Rabu, 25 September 2013

Nametag


Nametag berwarna kuning muda dengan gambar foto saya berlatar merah itu sempat saya pandangi lama-lama ketika saya kali pertama kali menerimanya beberapa tahun yang lalu, gak lama setelah saya mulai berkantor di instansi ini. Pada bagian atas, terdapat tulisan Departemen Keuangan RI, lalu diikuti dengan Direktorat Jenderal Pajak, dan ada nama saya, Wahid Nugroho, tertulis jelas di bawah foto jaman kuliah silam. Sementara di baliknya ada data diri saya, seperti nama, nomor induk pegawai, jabatan, unit kerja, dan sebagainya. Ada perasaan campur aduk saat itu. Antara percaya dan tidak, ketika itu saya telah resmi “diakui” sebagai bagian dari keluarga besar Direktorat Jenderal Pajak.

Saya langsung teringat wajah bapak, mamak, adek, dan orang-orang yang telah menghantarkan saya sampai pada titik tersebut (saya gak bisa sebutin satu-satu karena saking banyaknya). Titik ketika saya telah resmi menjadi (calon) buruh negara di sebuah kementerian yang, konon kabarnya, cukup mentereng itu. Sebelumnya, saya nggak pernah ngimpi jadi buruh negara, bil khusus di instansi ini. Dulu ketika saya kelas 3 SMA, almarhum bapak pernah nawarin saya untuk jadi Polisi Pamong Praja, dulu bapak bilangnya Kamtib, di Pemda DKI, tempat dimana almarhum bapak mengabdi sampai pensiun. Tawaran itu tidak saya iyakan dan tidak saya tolak. Menjadi buruh negara ketika itu belum menjadi agenda hidup saya.

Tapi yang namanya garis hidup manusia emang kadang misterius dan gak bisa ditebak kemana arahnya. Ia mengalir seperti air yang melewati sela-sela bebatuan, menyelusup di antara semak dan dedaunan. Sesulit apapun rintangan yang ada di hadapannya, air selalu mencari jalan lain untuk mencari titik dimana ia akan bermuara dan bergabung bersama milyaran tetes air lainnya yang mengalir dari titik yang berbeda-beda. Saya pun diterima di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, di spesialisasi Prodip III Perpajakan pada tahun 2003 silam, dan berhasil lolos dengan nilai memprihatinkan tiga tahun kemudian. Ketika memandangi nametag pertama saya kala itu, bahkan hingga telah berganti nametag beberapa kali sampai sekarang, saya masih belum percaya kalau saya benar-benar telah menjadi seorang buruh negara di instansi yang konon antara jumlah lovers dan hatersnya nyaris seimbang itu.

Saya sadar, kalo saya ini bukan pegawai yang baik. Prestasi kerja saya nyaris nggak ada. Saya pernah membolos ngantor beberapa kali, kualitas pekerjaan saya, well, biasa-biasa aja. Kadang saya lalai dengan tugas yang diberikan ke saya, kadang juga saya menunda-nunda pekerjaan yang seharusnya cepat selesai. Jangan heran kalau pangkat saya sejak enam tahun yang lalu nyaris tak pernah beranjak naik, karena saya memang nggak berminat mengurusnya. Liat aja DUPAK saya yang selalu tertunda diajukannya, atau dosir kepegawaian saya yang terbengkalai. See? Saya ini hanya buruh negara yang biasa-biasa saja.

Meski begitu, saya merasa bangga telah menjadi bagian dari keluarga besar Direktorat Jenderal Pajak. Dengan segala kekurangan yang saya miliki, instansi ini telah begitu berbaik hati memberikan segenap fasilitasnya kepada saya, walau kadang saya merasa bahwa saya tidak pantas mendapatkannya bila dibandingkan dengan apa yang telah saya berikan kepada instansi ini. Meski begitu, saya sendiri nggak bisa jamin apakah saya akan terus berada di instansi ini sampai akhir masa pengabdian kelak. Entahlah, ada banyak sekali kecamuk yang mondar-mandir di kepala saya terkait masa depan yang masih kabur itu. Kecamuk yang saya sendiri masih belum bisa menerjemahkannya dengan jelas. Saya nggak ngerti soal itu semua. Tapi saya akan belajar untuk mengerti dan memahaminya.

Satu hal yang pasti, keberadaan saya di instansi ini telah membanggakan kedua orang tua saya. Saya ingat sekali dengan cerita mamak ketika almarhum bapak menerima uang dari saya yang jumlahnya “hanya” sekian rupiah itu beberapa saat sebelum beliau meninggal dengan wajah berbinar dan penuh rasa bangga. “Uang itu disimpan di dompetnya, selalu dilihat-lihat olehnya dan nyaris nggak pernah digunakan sampai beliau meninggal”, kenang mamak dengan wajah dibasahi air mata kepada saya pada suatu malam.

Semalam saya memandangi kembali nametag berwarna kuning itu, menyesap tumpukan kenangan yang mendesak-desak di memori saya saat menggunakannya dalam berbagai kesempatan: ngantor, dinas luar, diklat, atau sekedar nampang ke swalayan sepulang ngantor. Jadi inget pas jajan di salah satu toko di Luwuk dan koh pemilik toko langsung melambaikan tangannya dan memasang wajah ramah kepada saya, padahal itu adalah kali pertama saya jajan di tokonya. Usut punya usut ternyata sebabnya adalah nametag kuning yang masih terpasang di saku kiri kemeja saya hahaha...

Ah, nulis apa aku ini..? [wahidnugroho.com]


Banggai Laut, September 2013 

Reaksi:

1 komentar: