Sabtu, 23 Agustus 2008

SETAHUN YANG LALU

Surat Untuk Bapak


Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
(Peterpan, Semua Tentang Kita)

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi kusapa senyummu, duhai lelaki yang keras hati. Tak lagi kudengar parau suaramu, yang kadang tersela dengan batuk karena uzurmu.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi bisa kunikmati kisah dan kesahmu. Tak lagi dapat kusimak, gundah gelisahmu akan dunia.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi kudengar sayup-sayup tilawahmu selepas waktu shubuh, tatkala ku berbicara dengan wanitamu. ”Tak dengar”, begitu katamu jika diri ini hendak melepas rindu berdialog dengan kerut di sapamu.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Apa kabarmu, Pak? Di alam yang tak terlihat sinar mentari jua cahaya rembulan.

Melalui coretan ini, izinkanlah aku, anakmu yang tersayang ini, menceriterakan satu dua hal kepadamu. Mungkin kau tak bisa mengerti apa yang kukatakan, pak, tapi setidaknya kegundahan di hati ini bisa kuluapkan. Sebagaimana kau yang dulu setia mendengar keluh-kesahku akan dunia kala hidupmu.

Pak. Kabarku baik dan sehat, alhamdulillah. Hanya saja anakmu ini sedang ada sedikit sakit. Yah, biasalah, pak, sakitnya orang miskin. Diare dan maag. Kalau orang kaya mana sempet maag, lha wong makanan saja terhambur di sana dan di sini. Kuman-kuman diare pun aku yakin nggak akan berani mampir ke perut mereka. Lha wong dari ujung rambut sampai ujung kaki saja sudah dijejali produk-produk anti kuman. Belanja pun di supermarket mewah yang takkan pernah ditemui genangan air dan atap bocor di dalamnya.

Pak. Aku sekarang sudah beli motor pak. Motor yang dulu sering bapak impikan untuk aku miliki. Motor yang dulu bapak angankan untuk aku naiki, ke kampus, ke sekolah, ke kantor, dan kemanapun mauku. Aku tahu dan mengerti, anganmu itu dulu hanya sebatas angan. Karena kau tak mampu membelikanku motor baru. Motormu yang antikpun tak terurus. Bukan karena kau tak peduli, pak, tapi karena memang karena kau memang tak mampu. Aku mengerti pak, usahlah kau gulanakan kalbumu. Oh iya, adik juga sudah punya motor baru pak. Alhamdulillah, aku ada rejeki berlebih. Jadinya, ya, aku coba nyicil motor buat dia. Bapak tau bagaimana reaksi anak bungsumu itu ketika mendapatkan motor baru? Aku yakin, kau akan bahagia melihatnya, pak. Dia sangat senang, bahagia, terharu, atau apalah itu namanya. Intinya, dia begitu senang dengan hadiahnya itu.

Pak. Apa bapak sudah mengetahui tentang pernikahan anakmu ini? Anakmu ini sudah menikah pak. Dengan seorang wanita yang, kurang lebih, sesuai dengan apa yang kau kehendaki bertahun lalu. Saat ini, pak, menantumu itu tengah mengandung calon cucumu. Sayang ya pak, bapak nggak bisa ketemu sama dia. Tapi aku yakin, insya Allah kita akan bertemu kelak di syurgaNya. Amin.

Pak. Ternyata jadi kepala rumah tangga itu tidak mudah, ya? Harus begini harus begitu. Pikir ini dan itu. Pusing karena itu dan ini. Menanggungjawabi ini dan itu. Berencana itu dan ini. Aku baru tahu, mungkin dulu kegundahanmu jauh melebihi kegundahanku saat ini. Dulu gajimu tak seberapa, tanggunganmu justru beberapa. Tapi, dengan segala keterbatasanmu dalam mengarungi hidup yang keras ini, aku jadi tersadar, betapa kau sungguh seorang lelaki yang bertanggungjawab. Kau rela bekerja siang malam membanting tulang, sampai tak ada lagi yang bisa kau banting, demi menghidupi dan memenuhi kebutuhan anakmu ini, pak. Dari sini aku jadi menyesal, pak, karena dulu ketika hidupmu aku pernah mengkritik kepemimpinanmu seperti ini seperti itu. Astaghfirullah, malu diri ini ketika mengingat itu pak. Serasa hina diri ini ketika mengenang masa itu. Maafkan aku pak, anakmu yang tak tahu diri ini.

Pak. Kuliah adik alhamdulillah lancar. Meski ada satu dua mata kuliah yang tidak lulus, tapi setidaknya dia sudah berusaha pak. Aku jadi ingat tatkala anak bungsumu itu meneleponku, menyatakan penyesalannya karena tidak lulus di salah satu mata kuliah. Tapi biar begitu, pak, aku yakin kau akan bangga dengan anakmu itu, pak. Karena setidaknya, dia sudah mewujudkan salah satu mimpimu untuk menguliahkan dua-dua anakmu. Meski kau hanya seorang pegawai negeri golongan rendah, tapi kau pantaslah berbangga kepada kedua-dua anakmu ini. Yang satu lulusan sekolah kedinasan anu dan yang dua sedang kuliah di PTN itu.

Pak. Alhamdulillah, aku udah jadi PNS. Sebagaimana yang dulu kau inginkan atasku. Kau dulu mengatakan, bahwa PNS itu enak. Enak dikala tuanya, karena ada jaminan dari pemerintah. Enak, karena penghasilan sudah pasti dan tetap. Enak karena begini dan begitu. Kurang lebih seperti itulah kisahmu dulu kepadaku yang belum juga bisa mengikat tali sepatuku sendiri.

Pak. Bisnis mamak agak seret. Beberapa waktu yang lalu BBM naik lagi. Harga-harga kebutuhan pokok otomatis naik. Cabe sekilo jadi sekian, gula sekilo jadi sekian, minyak goreng sekilo jadi sekian, minyak tanah mulai langka, ini itu mulai mahal. Ah, apa gerangan yang hendak kau pikirkan, pak, jika sampai hari ini kau masih hidup dan melihat realita dunia yang semakin sulit dan sempit ini. Kriminalitas begitu menggila, nekat dan makin beringas. Tak pandang laki perempuan tua muda kaya miskin, semua disikat, semua digilas. Begitu edannya jaman kiwari ini pak. Beruntunglah, kau yang tak lagi ikut gundah dengan semua itu, pak.

Pak. Ingin sekali diri ini bercerita banyak kepadamu. Ingin sekali tangan ini menuliskan beribu, berjuta kisah yang sudah lewat kepadamu. Ingin sekali jemari ini mengelus rambutmu yang menipis dan penuh uban, mengusap wajahmu yang dipenuhi keriput kasar karena tuamu. Ingin sekali telinga ini mendengarkan lantunan ayat suci yang lazim kau lakukan selepas shalat shubuh di atas kursi kayu itu. Ingin sekali diri ini kau ingatkan, ”Motor sudah dicuci belum? Motor sudah diganti oli belum? Motor sudah dibeliin bensin belum?” dan tanya-tanya lainnya yang biasa kau lontarkan kepadaku.

Pak. Maaf jika anakmu yang lemah ini jarang mendoakanmu di malam-malam yang sepi. Maaf, jika anakmu yang payah ini kerap melupakanmu dalam munajat-munajat panjangku. Maaf, pak.

Pak. Ingin sekali mata ini menatap senyummu, tangismu, marahmu, tawamu, diammu, tidurmu, dan semua yang melekat pada dirimu. Meski ku tahu, itu semua tidak mungkin. Itu semua tidak akan pernah mungkin terjadi di dunia fana ini, pak. Tapi aku yakin, aku yakin dan selalu yakin, bahwa semua itu akan kembali kutemui di sana, pak, di tempat dimana tak ada lagi kegelisahan dan keresahan. Tempat dimana hanya kesenanganlah yang menjadi bahan pembicaraan, tempat dimana tak lagi dijumpa sedih dan tangis. Yang ada hanya bahagia semata.

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Peluk rindu penuh cinta dariku


Kampung Baru, Agustus 2008
5 Agustus 2007 – 5 Agustus 2008
Reaksi:

1 komentar: