Sabtu, 07 Juni 2014

Dari Teras Rumah Ini


Dari teras rumah ini, aku bisa melihat bayang-bayang pulau Peling di kejauhan. Bukit-bukitnya yang meliuk-liuk, yang terkadang diselimuti awan putih atau diurapi sinar matari. Dari teras rumah ini, aku bisa melihat ufuk timur tempat matari itu datang dan melingkari kota ini dengan sinarnya yang terik. Sinar kehidupan. Dari teras ini pula aku bisa melihat bukit-bukit yang mengelilingi kota kecil ini nun jauh di sana, pucuk-pucuknya yang kerap jadi saksi perginya sang matari ke ufuk barat, dan menggantinya dengan kegelapan yang keramat. Dari teras rumah ini aku dapat memandangi langit yang berwarna kelabu, biru, dan terkadang ungu tua. Dari teras rumah ini aku pun dapat memandangi buih ombak yang memutih di kejauhan, serta suara deburnya ketika sunyi mendadak datang menyergap. Dari teras rumah ini, aku mulai jatuh cinta dengan sebuah kota.

Aku tidak tahu pasti kapan tepatnya aku mulai memutuskan untuk jatuh cinta dengan kota kecil berteluk indah ini: Jatuh cinta dengan warna-warni langitnya; jatuh cinta dengan lekukan bukit-bukitnya; jatuh cinta dengan bagaimana sinar matari sore perlahan menghilang dari balik bukit itu dan menyeruakkan seberkas sinarnya yang berwarna jingga; jatuh cinta dengan nyanyian ombak; jatuh cinta dengan suara air hujan kala bercumbu dengan pucuk-pucuk pepohonan dan perlahan berjalan untuk mencumbui pucuk-pucuk yang lainnya; jatuh cinta dengan kepakan sayap elang yang membentang luas di batas cakrawalanya; jatuh cinta dengan kecipak ikannya; jatuh cinta dengan airnya yang jernih; jatuh cinta dengan sang pemilik sepasang mata bening tempat hati ini berlabuh di dalamnya.

Memang, tak semua yang ada di kota ini indah adanya. Aku pun menyimpan kebencian, ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan keresahan di atas permukaan jalannya yang berdebu. Di antara padatnya bangunan yang saling bertumpuk-tumpuk. Di antara manusia-manusianya, dan banyak hal lainnya. Tapi kesemua itu tidak menyurutkan rasa cintaku kepadamu.

Mungkin saja, semua itu bermula dari dirimu. Dirimulah yang perlahan menyuntikkan rasa cinta itu kepadaku. Dirimulah yang secara perlahan telah meyakinkanku untuk memancang pondasi mimpi-mimpi itu di kota ini kepadaku. Dirimulah alasan mengapa cinta itu hadir, bermukim, dan bermalam. Bergolak timbul tenggelam. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Juni 2014 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar