Senin, 28 September 2015

Buku-Buku Tarbiyah Cetakan Lama

Ada tempat tertentu di salah satu bagian rumah yang dikhususkan untuk menyimpan buku-buku yang telah mewarnai pemikiran dan jalan hidup saya: buku-buku tarbiyah. Letaknya ada di kamar paling belakang berukuran kurang lebih 1.5 x 2 meter. Inilah tempat terhormat yang saya khususkan untuk buku-buku karangan penulis yang lahir dari rahim Al Ikhwan Al Muslimun maupun yang terpengaruh dengannya semisal Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Qardhawy, Musthafa Masyhur, Muhammad Imarah, Hasan Hudaibi, Jumah Amin, Abdul Halim Mahmud, Salman Audah, Fathi Yakan, Said Hawwa, Nashih Ulwan, An Nadwi, Al Ghadban, Ahmad ar Rasyid, dan penulis-penulis lokal yang lahir dari rahim komunitas tarbiyah seperti Rahmat Abdullah, Anis Matta, Eko Novianto, Ahmad Dzakirin, Pak Cah, Tate Qomaruddin, dan lain-lain.

Buku-buku yang dikumpulkan satu demi satu sejak saya masih sekolah itulah yang telah menjadi salah satu (atau salah banyak) harta paling berharga yang akan saya wariskan untuk anak-anak saya kelak di samping buku-buku lain yang ditempatkan di ruang tamu, dan, tentu saja, kitab suci yang saya imani.


Sejak dua tahun belakangan ini, hasrat saya untuk mengumpulkan buku-buku tarbiyah cetakan lama begitu menggebu-gebu. Pertemanan dengan beberapa penjual buku online di Facebook menjadi salah satu pemicunya. Saya berhasil mendapatkan buku yang berjudul Tarbiyah Menjawab Tantangan. Sebuah buku yang sudah saya cari-cari sejak masih SMA dulu.


Buku itu kali pertama saya baca ketika masih kelas 1 SMA. Saya meminjamnya dari seorang teman dan langsung jatuh cinta meski saya tidak terlalu mengerti dengan isinya. Saya sempat memfotokopi buku itu waktu masih sekolah dulu, namun karena terlalu sering dibaca, fotokopian itu jadi rusak dan beberapa halamannya sudah banyak yang hilang.


Pencarian buku-buku tarbiyah lawas juga mempertemukan saya dengan buku-buku Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna terbitan lama. Salah satu buku yang paling berharga adalah yang dikarang oleh Ishak Mussa Al Husaini berjudul Ikhwanul Muslimun. Buku itu terbit di Indonesia pada tahun 1983 dan memuat banyak sekali foto-foto yang baru saya tahu tentang jamaah Al Ikhwan. Saya juga beruntung bisa mendapatkan buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karangan M Zein Hassan Lc, sebuah buku yang mendokumentasikan pertemuan delegasi Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan ke beberapa negara Arab, termasuk pertemuan Haji Agus Salim dengan Hasan Al Banna.


Soal buku Diplomasi Revolusi itu saya punya catatan tersendiri. Sejak awal membaca buku-buku sejarah ketika masih sekolah, saya bertanya-tanya kenapa justru Mesirlah negara yang kali pertama mengakui kemerdekaan Indonesia? Saya sempat bertanya kepada guru sejarah tapi jawabannya tidak memuaskan. Ketika saya membaca buku Risalah Pergerakan Al Ikhwan Al Muslimun-nya Hasan Al Banna, saya mendapati sub bab yang membahas tentang kaum muslim di Indonesia. Ketika menyingkronkan tahun terbitnya tulisan itu dengan masa-masa persiapan kemerdekaan yang terjadi di Indonesia, saya berfirasat bahwa pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Mesir ada campur tangan Hasan Al Banna dan jamaah Al Ikhwannya. Hal itu terbukti dengan sebuah artikel yang diturunkan situs harakatuna beberapa tahun yang lalu mengenai peran Al Ikhwan dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak membaca artikel itu, saya bertekad untuk mencari buku Diplomasi Revolusi tersebut. Alhamdulillah, akhirnya bisa bertemu juga.


Selain buku-buku di atas, saya juga beruntung sekali bisa mendapatkan buku-buku lain seperti Risalah Pergerakan Pemuda Islamnya Syaikh Mustafa Muhammad Thahan, Pembunuhan Hasan Al Banna-nya Abdul Mutaal Al Jabari, Pengadilan Terhadap Ikhwanul Muslimin karangan Syabab Pakistan, Geliat Dakwah di Era Baru – kumpulan tulisan para asatidz tarbiyah Indonesia, serta sebuah buku Biografi Hasan Al Banna yang ditulis oleh Anwar Al Jundy.


Pencarian buku-buku tarbiyah cetakan lama ini sebenarnya berawal dari rasa penasaran saya dengan sebuah kalimat yang kerap diulang-ulang tentang mihwar tanzhimi yang dimulai pada akhir tahun 70 sampai awal tahun 80an. Saya lantas berpikir, jika memang mihwar tanzhimi dimulai pada tahun-tahun tersebut, maka pasti diiringi dengan penerbitan buku-buku tarbiyah di tahun yang sama. Apa yang saya duga itu ternyata benar juga. Karena buku-buku tarbiyah itu dicetak pada medio tahun 1978 sampai dengan 1983. Malah saya berhasil mendapatkan buku novel Najib Kailani, sastrawan yang berafiliasi ke Ikhwan, terbitan tahun 80an awal juga.


Ketika membaca buku-buku tarbiyah cetakan lama itu, yang kadang dibubuhi tanda tangan, nama seseorang, dan catatan dari sang pemilik lama, saya kerap membayangkan bagaimana pendapat mereka tentang buku-buku tersebut. Apa kesan yang mereka dapatkan setelah membaca buku itu di tengah serbuan liberalisasi agama yang juga tumbuh berkembang di era yang sama. Para mahasiswa dan pelajar yang dahulu menjalankan proses tarbiyah dengan cara sembunyi-sembunyi, bagaimana cara mereka menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku tersebut hingga akhirnya mereka tergugah dan tergerak untuk melakukan sesuatu bagi umat, sampai detik ini.


Saya kadang terpikir, buku-buku apa saja yang dimiliki dan dibaca oleh para asatidz tarbiyah pada masa-masa awal keterlibatan mereka dalam komunitas tersebut, dan buku apa yang berkesan mendalam bagi mereka hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menceburkan dirinya di dalam komunitas itu sampai sekarang. [wahidnugroho.com]



Kilongan, September 2015 

Reaksi:

1 komentar:

  1. Bang, boleh pinjam buku tarbiyah menjawab tantangannya gak ya???

    BalasHapus