu dan berlalunya kesempatan. Saya berharap, ada tulisan lain yang akan mengiringi sekaligus melengkapi tulisan sederhana ini agar dapat mengingatkan saya sekaligus membekali saya untuk menjalani tugas saya sebagai orangtua, orangtua belia dengan segala kekurangannya. Semoga Allah mudahkan urusan ini. Aamiin.
[wahidnugroho.com]

Kilongan, Juni 2014
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar