Minggu, 02 Juni 2013

Di Sepanjang Perjalanan




Di sepanjang perjalanan pulang itu tangan kita berdua saling bertaut. Lisanmu tak hentinya mengoceh mengenai banyak cerita yang terjadi di sekolahmu. Tentang si fulan, si fulanah, tentang bu guru ini, bu guru itu. Tentang si anu yang menangis, tentang pemberian permen yang kau tolak karena wanti-wantiku, tentang menu makan hari itu yang tak kau habiskan, tentang uang tabungan yang sudah terkumpul banyak, tentang hafalan Al Qur'an yang kerap kita rapalkan bersama, tentang pelajaran hari itu dan jalan-jalan di sepanjang pantai yang menyenangkan hatimu.

Di sepanjang perjalanan pulang itu tangan kita berdua saling bertaut. Sesekali aku melirik ke arah kaca spion di sebelah yang sengaja ku pantulkan ke arah wajahmu yang sangat belia. Kau telah beranjak besar. Beberapa tahun kemudian, aku mungkin tak lagi menyebutmu dengan sebutan lucu, imut, atau panggilan semacam itu. Atau kau tak lagi mau kusebut sebagai perempuan yang lucu. Kau perempuan dewasa, yang tegar dan tengah mekar, begitu mungkin pikirmu.

Di sepanjang perjalanan pulang itu tangan kita berdua saling bertaut. Aku tahu, tautan kedua tangan kita takkan berlangsung terlalu lama. Aku sadar, aku takkan selamanya menuntun jalanmu, membasuh lukamu, menggendong badanmu yang makin berat, dan mengecup keningmu yang terbakar sinar matari. Aku sadar betul itu. Kelak akan ada tangan lain yang kau pegang dengan erat, kelak akan ada bibir lain yang akan mengecup keningmu, kelak akan ada bahu lain tempat kau bersandar, kelak akan ada dada yang lebih bidang dan perut yang lebih rata sebagai tempat kau tetirah.

Di sepanjang perjalanan pulang itu tangan kita berdua saling bertaut. Aku sadar dengan posisiku. Aku sadar betul. Kelak, ketika tanganku tak lagi mampu memegang tanganmu, ketika bibirku tak mampu lagi mengecup keningmu, ketika perutku yang penuh lemak tak lagi jadi tempat tetirahmu, ketika bahuku yang sudah tak kekar tak lagi jadi tempat bersandarmu, maka hati-hati kita lah yang akan bertaut. Jiwa-jiwa kita lah yang akan saling memagut. Hanya benih-benih rindu yang bisa kita tanam dan menuainya kelak dengan pertemuan-pertemuan singkat dan tak seberapa lama.

Di sepanjang perjalanan pulang itu tangan kita berdua saling bertaut. Aku melepaskannya sejenak demi memeluk pinggang kecilmu, menghirup bau rambutmu yang apak, mencium bau keringatmu yang khas, dan memandangi wajahmu dari balik kaca spion yang kuarahkan kepadamu.



Muspratama, Juni 2013 

Reaksi:

2 komentar: