Selasa, 04 Februari 2014

Momen Kelahiran Anak

Cuaca Luwuk siang itu cukup panas. Sambil memegangi tangan istri saya erat-erat, saya menyaksikan detik-detik kelahiran putri ke tiga saya tanpa sekalipun mengedipkan mata. Sebuah proses antara hidup dan mati. Sebuah proses perjuangan seorang anak manusia dalam mengantarkan kehidupan anak manusia lainnya. Sebuah titik kulminasi dari perjalanan cinta dua anak manusia yang telah mengikrarkan janji suci untuk hidup bersama hingga ke syurgaNya kelak. Menegangkan. Tapi juga indah.

Saya mengamati wajah istri saya yang tampak kesakitan. Membisikkan kalimat thayyibah ke telinganya dan mengingatkannya agar mengikhlaskan rasa sakit itu sebagai wujud jihad di sisiNya. Bidan yang membantu persalinan terus mengatakan kata-kata motivasi kepada istri saya. Sedangkan saya bergantian antara menguatkan istri dan mengamati arah jalan lahir calon anak ke tiga saya. Tak lama berselang, proses itu pun terjadi lagi. Pertama kepalanya yang mungil dan lembut itu keluar. Seperti sebuah balon yang sedang ditiup. Lalu diikuti dengan tangan, tubuh dan kedua kakinya, yang seperti langsung mencelat keluar. Tak lama terdengar suara yang tangisan seorang anak manusia untuk kali pertama di kolong dunia. Riuh ramai. Menyenangkan.

Saya lalu mengucapkan syukur kepadaNya atas anugerah ini, mencium kening dan bibir istri saya seraya menyemangatinya, kedua tangan saya masih menggenggam tangannya yang basah oleh keringat, kemudian mengamati sosok putri ke tiga saya yang sedang dibersihkan oleh sang bidan dengan wajah tegang dan tangan bergetar.

“Semuanya lengkap dan sehat, pak”, ujar sang bidan dengan wajah penuh syukur. Saya mengucapkan terima kasih atas kerja keras sang bidan paruh baya itu lalu meminta waktu untuk mendekati anak saya untuk mengamatinya lekat-lekat. Sementara itu, sang bidan kembali ke arah istri saya dan mulai membersihkan sisa-sisa persalinan yang masih terlihat. Air ketuban bercampur darah, dan ari-ari anak saya yang tampak masih menjuntai.

Allahu akbar! Batin saya ketika memandangi sosok bayi yang terbungkus kain di hadapan saya. Tangisnya terdengar nyaring dan jernih. Setelah mengelus-elus pipinya, saya lalu mengucapkan basmalah dan mulai mengazankannya.

Entah kenapa saya menangis. Lagi.

Momen mengazankan anak selalu membuat saya menangis, tak terkecuali ketika dahulu saya mengazankan putri pertama dan ke dua saya. Momen emosional yang membuat sisi sentimentil saya langsung menyeruak ke permukaan. Momen kudus yang selalu menerbangkan ingatan saya tentang banyak hal.

Saya teringat dengan bayi-bayi yang ditelantarkan orangtuanya di selokan, di tempat sampah, di rerumputan, di kebun kosong, di toilet umum dan kamar mandi sekolah. Saya teringat dengan anak-anak yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Saya teringat dengan bayi-bayi yang terbunuh di kecamuk perang: Gaza, Syria, Yerusalem, Andalusia. Saya teringat dengan anak-anak muda Mesir yang ditembak mati oleh para sniper. Saya teringat dengan para gadis muda yang terjebak traficking, mereka yang dieksploitasi fisiknya untuk dijadikan budak seks. Saya teringat dengan gadis-gadis muda yang mengumbar auratnya yang terhormat itu tanpa secuil pun rasa malu. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orang tua sang gadis ketika melihat gambar putri tersayang mereka, yang tumbuh dan kembangnya mereka ketahui betul itu, tampil polos dalam artian yang sebenarnya?

Saya teringat dengan kisah Ummul Mukminin, shahabiyah, ummahat da’iyah, dan para akhwat muslimah yang ketegarannya bak batu karang dan semangatnya seolah baja. Saya teringat wajah ibu saya, semoga Allah merahmatinya. Pengorbanannya. Segala hal tentangnya, lebih maupun kurangnya. Saya teringat dengan anak-anak yang terlindas roda zaman, mengais-ngais belas kasih dari dunia yang tak berpengasihan. Saya teringat dengan anak-anak yang harus menyeberangi jembatan yang nyaris putus, sementara di bawahnya sungai mengalir dengan arus derasnya yang mengancam jiwa. Saya teringat dengan anak-anak yang putus sekolah. Saya teringat dengan terlalu banyak hal.

Jalanan di depan klinik tempat istri saya melahirkan mulai ramai dengan para siswa-siswi yang baru saja ke luar dari sekolahnya. Seorang siswa lelaki tampak sedang mengeluarkan sepeda motor canggihnya dari pekarangan sebuah rumah yang tampaknya dijadikan tempat parkir motor para siswa. Saya kembali mengecup kening istri lalu membiarkannya beristirahat sejenak, sementara putri ke tiga saya tengah terlelap di dalam inkubator kaca.

Maka saya menitipkan selaksa doa untuknya yang baru menghirup udara dunia, dan kepada dua saudari tertuanya yang lain, semoga Allah rabbul izzati menjaga dan memudahkan urusan kalian semuanya.

Ya Allah, karuniakan kami keturunan yang menjadi penyejuk kedua pandangan kami, dan jadikanlah kami serta keturunan-keturunan kami menjadi orang-orang yang sentiasa mendirikan shalat.

Aamiin. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Februari 2014 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar