Kamis, 06 Desember 2007

Tidak (Dulu) Untuk Fiksi



Berdasarkan coretan yang saya buat beberapa waktu yang lalu tentang hutang baca buku saya yang makin menumpuk, akhirnya saya pun membuat keputusan di atas. Keputusan ini berubah menjadi tekad yang ingin saya wujudkan dalam beberapa waktu ke depan, setidaknya sampai bulan Januari tahun besok. Ya, betul. Saya ingin berhenti dulu membaca buku-buku fiksi, baik itu berupa cerpen maupun novel.

Ada beberapa alasan yang melandasi keinginan saya ini. Alasan pertama adalah untuk mengganti suasana terhadap bacaan-bacaan saya saja. Saya menyadari bahwa membaca novel terlalu banyak terkadang akan menimbulkan pemikiran yang terlalu fleksibel, bahkan cenderung terlalu cair, selain juga akan berpengaruh kurang baik pada stabilitas emosi saya. Hal itu menurut saya bisa menjadi kontraproduktif, karena dunia ini berjalan pada tataran realitas, dan tidak semua novel yang saya baca berhubungan langsung dengan realitas itu. Walaupun ada satu dua yang memilikinya.

Saya mempunyai dasar empirik mengenai hal ini. Karena setelah saya hitung-hitung, ternyata sudah ada lebih dari sembilan belas novel yang saya baca dalam tujuh bulan terakhir ini. Jumlah yang menurut saya tidak sedikit. Jumlah ini jika saya bandingkan dengan buku-buku nonfiksi yang sudah saya baca hingga bulan ini, maka angka itu saya rasa sudah terlampau banyak. Apalagi buku-buku fiksi yang saya baca rata-rata berhalaman tebal dan sebaliknya untuk buku-buku nonfiksi.

Oleh karenanya, saya mulai mengarahkan bacaan-bacaan saya kepada buku bergenre nonfiksi terutama yang membahas tentang sejarah dan pemikiran Islam. Sehingga mulailah saya membaca buku-buku yang lebih bernuansa ilmiah seperti Bangkit Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karangan Doktor Muhammad Ash-Shalabi, Wajah Dunia Islam karangan Doktor Sayyid Muhammad Al Wakil, Otobiografi Hasan Al Banna karangan Anis Al Hajaji, Dari Kader Untuk Bangsa yang merupakan kumpulan tulisan kader-kader PKS di media cetak, Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman karangan Jeffrey Lang, dan tiga buah buku Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun karangan Syaikh Jum'ah Amin Abdul Aziz.

Sedangkan buku-buku novel seperti The Bartimaeus Trilogy, dua novel karangan Najib Kailani, beberapa novel karangan Agatha Christie, dan sebuah novel berjudul Sognando Palestina karangan Randa Ghazy, yang belakangan ini sedang saya nikmati, harus saya simpan dulu untuk sementara. Nanti kalau waktunya sudah tepat, maka saya akan kembali melahap buku-buku novel itu.

Alasan selanjutnya adalah karena saya sedang ingin membuat sebuah tulisan yang sedikit bernuansa ilmiah namun memiliki gaya bertutur seperti sebuah novel yang hidup dan renyah. Itulah mengapa saya banyak membaca novel dalam beberapa bulan terakhir ini. Salah satu sebabnya ialah karena saya ingin mengadopsi teknik penyampaian sebuah fakta ilmiah melalui tulisan yang ringan dan imajinatif seperti itu, tentu saja, dengan tanpa menghilangkan unsur keilmiahannya.

Adapun novelis yang sangat ingin saya comot gaya berceritanya adalah Najib Kailani. Kenapa Najib Kailani dan bukan Eiji Yoshikawa atau Najib Mahfudz? Satu saja jawabnya: karena Najib Kailani-lah yang menurut saya telah berhasil menyajikan cerita sejarah dengan cara yang apik, menarik, jujur, dan mampu menggerakkan pembacanya. Itulah yang saya lihat dari beberapa karyanya, mulai dari Ar-Rihlah Ilallah, Mawakib Al Abrar, Al Yaumul Maw'ud, dan Layali Turkistan, yang kesemuanya adalah novel sejarah.

Lalu, kisah apa yang sebenarnya ingin saya ceritakan kembali melalui versi seorang saya yang masih belajar ini? Setidaknya ada dua kisah. Yang pertama adalah tentang pasukan Al Inkisyariyah dalam Kesultanan Turki Utsmani, khususnya dalam hal sistem rekrutmennya yang menurut saya banyak dikaburkan oleh sejarah. Yang kedua adalah kisah tentang pembunuhan Hasan Al Banna dan konspirasi di baliknya.

Sebenarnya sudah ada beberapa, baik buku, artikel, bahkan tesis, yang membicarakan tentang tema ini. Adapun saya hanya berusaha untuk belajar membuat sebuah tulisan yang sedikit ilmiah namun memiliki bahasa penyampaian yang renyah dan mudah dicerna.

Ada beberapa referensi yang sudah saya siapkan terkait dengan dua tema besar itu dan kini saya sedang dalam proses untuk membacanya sampai habis. Saya berharap ini adalah sarana pembelajaran bagi saya sekaligus sebagai upaya pelurusan sejarah tentang sebuah peristiwa yang sudah terjadi berpuluh tahun, bahkan berabad-abad yang lalu. Kapan terealisirnya? Wallahu 'alam, saya belum tahu. Tapi 'ala kulli haal, semoga Allah meridhoi dan memudahkan ikhtiar sederhana ini. Amin.


Datu Adam, November 2007
Reaksi:

1 komentar:

  1. Hanya membaca....apapun, apakah itu fiksi atau nonfiksi.
    Sama halnya seperti menulis, setiap orang pun memiliki 'gaya' membaca yang berbeda. Siapa yang tau 'gaya' membaca seseorang? Hanya orang itu (dan Allah :)) yang tau.
    Semasa kuliah, saya cenderung membaca buku2 nonfiksi, walaupun tidak selalu bisa dibilang ilmiah. Kecenderungan membaca saya bergeser ketika masuk dunia kerja, dimana saya merasa terlalu 'lelah' membaca hal2 yang terlalu ilmiah.
    Maka mulailah akhir2 ini saya merambah novel dan kisah2 pendek. Dari situlah saya menemukan 'gaya' membaca saya. Bagi saya ternyata lebih mudah mencerna 'pesan' dan 'pelajaran' dari novel, daripada dari buku2 lain yang lebih ilmiah.
    Seperti saat ini, saya tertarik belajar mengenai sejarah (tentang apapun), dan ternyata novel sejarah adalah cara yang sangat menyenangkan untuk belajar sejarah.

    Tetap membaca dan menulis :)

    BalasHapus