Rabu, 12 Agustus 2015

Soal Kliping

Ulil Abshar Abdalla.

Lupakan. Lupakan soal pendapatnya yang kerap ngawur dan seringkali berseberangan dengan pendapat mayoritas umat Islam di Indonesia. Karena dari sosoknya yang penuh kontroversial tersebut saya mendapatkan pelajaran yang berharga. Namun sebelum berbincang tentang pelajaran macam apa yang bisa kita ambil dari seorang Ulil, terlebih dulu saya hendak mengulas sedikit asbabun nuzulnya.

Damien Dematra, salah seorang novelis asal Indonesia, pernah menulis sebuah novel yang dijudulinya Sejuta Hati Untuk Gus Dur. Buku itu diadaptasi dari film Gus Dur The Movie yang sedianya disiapkan untuk diputar pada milad ke 70 Gus Dur pada tahun 2010 silam. Apa lacur, Gus Dur justru berpulang lebih cepat setahun sebelum rencana itu terwujud. Buku ini adalah hasil inisiatif spontan sang penulis yang akhirnya mengonversi skenario film tersebut ke dalam bentuk novel. 

Novel itu kemudian diberi kata sambutan, salah satunya, oleh Ulil Abshar. Dalam sambutannya, Ulil berkisah tentang kebiasaannya ketika masih menjadi santri di Madrasah Mathali'ul Falah, Pati, yakni kegemarannya membeli koran bekas dalam bentuk kiloan. Koran-koran bekas itu lalu ia pisahkan khusus pada bagian opini. Bagian opini itu kemudian ia gunting dan dikliping menjadi satu. Salah satu opini yang kerap diklipingnya itu adalah tulisan karya salah satu ulama idolanya: Gus Dur.

Terus begitu. Selama bertahun-tahun, ia mengumpulkan opini demi opini dari sosok-sosok yang dikaguminya. Setiap hari ketika ada waktu senggang setelah mengkaji kitab kuning di pesantren, ia akan melahap kliping-kliping itu dengan perasaan penuh takzim. Seolah sang tokoh yang diidolainya tengah berbicara langsung dengan Ulil muda yang rakus membaca itu.

Pengalaman Ulil dalam hal mengumpulkan opini penulis yang dikagumi rasa-rasanya pernah saya alami juga. Jika Ulil mengumpulkan koran-koran bekas secara kiloan, maka saya memulainya dengan mengkliping tulisan-tulisan di majalah Tarbawi sejak tahun 2001 silam. Tulisan yang saya kumpulkan terutama adalah kolom Assasiyat yang diampuh oleh ustadz Rahmat Abdullah, dan belakangan Serial Kepahlawanan yang ditulis oleh ustadz Anis Matta. Biasa saya memfotokopinya dan mensteplesnya begitu saja supaya tidak tercerai-berai. Sampai saya lulus kuliah pada tahun 2006, fotokopi itu berhasil saya kumpulkan sampai berjumlah empat bundel. 

Sebenarnya kalau mau ditarik lebih ke belakang lagi, keinginan untuk mengkliping tulisan-tulisan yang menarik perhatian saya sudah ada sejak saya SD. Dulu, bulik saya berlangganan majalah Ummi. Selain rubrik Permata yang dikhususkan untuk anak-anak, rubrik lain yang menarik perhatian saya justru pada Kolom Ayah yang dahulu diasuh oleh ustadz Anis Matta. Namun entah karena alasan apa, beliau melarang saya untuk mengguntingi bagian-bagian yang saya gemari itu. Maklum, dulu waktu masih kecil saya belum kenal mesin fotokopi. 

Kalau dipikir-pikir, kebiasaan membaca saya ketika masih SD itu lumayan aneh juga. Nyaris setiap hari saya membaca koran Poskota yang dibawa oleh mbah saya yang supir bajaj itu setelah membaca bagian karikaturnya. Saya juga melahap tabloid Nova yang jadi langganan mamak. Salah satu kolom favorit saya justru kolom konsultasi hukum yang dulu diasuh oleh Nursjahbani Katjasungkana selain rubrik Sedap Sekejap. Benar-benar selera baca yang aneh.

Selain kebiasaan mengumpulkan tulisan-tulisan yang menarik, saya juga suka memfotokopi buku-buku yang menurut saya bagus. Salah satunya adalah buku yang berjudul Tarbiyah Menjawab Tantangan ketika masih SMA dulu. Ketika saya diamanahi untuk memfotokopi sebuah bundel oleh teman sekelas, kesempatan itu tidak saya lewatkan untuk mencari tempat fotokopi termurah yang ketika itu ada di jalan Haji Mencong, meminjam buku Tarbiyah Menjawab Tantangan milik seorang teman, dan memfotokopinya berbekal akumulasi marjin ongkos fotokopi yang jumlahnya cukup lumayan itu. Setelah memfotokopinya, saya memandangi kopian buku itu dengan penuh takzim, membacainya pelan-pelan, satu demi satu, meski saya tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang saya baca itu. 

Belasan tahun kemudian, saya berkesempatan untuk memiliki buku yang bersejarah itu dengan harga yang cukup miring dari seorang penjual toko buku online di facebook. Kebahagiaan saya pun membuncah tak terkira karenanya.

Kiranya, apa alasan mengumpulkan opini atau tulisan tersebut? Kedekatan emosional. Mungkin jawabannya demikian.

Ahmad Isa Asyur pun demikian ketika ia mulai mengumpulkan ceramah-ceramah Hasan Al Banna yang dilakukan setiap Selasa malam di Markaz Ikhwan Mesir hingga akhirnya dibukukan menjadi sebuah buku tersendiri. Dahulu, di barisan belakang majelis yang tak begitu mencolok, Ahmad muda mencatat kata-kata Imam Syahid yang meluap-luap dengan keahlian stenografi yang dimilikinya. Ketika redaksi majalah Tarbawi mengumpulkan kembali tulisan-tulisan ustadz Rahmat Abdullah dan membukukannya dengan judul Pilar-Pilar Asasi, belakangan diekstensi menjadi Untukmu Kader Dakwah, salah satu alasan yang mengemuka adalah mengenai “misi pewarisan”. Jadi, di samping alasan kedekatan emosi, misi pewarisan bisa jadi alasan yang berada pada “level selanjutnya”. Bisa jadi, pengumpulan opini dan proses trankripsi ceramah-ceramah ustadz Anis Matta ke dalam bentuk buku merupakan bagian dari proses pewarisan tersebut.

Kini, zaman telah berubah dan teknologi informasi telah menjadi kebutuhan yang tidak bisa terelakkan. Jika dahulu kliping adalah sarana pengumpulan opini yang paling mudah dijalani, sekarang sudah ada banyak situs-situs yang bisa mengumpulkan aneka rupa opini dalam jumlah yang nyaris tanpa batas. Kegiatan mengumpulkan opininya masih tetap sama, namun dalam bentuk yang berbeda. 

Bagaimana dengan Anda? [wahidnugroho.com]



Tanjung, Agustus 2015

Reaksi:

1 komentar:

  1. kalo saya pas bapak bawa pulang koran yg pertama kali saya baca malah TTS silang gus.. selera yg aneh .. heheheh

    BalasHapus