Sabtu, 30 Juni 2012

Menulis Adalah Kerja Pewarisan


Malam ini saya termenung-menung di hadapan sebuah buku tebal berjudul Warisan Sang Murabbi. Bukan isi buku itu yang membuat saya termenung-menung, melainkan secarik kata pengantar singkat yang membuka rangkaian tulisan Allahyarham Rahmat Abdullah itulah penyebabnya.

Namun sebelum saya menuliskan alasan kenapa saya termenung, saya ingin sedikit bercerita tentang buku tersebut.

Warisan Sang Murabbi adalah sebuah buku yang disusun dari kumpulan tulisan Ustadz Rahmat Abdullah di kolom Assasiyat yang dimuat di majalah Tarbawi mulai tahun 1999 sampai tahun 2005. Beliau, allahyarham, adalah seorang Syaikhut Tarbiyah, salah satu pendiri Partai Keadilan, dan seorang ulama-di-balik-layar yang tutup usia pada tahun 2005 yang lalu dikarenakan sakit.

Tulisan-tulisan pendek Ustadz Rahmat itu memiliki ciri khasnya sendiri. Bahasanya nyastra, pola pemikirannya cenderung sirkular, dan selalu menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Terkadang beliau menulis dengan ceplas-ceplos, satir dan sesekali bernada nyinyir. Butuh tenaga ekstra untuk memeras saripati pesan yang coba disampaikan beliau dalam setiap tulisan-tulisannya. Tak jarang, saya harus mengulangi membaca tulisannya hingga beberapa kali agar bisa sekedar memahami kulitnya saja.

Majalah Tarbawi adalah salah satu majalah Islam yang paling saya sukai. Ada tiga kolom yang menjadi favorit saya dari majalah tersebut: kolom Assasiyat yang diasuh oleh Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah, kolom Ruhaniyat yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Nursani, dan Serial Kepahlawanan – belakangan disusul oleh serial-serial lainnya – yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Anis Matta.

Awal mula interaksi saya dengan majalah Tarbawi adalah ketika saya sekolah di SMAN 90 Jakarta. Dulu, di Mushola Assadariyah, sebagai markasnya anak-anak Rohis, ada banyak majalah Islam yang bertebaran di sana, termasuk majalah Tarbawi. Sebagai siswa kere yang uang jajannya terbatas bahkan terkadang tidak ada sama sekali, saya kerap menghabiskan waktu istirahat pertama untuk menunaikan shalat Dhuha, tilawah, atau sekedar tidur-tiduran dan ngobrol dengan teman-teman Rohis di mushala yang kini sudah difungsikan sebagai tempat shalat khusus wanita itu. Dari aktivitas membaca majalah Tarbawi itulah saya bertemu dengan tulisan-tulisan Ustadz Rahmat.

Tulisan pertama yang saya baca ketika itu adalah dari sebuah majalah Tarbawi lama, yang saya tak ingat persis edisi dan tahunnya, berjudul Bandung-Washington-Ghaza: Dialog Imajiner Antar Aktor Sejarah. Sebuah tulisan pendek yang berkisah tentang dialog fiktif antara tokoh mujahidin pembebas Palestina Syaikh Izzuddin Al Qassam; Muhammad Toha, pelaku bom bunuh diri (saya lebih suka meredaksikannya sebagai Bom Syahid) yang juga komandan Barisan Rakyat Indonesia dalam epik sejarah Bandung Lautan Api; serta Thomas Jefferson, presiden Amerika Serikat yang ke dua. Anda yang pernah membaca artikel ini pasti tahu betul dengan kepiawaian Ustadz Rahmat merangkai tokoh sejarah lintas benua dan zaman itu dalam satu situasi dialog yang cerdas dan penuh pelajaran. Sejak saat itu, saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisan beliau setelah sebelumnya saya terpesona dengan tulisan-tulisan lainnya di kolom Ruhaniyat dan Serial Kepahlawanan.

Setelah beberapa kali membaca tulisan-tulisan beliau, saya merasa bahwa sekedar membaca saja tidak cukup. Saya bertekad untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang saya anggap menarik itu dalam satu bundel khusus sehingga saya bisa menikmatinya setiap saat tanpa harus membuka-buka majalahnya.

Pada suatu hari saya pernah mendapatkan banyak sekali majalah Tarbawi usai perhelatan hari besar Islam di sekolah kami, dimana Tarbawi menjadi salah satu sponsornya dan memberikan banyak sekali majalah-majalah lawas mereka. Ketika sebagian teman saya yang lain tidak mengacuhkan ‘peninggalan’ itu, mata saya justru berbinar. Dengan rakus saya mulai mengumpulkan edisi-edisi yang berbeda tersebut dan memfotokopi tiga kolom favorit saya itu untuk saya jadikan sebagai tiga jilid – anggap saja – buku: kumpulan fotokopi Assasiyat, kumpulan fotokopi Ruhaniyat, dan kumpulan fotokopi tulisan-tulisan Anis Matta yang ketika itu masih berupa Serial Kepahlawanan. Mulai hari itu, tiga jilid fotokopian tersebut adalah barang yang berharga bagi saya yang tentu saja volumenya selalu bertambah seiring makin bertambahnya edisi majalah Tarbawi. Entah dengan cara saya membeli sendiri majalah tersebut atau dengan cara meminjam majalah teman.

Awalnya saya membaca buku itu sekedar untuk berwisata intelektual dan saya menikmatinya dengan penuh penghayatan. Namun ketika buku UntukmuKader Dakwah yang diterbitkan oleh Pustaka Dakwatuna dan buku Pilar-Pilar Asasi (belakangan diperkaya menjadi Warisan Sang Murabbi) yang diterbitkan oleh Tarbawi Press lahir, saya mulai memahami tentang arti dan posisi seorang Ustadz Rahmat di mata para murid dan pengagum-pengagumnya, termasuk saya yang secara ikhlas dan ridha ingin mengaku sebagai salah satu pengagum beliau.

“Misi utamanya adalah pewarisan”.


Kalimat singkat inilah yang membuat saya, sebagaimana yang saya sebutkan di awal tulisan, termenung. Sebuah kalimat yang tertulis dalam Pengantar Penerbit di buku Pilar-Pilar Asasi itu sungguh telah menggugah relung terdalam hati saya akan makna sebuah tulisan.

“Sebab ini bukan soal suka membaca atau tidak. Tapi bagaimana kami menjembatani proses pewarisan itu.”


Sampai di sini saya mulai memahami mengapa Allah menurunkan surat Al Qalam yang bermakna pena, mengapa ayat terpanjang dalam Al Qur’an berbicara tentang menulis perihal hutang-piutang, mengapa Al Qur’an yang tadinya dihapal kemudian harus dituangkan dalam bentuk tulisan, mengapa kisah orang-orang shalih bernama Wadd, Suwa, Yaghut, Ya'uq, dan Nasr menjadi diberhalakan karena tiadanya objek tulisan, mengapa Hasan Al Banna, disela-sela kesibukan beliau mengasuh umat yang terjajah, yang sungguh di luar akal sehat, bisa mengasuh pula majalah, koran dwi mingguan, koran harian, sampai menulis catatan-catatan harian serta sebuah memoar, mengapa seorang Sayyid Quthb dan Buya Hamka yang dipenjara oleh rezim tiran masih sempat menulis sebuah tafsir fenomenal,  dan mengapa seorang Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz menelusuri dokumen-dokumen lama serta mencari kembali artikel-artikel lawas yang berserakan itu menjadi berjilid buku yang berjudul Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun, mengapa seorang Ahmad Isa Asyur harus 'repot-repot' menyalin semua transkrip ceramah-ceramah Hasan Al Banna menjadi sebuah catatan sejarah yang sangat penting yang kini kita kenal sebagai Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna, semua itu tak lain dan tak bukan adalah karena menulis adalah sebuah kerja pewarisan. Mereka yakin bahwa apa yang mereka tuliskan adalah warisan paling berharga yang bisa mereka tinggalkan kepada generasi mendatang setelah mereka tiada.

Ketika kita menulis, maka seharusnya kita tak perlu risau apakah tulisan kita dibaca orang atau tidak, apakah tulisan kita bisa dimengerti atau tidak, apakah pikiran yang ada di kepala kita itu perlu untuk dituliskan atau tidak, karena ini adalah soal pewarisan. Pewarisan yang akan menjembatani kita dengan anak cucu kelak, pewarisan yang akan memaknai seberapa berarti diri kita di masa depan kelak, dan pewarisan yang akan menentukan posisi kita di hadapanNya kelak.

Karena menulis adalah sebuah kerja pewarisan, maka hanya warisan yang terbaik sajalah yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang kelak. Hanya warisan yang bermakna dan berdaya guna sajalah yang akan kita berikan kepada penerus kita kelak. Hanya warisan yang menggugah kesadaran dan mengunggah keimananlah yang akan kita sampaikan kepada generasi mendatang.

Maka, ketika generasi saat ini tengah asyik-masyuk dengan kegalauan dan kebanci-bancian, ketika generasi saat ini tengah sibuk dengan perkara-perkara material semata, atau ketika generasi saat ini menjadi generasi pembangkang yang tak mengerti arti sebuah tata krama dan etika, atau ketika generasi muda islam saat ini tak mengerti hakikat hidupnya di dunia dan tenggelam dalam nafsu dunia saja, maka pertanyaan paling mendasar yang wajib kita lontarkan saat ini adalah: gerangan warisan apa yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelum kita?

Dan ketika generasi saat ini masih berada dalam lembah kebingungan sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka warisan seperti apakah yang kelak akan mereka tinggalkan bagi generasi sepeninggalnya? Warisan apakah yang akan kita tinggalkan untuk generasi penerus kita? Warisan apakah yang akan saya tinggalkan untuk anak cucu saya?

Maha Benar Allah yang telah berfirman dalam surat An Nisa ayat 8 yang berarti,

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”


Dan hanya kepada Allah-lah kita menyembah dan memohon pertolongan. [wahidnugroho.com]


H2, Juni 2012 


Reaksi:

1 komentar: