Senin, 25 Maret 2013

Anis Matta

Colin Imber dalam bukunya yang berjudul The Ottoman Empire mengatakan bahwa, di masa lalu, informasi tertulis mengenai kerajaan Ottoman tidak banyak didapati, bahkan di kalangan sejarawan Muslim dan para pencatat sejarah di kalangan Ottoman sendiri. Caroline Finkel dalam Osman’s Dream pun mengamininya. Terbatasnya sumber-sumber bacaan berbahasa latin yang membahas dunia Ottoman secara mendetail menjadi salah satu faktor mengapa kajian tentang kekhalifahan islam terbesar sepanjang sejarah ini cukup sulit untuk didapati di masa lalu.

Jikapun ada, sumber-sumber itu kebanyakan berupa cerita dari mulut-mulut yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin terbukanya dunia saat ini, bahan-bahan yang awalnya sangat sulit didapat itu perlahan mulai membuka dirinya satu demi satu. Apalagi sejak kejatuhan kekhalifahan Ottoman pada tahun 1920an yang lalu.

Tulisan ini tidak akan membahas tentang kedua buku di atas, berhubung saya belum selesai membaca keduanya – entah kapan selesainya –, tulisan ini juga tidak ingin membahas tentang Ottoman dengan segala kerumitan dan kebesaran sejarahnya, tapi tulisan ini akan membicarakan hal yang lain. Preambule di atas anggap saja sedikit usaha saya untuk membuat Anda, pembaca, sedikit terkesan dengan saya.

Beberapa hari yang lalu, saya menelepon bulek saya di Jakarta dengan sebuah misi: menanyakan keberadaan koleksi Majalah Ummi jadulnya beliau yang lumayan lengkap. Buat apa majalah yang ditujukan khusus untuk muslimah itu bagi saya yang lelaki tulen ini? Ehem. Jadi begini. Saya tidak malu untuk mengakui bahwa saya pernah menjadi pembaca setia majalah itu, termasuk tabloid NOVA yang dulu rutin dibeli ibu saya.

Khusus Majalah Ummi, rubrik yang paling saya tunggu itu ada dua: Permata, yang memang ditujukan buat anak-anak; dan Kolom Ayah. Kolom Ayah? Ya, benar. Walaupun saya masih SD ketika itu, tapi Kolom Ayah selalu menjadi rubrik yang saya tunggu-tunggu kehadirannya.

Dari Kolom Ayah inilah saya kemudian mengenal satu nama yang belakangan jadi cukup tenar karena pidato-pidatonya yang menyihir serta mampu membakar semangat pendengarnya. Nama itu adalah Muhammad Anis Matta. Seorang politikus muda yang saat ini diamanahi sebagai Presiden  PKS menggantikan Luthfi Hasan Ishaq yang terkena badai fitnah korupsi – yang kebenaran dan perkembangan kasusnya masih sama-sama kita (saya) tunggu sampai saat ini.

Awalnya saya cukup terkejut dengan proses pemilihan yang sangat singkat itu. Keterkejutan saya bersumber dari elektabilitas beliau di mata publik secara umum yang tidak terlalu menggembirakan. Kenapa bukan Hidayat Nur Wahid yang notabene lebih populer di masyarakat? Dahi masyarakat Indonesia secara umum pasti akan berkerut bila disodorkan nama Anis Matta, meski tidak berlaku bagi para aktivis gerakan Islam yang sudah mengetahui kiprah beliau selama ini. Selain itu, menarik pula untuk diketahui bersama, apakah ide-ide segar yang selama ini hinggap di setiap tulisan dan ceramahnya bisa diejawantahkan untuk menahkodai sebuah partai sebesar PKS yang ketika itu – mengambil redaksi dari beberapa media mainstream – sedang dilanda prahara besar.

Pemikiran Anis Matta, menurut saya, seperti udara. Ia cerkas bergerak dan meliuk kesana dan kemari. Orang yang terbiasa berpikir linear tentu akan cukup sulit untuk mengikuti gaya berpikirnya. Tak jarang statemennya berbuah kontroversi bagi banyak kalangan, termasuk di internal Partai Keadilan Sejahtera, yang kita tahu berbasis kader-kader militan dan terpelajar. Referensinya sungguh kaya dan sumber bacaannya sangat mencengangkan. Belakangan dari sebuah berita diketahui bahwa Anis Matta merupakan pelahap buku kelas kakap. Bil khusus buku-buku sejarah dan biografi tokoh-tokoh dunia. Itulah sebabnya pidato-pidato dan tulisan beliau sangat renyah dibaca dan memiliki jangkauan audiens yang sangat luas. Di samping itu, Anis juga merupakan pencinta sastra. Tak heran bila untaian kata-katanya yang membara itu terkadang beraroma romantis, kadang melankolis.

Kembali ke Majalah Ummi.

Saya termasuk anak ingusan yang cukup beruntung karena dipertemukan dengan tulisan-tulisan beliau tatkala membidani Kolom Ayah di Majalah Ummi ketika itu. Tulisan-tulisan yang sedianya ditujukan untuk orang-orang yang berumur jauh di atas saya itu seperti menyihir akal bocah ingusan seperti saya. Darinya saya mengenal puisi-puisi indah karangan Iqbal dan Sapardi Djoko Damono yang kerap diselipkan dalam setiap tulisannya. Dan karenanya pula saya jadi jatuh cinta dengan dunia seni dan sastra.  Sejak saat itu, saya telah memutuskan diri untuk menjadi penggemar tulisan-tulisannya.

Waktu berlalu beberapa tahun. Saya pun dipertemukan kembali dengan tulisan Anis Matta. Kali ini bukan lagi di Majalah Ummi, tapi di Majalah Tarbawi yang saya temukan di Mushola SMUN 90 ketika itu. Serial Kepahlawanan, begitu judul rubrik terbarunya. Di tahun-tahun itu pula saya bersinggungan dengan tulisan beliau lainnya di Majalah Saksi dan Suara Hidayatullah. Tapi berhubung saya tidak terlalu cerdas untuk melahap tulisan-tulisan bertema politik yang berat, saya memutuskan untuk membaca rubrik Serial Kepahlawanan dan rubrik Assasiyat yang diasuh oleh Almarhum Rahmat Abdullah di Majalah Tarbawi kala itu. Dan sejak itu pula saya mengumpulkan majalah-majalah Tarbawi yang kerap dibagikan gratis setiap ada perayaan hari-hari besar Islam di sekolah.

Ketika Serial Kepahlawanan di Majalah Tarbawi selesai, dan digantikan dengan Serial Cinta, saya memiliki ide untuk mengumpulkan tulisan-tulisan beliau dalam satu bundel. Maka mulailah saya memfotokopinya dari setiap edisi yang saya miliki, dan yang saya pinjam dari teman, menjadi satu bundel tersendiri – bersamaan dengan bundel kolom Assasiyat-nya Almarhum Rahmat Abdullah.

Semasa kuliah, kegemaran saya akan tulisan-tulisannya yang memukau masih berlanjut. Ada banyak sekali buku-buku beliau. Di antaranya adalah:
  1. Mencari Kepahlawanan [Tarbawi Press]
  2. Serial Cinta [Tarbawi Press]
  3. Model Manusia Muslim [Asy Syaamil dan belakangan diterbitkan oleh Progressio]
  4. Setiap Saat Bersama Allah [I’tisham]
  5. Menuju Cahaya [Fitrah Rabbani]
  6. Sebelum Anda Mengambil Keputusan Besar Itu [Asy Syaamil]
  7. Delapan Mata Air Kecemerlangan [Tarbawi Press]
  8. Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga [Ummi]
  9. Arsitek Peradaban [Fitrah Rabbani]
  10. Dari Gerakan Ke Negara [Fitrah Rabbani]
  11. Demi Hidup Lebih Baik [Cakrawala Publishing]
  12. Dan masih banyak lagi
Uniknya, Anis Matta pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa salah satu impiannya yang sulit untuk diwujudkan karena kesibukannya adalah menulis sebuah buku. Lalu, buku-buku di atas itu berasal dari mana? Buku-buku itu ternyata berasal dari tulisan-tulisan dan ceramah beliau yang tersebar di beberapa majalah dan kaset yang akhirnya disatukan dan dibukukan.

Di masa-masa itu, saya juga berinteraksi dengan ceramah-ceramah beliau yang tersebar di dunia maya yang jumlahnya cukup banyak dan temanya yang beragam. Beberapa ceramah yang kerap saya dengar secara berulang adalah Membangun Mahligai Pernikahan, Manajemen Waktu, Penyerbuan Pasukan Gajah (tafsir tematik dari surat Al Fiil), dan masih banyak lagi.

Sampai hari ini, saya masih sering membaca kembali tulisan-tulisan serta mendengarkan ceramah-ceramah lawasnya. Seiring perkembangan dunia politik tanah air, saya pun tak lupa pula mengumpulkan beberapa video orasi-orasi beliau yang menyihir itu. Mulai dari orasi politik paska pengangkatan dirinya sebagai Presiden PKS, sampai yang terakhir ketika beliau berbicara tentang cinta dan harmoni di Jawa Tengah.

Saya selalu merasa ada banyak hal baru yang bisa diambil dari setiap orasinya yang memesona, meski semangat dan luapan cintanya tetap sama dengan takaran yang makin lama makin menguat. Tulisan ini bukan untuk memuji secara membabi-buta akan sosok Anis Matta. Bagaimanapun, ia tetaplah seorang tokoh yang punya kekurangan sebagai manusia biasa. Ada yang menyebutnya sebagai seorang yang hedonis karena gaya hidupnya yang jauh dari kata sederhana, dan sebutan minor lainnya. Namun saya bergeming dengan ungkapan-ungkapan minor itu. Bagaimanapun, beliau adalah salah satu aset berharga, dari sekian banyak aset, yang dimiliki bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis yang tengah melandanya. Saya rasa, ini saat yang tepat untuk membuktikan teori dan ide beliau di buku-buku serta ceramah dan kajian yang pernah dibuatnya ke dalam ranah amal nyata.

Apa yang sedang dilakukan oleh Anis Matta saat ini: menyelamatkan bahtera partai dari serangan badai politik dan membalikkan prediksi para pengamat politik yang mengatakan bahwa PKS sudah habis serta ditinggalkan kader dan konstituennya, kemudian membersamai rentetan pilkada di negeri ini yang datang silih berganti dengan orasi-orasinya yang memukau dan menyihir para pendengarnya, serta marathon persiapan PKS dalam berjuang di kancah jihad politik berjudul Pemilu 2014, seakan hendak menahbiskan dirinya sebagai sosok “pahlawan yang dirindu” yang pernah ditulisnya dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia, utamanya bagi para pendukung dan kader PKS, serta masyarakat yang mulai memperhatikan segenap gerak-geriknya. Saya termasuk salah satu anak bangsa ini yang hendak menitipkan secuil harapan akan perbaikan bangsa ini di atas pundaknya. Bisa jadi ini sesuatu yang naif, bisa jadi saya terlalu berlebihan. Bisa jadi.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip sepotong tulisannya yang saya ambil dari buku Mencari Pahlawan Indonesia:

"Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata : "Jadilah pahlawan itu". [wahidnugroho.com]


Kilongan, Maret 2013 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar