Kamis, 10 September 2015

Cerita Dari Balantak I


I


Balantak. Pagi hari. Langit masih gelap. Hitam. Suara adzan subuh melayang-layang di udara. Merobek keheningan, membangunkan nyawa-nyawa yang masih tertidur untuk bangkit menata jiwa dan hatinya.


Angin dingin menyusup sampai ke sela-sela kaki. Tubuh yang lelah setelah berkendara sekitar kurang lebih lima jam dari Luwuk itu harus ditambah dengan pencernaan yang sedikit bermasalah. Tempat baru memang selalu mengundang perkara yang satu ini karena tubuh masih mencari frekuensi yang tepat demi menyesuaikan diri dengan sangkan paran barunya.


Lelaki itu sudah terjaga sejak pukul empat meski ia sebenarnya baru saja tidur pukul dua belas lewat. Belum genap empat jam yang lalu. Matanya pun mulai beradaptasi dengan keremangan ruang tengah yang dimasuki sinar lampu dari teras depan. Udara yang dingin membuat punggung lelaki itu sedikit menggigil.


Tangan kanannya lalu meraih telepon genggam yang tertanam di ujung bantal yang empuk dan jemarinya mulai memenceti tombol yang ada di bagian sampingnya. Seberkas sinar pucat menyapu wajahnya yang, sudah pasti, masih kusut.


Masih tidak ada sinyal. Lelaki itu bergumam pelan.


Ia lalu membaca beberapa pesan yang sempat masuk sejak semalam dan belum bisa dibalasnya sampai pagi ini. Ada beberapa pesan dari istrinya. Kebanyakan adalah pesan yang menanyakan apakah lelaki itu sudah sampai di Balantak dan pesan-pesan lain bernada kekhawatiran karena ia tak kunjung membalas pesan-pesannya yang menumpuk. Ada pula pesan dari supervisornya, teman, dan beberapa orang yang berkepentingan dengannya hanya teronggok pasrah tanpa bisa dibalasnya.


“Mungkin towernya sedang bermasalah,” batin lelaki itu dengan wajah yang masih mengantuk.


Rumah ini masih terlelap, termasuk kedua penghuninya dan seorang teman lelaki itu yang tidur di kamar depan, Rahmat. Mungkin ia tidur lebih larut dari dirinya. Karena selepas obrolan mereka berdua yang berlangsung lebih dari dua jam dan berakhir jam dua belas lewat, teman lelaki itu masih harus menyetrika bajunya ketika ia sudah nyaris terlelap. Suara meja setrika yang terjatuh menjadi satu-satunya suara yang didengarnya tadi malam sebelum akhirnya lelaki itu terbuai ke alam mimpi.


Balantak pagi hari. Hening.


Lelaki itu lalu bangkit dari kasur. Usai melepaskan sarung yang meliliti pinggangnya, matanya yang sudah terbiasa dengan cahaya remang-remang itu menuju kepada sebuah tas ransel berukuran sedang yang tergeletak di sofa. la mengambilnya dan meletakkan tas berwarna jingga itu di atas kasur, membuka beberapa kompartemennya dan mengeluarkan handuk kecil, kemeja batik, celana panjang, dan perlengkapan kamar mandi yang sudah disiapkan oleh istrinya beberapa jam sebelum berangkat. Ada seulas senyum yang terbit di wajahnya ketika memandangi barang-barang yang ada di dalam tas itu. Selain barang-barang yang dikeluarkannya tadi, ada dua kaus, satu celana pendek, satu celana panjang, minyak wangi, deodoran, lotion anti nyamuk, dan sepasang kaus kaki baru. Istrinya menyiapkan barang-barang seolah ia akan pergi tiga hari.


Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah dapur dengan langkah berjingkat-jingkat. Berjalan tanpa suara ke arah kamar mandi dan melakukan ritual paginya. Sekitar sepuluh menit kemudian, lelaki itu keluar dari kamar mandi. Suasana di dalam rumah berangsur hidup. Lampu-lampu dinyalakan dan terdengar suara dari arah dapur. Keluar dari kamar mandi, lelaki itu bersirobok dengan seorang perempuan paruh baya yang menyapa lelaki itu dengan senyum cerahnya.


“Sudah mandi?” tanya perempuan itu kepadanya.


“Sudah, bu,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.


“Saya bisa pinjam sajadah, bu?” lelaki itu bertanya sambil mengusap-usap kepalanya dengan handuk di tangan kanannya sementara tangan yang satunya lagi menenteng pakaian kotor dan sebuah plastik berisi perlengkapan mandi.


Masdia Lamodjong, atau ibu Masdia, nama perempuan paruh baya itu, yang baru saja hendak ke dapur menghentikan langkahnya dan berjalan ke arah depan.


“Masih pagi,” katanya sambil melirik ke arah jam dinding. Jam empat lewat lima puluh menit.


Sudah agak kesiangan, bu. Batin lelaki itu sambil tersenyum tipis. 

“Sudah masuk waktu subuh, bu,” jawabnya sambil menata barang-barang bawaannya dari kamar mandi itu di atas meja yang ada di ruang tengah.


Ibu Masdia keluar dari kamar dan mengangsurkan sebuah sajadah berwarna merah kepada lelaki itu yang langsung mengucapkan terima kasih kepadanya.


“Saya mau shalat subuh dulu, ya, bu,” ujarnya sambil menggelar sajadah di ruang tengah. Ibu Masdia menyilakannya dan kembali ke dapur.


Lelaki itu lalu shalat.


Selesai shalat, ia berjalan ke kamar depan, membangunkan temannya, Rahmat, yang masih tidur, dan duduk di teras sambil bersandar pada sofa. Ia menghirup udara dalam-dalam. Rongga paru-parunya terisi udara bersih yang beraroma cengkeh dan embun pagi. Langit beranjak terang. Cahaya bintang-bintang berangsur memudar. Hari yang muda mulai menggeliat di rumah ibu Masdia. Oh iya, ibu Masdia adalah kepala sekolah SD Muhammadiyah Balantak.



II



Maka jadilah pagi ini lelaki itu berada di Balantak. Sebuah kecamatan yang terletak di wilayah kepala burung provinsi Sulawesi Tengah bagian timur. Jaraknya sekira 130 kilometer dari Luwuk mungkin lebih, mungkin kurang – setelah mengukur jalanan yang berliku lagi disesaki debu. Memanjati bukit, merayapi jalur-jalur sempit. Mencumbui gravel rusak nan berlubang yang silih berganti dengan aspal mulus bak kulit mangga madu selama kurang lebih empat setengah atau lima jam lamanya. Meski perjalanan itu harus dibumbui dengan beberapa, sebut saja, tragedi; menanti datangnya mobil terakhir yang diduga tersesat di desa Labotan, melacak salah satu mobil lainnya yang mogok lalu meninggalkannya di desa Boloak, termasuk kisah misteri yang tak terduga memperkaya cerita dari perjalanan itu.


Di Balantak, lelaki itu tidak sendiri. Bersamanya dan Rahmat, sekitar tiga puluhan lebih orang tersebar di rumah-rumah yang mengurapi beberapa desa di kecamatan yang indah ini setelah berkumpul sebentar di rumah camat Balantak. Mereka, ketiga puluh orang itu, berasal dari latar belakang dan daerah yang berbeda. Meski demikian, niat dan tekad orang-orang itu beresonansi: menginspirasi anak-anak Balantak untuk memiliki cita-cita setinggi mungkin, memotivasi mereka bahwa masa depan yang gemilang adalah hak bagi siapapun anak bangsa yang ada di kolong langit ini, tak peduli siapa mereka dan darimana mereka berasal. Mereka menyebut acara itu sebagai Kelas Inspirasi. Lelaki itu, bersama Rahmat dan dua orang lainnya yang berprofesi sebagai dosen dan nutrisionis, mendapat jatah berbagi inspirasi di SD Muhammadiyah.


Lelaki itu dan Rahmat kini sedang duduk saling berhadap-hadapan. Di depan mereka ada sebuah meja yang dihuni piring, sendok, mangkok kaca berisi air untuk cuci tangan, sayur tumis, ikan goreng, dan dabu-dabu iris. Aroma gurih dan lezat mewarnai udara pagi yang segar. Ia mengamati Rahmat, lelaki berambut kriwil, yang sedang makan di hadapannya. Semalam, selama kurang lebih dua jam, ia berbincang dengan lelaki yang saat ini bekerja sebagai media relation di perusahaan pertambangan itu. Ditingkahi suara angin yang menabuhi daun kelapa dan pohon cokelat, kedua lelaki itu mengobrol hingga larut. Mereka mengobrol tentang banyak hal: buku, sepakbola, masa kecil, musik, cita-cita, dan sejarah sepele di atas tanah yang indah ini. Mata yang berair dan mulut yang kerap menguap jadi spasi yang menjeda obrolan yang padat itu.


Pagi ini, keduanya kembali bertemu di atas meja makan, menikmati sarapan yang telah disiapkan ibu Masdia. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Rahmat tentang acara Kelas Inspirasi hari ini. Ada rona keraguan di mata lelaki itu yang perlu dikuatkan dengan kata-kata penyemangat dari teman barunya itu. Lelaki itu, meski telah disemangati, masih belum merasa tenang. Ia merasa seperdelapan dirinya sedang tegang, sepertujuhnya panik, sepersembilannya gugup, dan seperlimanya kebingungan. Ia bukan orang yang suka berbicara di depan anak-anak. Masa mudanya lebih sering dihabiskan untuk berkumpul dengan orang-orang yang sebaya, atau bahkan lebih tua darinya. Bicara di depan anak-anak, terlebih anak kecil, adalah hal baru baginya.


Sebenarnya, masih ada rasa ragu yang berdesakan di dalam dadanya yang pagi itu berdetak tak seperti biasanya. Lelaki itu lalu mengambil buku yang ada di dalam tas kecilnya, membacanya sebentar, sekitar dua atau tiga menit, memasukkannya kembali ke dalam tas kecilnya setelah menaruh pembatas, dan menebarkan pandangannya ke arah dinding yang dipasangi banyak foto keluarga yang telah dibingkai. Ia jadi teringat dengan anak-anaknya di rumah. Pagi ini seharusnya mereka sudah bangun, sudah mandi, dan mungkin sedang makan pisang goreng buatan mbahnya. Istrinya mungkin sedang menyiapkan bekal untuk anak-anaknya, memastikan seragam mereka yang wangi itu sudah tersetrika licin, dan sedang bersiap mengantarkan mereka ke sekolah.


Ia mengambil ponselnya yang baterainya sudah terisi penuh. Tiba-tiba saja ia ingin mendengarkan suara mereka semua, istri dan anak-anaknya. Ketika ponsel berkelir putih itu sudah dikeluarkannya dari dalam tas, cahaya di wajahnya yang sempat terbit kembali meredup. Masih belum ada sinyal. Ia mengurungkan niatnya menelepon anak-anak dan istrinya dan berjalan ke teras. Ia duduk di sofa dan mulai memakai sepatu. Rahmat menyusulnya beberapa detik kemudian. Setelah memastikan semuanya sudah siap, kedua lelaki itu berpamitan dengan ibu Masdia untuk berangkat duluan. Ibu Masdia yang ramah itu mengingatkan keduanya untuk makan siang di rumahnya selepas acara nanti. Rahmat, yang berjalan di belakang lelaki itu, menyanggupinya.


“Kita jemput Andik dulu?” tanyanya sambil menyalakan mobil dan menghidupkan musik.


Rahmat mengiyakan.


Lelaki itu memutar mobilnya ke arah barat. Gemuruh di dalam dadanya masih belum jua mereda. Ia merapalkan sebait dua bait doa yang dihafalkannya. Mengharap ketenangan dariNya menyusup ke dalam kalbunya dan menghalau kegelisahannya. Wajah ketiga putrinya kembali membayang di pelupuk matanya.


Mobil berkelir hitam yang diselimuti debu itu kemudian membelah jalanan desa dan bergerak menjauhi matahari yang baru terbit. 


bersambung.. [wahidnugroho.com]



Kilongan, September 2015


Reaksi:

1 komentar: