Sabtu, 20 Agustus 2011

Sepenggal Kisah Klasik Untuk Masa Depan


So make the best of this test, and don't ask why
It's not a question, but a lesson learned in time
It's something unpredictable, but in the end it's right.
I hope you had the time of your life
(Green Day)

“Dulu gimana de pe cerita bisa ketemu maytua, mas?”

Pertanyaan itu menghentikan aktivitas sarapanku untuk beberapa saat. Kuteguk air putih dari gelas plastik yang ada di hadapanku. Kerongkonganku terasa sedikit lega saat air hangat-hangat kuku itu melewati rongganya yang penuh dengan kunyahan nasi dan telur ceplok. Kantin tampak sepi. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Ibu itu, sang penanya, tampak menunggu jawabanku.

“Saya te pernah ketemuan den dia, bu. Langsung nikah”, jawabku sekenanya. Penuh rasa penasaran, ibu itu bertanya lagi.

“Masak kan te pernah ketemuan?”, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya.

“Iya. Coba saya tanya sama ibu e, pernah liat saya ada ba jalan den cewek?”, tanyaku. Ia menggeleng. Ah, ia mungkin tak tahu detail itu.

Baru, bagaimana de pe cerita mas bisa kawin den mas pe maytua?”, kejarnya lagi.

Aku tersenyum. Kuteguk kembali air putih di gelas plastik berwarna putih susu itu. Sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan telur ceplok ke dalam mulut, aku menceritakan kisah pertemuanku dengan wanita yang kini menjadi istriku itu. Saat bercerita, aku memerhatikan ekspresi tak percaya yang terbit di wajah penanyaku itu.

“Jadi Bagitu e?”, ujarnya takjub. Aku mengangguk mantap. Kutinggalkan sang penanya dengan ketakjubannya dan kembali menenggelamkan wajahku ke dalam sarapanku yang tinggal tak seberapa itu.

***

Setiap kita mungkin punya cerita-behind-the-scene tentang bagaimana kita bertemu dengan pasangan kita dan kisah saat kita memutuskan untuk menikahinya. Aku sendiri memilikinya. Kisah yang mungkin bagi Anda biasa saja, tapi bagiku istimewa. Tak ada pernak-pernik yang unik, tak ada dinamika yang menggelora. Segalanya berjalan cukup lancar kecuali satu hal: dana yang kumiliki tak seberapa banyak. Syukur alhamdulillah, kebaikan beberapa sahabat melancarkan semuanya.

Pada suatu malam, ketika kedua putriku telah tenang dan sudah siap berlayar di alam mimpi, si kakak berbaring di sisiku dan si adek sedang asyik menyusu ke umminya, aku menceritakan kisah itu kembali kepada mereka. Sudah pasti, kedua putriku tak mengerti dengan ceritaku. Tapi tak masalah. Lisanku bertutur lancar sambil sesekali melirik wajah istriku yang cukup sering mengoreksi kisahku karena ada beberapa bagian yang sengaja kuriwayatkan secara salah. Aku anggap hiburan koreksi itu.

“Tau nggak, abimu ini, nak, karena ganteng, keren, dan baik hati, jadi dulu banyak akhwat yang ha-dua-ce, lho”, kisahku sambil tersenyum nakal. “Mungkin salah satu dari akhwat yang ha-dua-ce itu ya ummi kalian ini”, celotehku sambil cengengesan. Istriku melotot dan melancarkan serangan cubitan kecil di pinggangku. Terlambat, serangan itu mendarat mulus di pinggangku yang tak terkawal. Aku mengaduh, pura-pura kesakitan. Istriku tersenyum penuh kemenangan. “Anak bayi mana ngerti sama ha-dua-ce biii”, protesnya.

Singkatnya, beginilah kisah pertemuanku dengan istriku, ibu dari anak-anakku.

Kami tidak pacaran. Itu redaksi istriku. Sedangkan redaksiku, aku tidak lagi pacaran. Aku bahkan tak begitu mengenalnya saat belum menikah dulu. Yang kutahu hanyalah bahwa ia baru saja menyelesaikan diplomanya di sebuah kampus di luar Luwuk. Nama kampus dan jurusannya, jujur saja, aku tak tahu, dan tak tertarik untuk tahu. Pertama kali aku melihatnya adalah di pelataran parkir Masjid Agung. Saat itu, aku dan beberapa teman sedang berolahraga bersama dan ia datang dengan dibonceng oleh lelaki yang awalnya kukira adalah orangtuanya – belakangan lelaki itu kuketahui adalah kakak sulungnya.

Ketika itu, aku sedang menjalani proses ta’arufku dengan seseorang. Proses kali ketiga tepatnya. Yang pertama gagal karena suatu hal. Yang ke dua juga gagal karena layu sebelum berkembang. Dan yang ketiga, sebelum aku “berproses” dengan calon istriku, juga gagal karena lain hal lagi. Semua kegagalan itu kuhadapi dengan biasa saja. Tak ada penyesalan, tak ada kegundahan. Aku memang bertekad tak melibatkan perasaan sebelum kata khitbah diucapkan oleh waliku kepada walinya. Tentang bagaimana rincian kegagalannya, cukup aku, istriku, perantaraku, dan Allah saja yang tahu.

Ia memang bukan yang pertama, kuakui. Tapi aku bersyukur dengan kegagalan demi kegagalan tersebut. Bersyukur karena saat berproses dengan istrikulah aku menemukan kemudahan demi kemudahan begitu deras mengalir. Allah mungkin memang menakdirkanku untuk menikahinya, pikirku saat itu.

Adalah seorang ustadzah yang mengenalkanku kepadanya. Prosesku yang kedua dan ketiga juga diurus olehnya, walau gagal. Ustadzah ini adalah istri dari temanku. Pada suatu pagi yang cerah, di lantai tiga kantor lamaku, aku menerima telepon dari suaminya, temanku itu. “Tolong ke rumah nanti siang ya”, pintanyaa. Aku mengiyakan.

Selepas istirahat kantor, aku memenuhi permintaannya. Saat dalam perjalanan menuju rumahnya, aku sudah bisa menerka apa maksud di balik permintaan ini. Tapi kuikuti saja alurnya. Aku tak ingin merusak suasana, batinku.

Setiba di rumahnya, sambil ditemani celoteh putra-putrinya yang tak pernah usai, temanku dan ustadzah – istrinya –, mulai membicarakan maksud permintaan mereka berdua kepadaku. Beliau, ustadzah, mengatakan bahwa ada seorang akhwat yang siap menikah. Orangnya begini dan begitu, jelasnya panjang kali lebar, sekian dan sekian. Aku menyimaknya. “Pak Wahid buat saja biodatanya”, tutup sang ustadzah. Aku mengiyakannya.

Singkat cerita, aku menerima tawaran sang ustadzah dengan lapang dada. Sejak awal, aku memang sudah mempercayakan urusan ini kepada beliau. Ketika prosesku gagal dulu, beliau bahkan sempat berseloroh, “Andai anak perempuan saya yang paling besar udah lulus SMA, tak nikahin sama sampeyan deh, Mas Wahid”. Aku tahu perkataan itu bertujuan untuk menghiburku. Aku menyambutnya sambil bercanda, sudah pasti.

Akhirnya, detail sang akhwat calon istriku itu mulai terkuak begini dan begitunya. Tak sampai sepekan, aku memutuskan untuk meng-khitbah-nya, dan sekitar sebulan kemudian kami berdua menikah, meski jujur saja, tak ada yang istimewa dari resepsinya yang, menurutku, cukup berantakan. Tapi aku tak menyesali yang sudah berlalu itu. Kadang, isu resepsi-berantakan tersebut kami jadikan bahan guyonan untuk sekedar menertawakan masa lalu dibarengi tekad untuk memperbaikinya saat anak-anak kami menikah kelak.

***

Kulirik putri pertamaku yang sudah terlelap. Sementara putri ke duaku masih asyik menyusu kepada umminya. Ia memang agak susah tidur, berbeda dengan sang kakak yang bisa tidur kapan dan dimana saja. Kupasang senyum menggoda untuk istriku dengan maksud mengungkit kisah rekaan kepada kedua putri kami barusan.

“Huu, abi ini emang suka pamer”, sungutnya.

Aku cengengesan mendengar cibirannya yang terdengar lucu itu.

“Tapi cerita tentang akhwat-akhwat tadi bohongan, kan?”, tanyanya.

Eh? [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Agustus 2011
Sebagian adegan dalam tulisan ini didramatisir di sana dan di sini :) 
Reaksi:

1 komentar:

  1. ooooh, so sweet....cerita juga ga ya???????

    komentar di blog ini disponsori oleh www.milo-mart.com dan HERBALIFE

    BalasHapus