Jumat, 10 Januari 2014

Ngobrol

Saya suka ngobrol. Ngobrol apapun, dan dengan siapapun. Tua, muda, lelaki, perempuan, anak-anak, siapapun. Misal kalau pergi ke warung buat beli minyak goreng dan ada anak-anak muda yang lagi duduk-duduk di sekitar warung, saya akan berbasa-basi sebentar, tanya ini itu dan sebagainya. Atau mengobrol dengan om dan tante pemilik warung. Basa-basi ini itu, atau sekedar tanya kabar.

Misal kalau ke masjid, sambil menunggu azan dikumandangkan, maka saya akan mencari anak-anak yang sedang berlarian di teras, saya tanya nama, sekolah, kelas, dan hal-hal semacam itu. Kadang ketika dalam perjalanan yang panjang, baik itu naik pesawat, kereta, ataupun bus, maka saya akan mencari teman bicara. Buku yang selalu saya tenteng ketika sedang dalam perjalanan akan saya letakkan dulu atau saya simpan di dalam tas selempang kecil saya. Terkadang ada obrolan yang panjang, seru dan mengasyikkan bersama orang-orang yang baru saya kenal. Meski tak jarang obrolan itu menggantung dan terputus dengan cara yang sangat canggung. Mungkin lawan bicara saya agak sedikit curiga dengan keinklusifan saya, atau mungkin mereka tidak ingin diganggu dan menikmati perjalanannya. Mungkin.

Saya juga sering mengangkut orang-orang yang tidak saya kenal ketika hendak ‘turun’ ke kota (Luwuk), baik itu saat saya menyetir sendiri atau ketika bareng-bareng anak istri. Maklum, rumah (istri) saya ada di atas bukit dan nyaris tidak pernah dilewati kendaraan umum, jadi kalo ada orang yang berjalan kaki ke bawah untuk mencari kendaraan umum (ojek atau taksi), maka saya akan menawari tumpangan untuknya. Bila orang itu berjenis kelamin laki-laki, baik tua ataupun muda, atau wanita paruh baya, maka saya tidak akan ragu mengangkutnya. Tapi kalau berstatus siswi atau pemudi yang baru merekah, saya hanya akan mengangkutnya jika dan hanya jika ada istri saya pula di mobil yang saya bawa. Bila saya ke arah kota (Luwuk), maka akan saya tanyakan kemana tujuannya dan seterusnya. Terkadang saya harus membujuk mereka untuk mau ikut, karena mungkin mereka ngerasa nggak enak untuk ngerepotin saya. Tapi saya nggak pernah merasa kerepotan, saya justru senang karena ada teman ngobrol selama dalam perjalanan itu.

Pernah suatu hari saya mengangkut seorang wanita paruh baya yang mengenakan sweater berwarna kuning terang di siang yang terik. Wanita ini berjalan lambat dan sesekali menengok ke belakang seperti sedang mencari ojek dari arah atas (BTN Muspratama). Ketika mobil yang sedang saya kendarai berada tepat di sampingnya saya lalu mengklaksonnya dan menawarinya tumpangan. Wanita itu tampak sangat berterima kasih sekali. Dan tanpa ba bi bu, ia langsung mencurahkan kekesalan hatinya kepada saya. Wanita itu ternyata sedang sakit, saya perhatikan wajahnya memang tampak kurang sehat, dan hendak pergi berobat ke seorang mantri. Tapi ia merasa kesal karena ditelantarkan keluarganya, keluarga satu-satunya, yang ada di Luwuk. Ia sendiri berasal dari Bunta dan menyengaja pergi ke Luwuk dan menumpang di rumah keluarga satu-satunya untuk berobat ke mantri itu. Saya pun langsung menjadi pendengarnya yang setia mulai dari BTN Nusagriya sampai dengan klinik tempat sang mantri membuka prakteknya. Ketika hendak turun, wanita itu mengucapkan terima kasih dan membacakan selaksa doa untuk saya. Saya mengaminkannya dan mengucapkan doa semoga ia lekas sembuh.

Kebiasaan mengangkut orang asing dan mengajak ngobrol di sepanjang perjalanan ini pun juga menjalar ke istri saya. Pada suatu malam, saya hendak membeli obat batuk di apotik kilo satu. Saat akan memarkir mobil ke tepi, istri saya menunjuk dua orang wanita tua yang tampak sedang menunggu angkutan umum. Kebetulan waktu sudah lewat jam delapan malam ketika itu. Setelah turun dari mobil, saya lalu bertanya kepada dua orang ibu beda usia itu hendak kemana.

“Mau ke Pepabri, pak”, jawab ibu yang tampak lebih muda.

“Ikut saya saja, bu. Kebetulan saya mau ke arah Kilongan. Tapi saya mau beli obat dulu ya,” ujar saya sambil menyilakan kedua ibu itu masuk ke dalam mobil. Awalnya mereka berdua menolak, dan setelah saya bujuk keduanya mau masuk ke dalam mobil dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Di perjalanan pulang, kami lalu mengobrol tentang banyak hal. Tentang penyakit yang sedang diderita oleh ibu yang lebih tua (belakangan diketahui bahwa kedua ibu itu adalah ibu dan putrinya yang juga sudah jadi ibu), tentang sulitnya mencari angkutan umum yang mau mengangkut penumpang ke jurusan mereka, dan sebagainya dan seterusnya. Saya dan istri menanggapi seperlunya sambil menyelipkan doa agar ibu yang sedang sakit itu segera baikan.

Begitulah. Saya suka ngobrol. Dengan siapapun, kapanpun, dan topik apapun. Dengan tukang nasgor, tukang martabak, tukang roti bakar, tukang buah, tukang es, tukang soto, dan lain-lain. Tulisan yang sedang saya buat ini pun juga hasil obrolan searah saya dengan laptop butut saya, sambil ditemani iringan musik Jon Bon Jovi yang sedang saya nikmati di sore yang cerah di kota ini. [wahidnugroho.com]



Tanjung, Januari 2014 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar