Senin, 11 Juli 2016

Kalau Sudah Cinta Jangan Manja


Sudah sering saya berkata terusterang kepadanya bahwa produk-produk kecantikan itu tidak berguna banyak, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, baginya. Meski ia kerap berdalih dan beralasan bahwa itu adalah bagian dari ikhtiarnya merawat wajahnya yang sudah kelewat terawat itu, saya tetap tidak mengacuhkannya dan bergeming dengan keyakinan awal: bahwa produk kosmetik itu hanya akan merusak wajahnya.
            Istri yang kelewat pesolek itu, bagi saya, adalah istri yang terlalu meragukan kesejatian cinta suaminya. Sebegitunya? Karena mereka beranggapan bahwa cinta suaminya kepadanya hanya bersifat fisikal semata. Kasat mata dan tergantung pada warna yang teraba. Maka jadilah bibir digincu sedemikian tebal, rambut yang sudah lurus halus ditata sedemikian ikal, pipi yang mulus dipupur sedemikian kimpal dengan dalih agar suaminya betah memandanginya dan tidak berpaling ke perempuan lain yang jauh lebih menarik daripada dirinya. Aih, lemah sekali cintamu wahai lelaki!
            Saya bersyukur bahwa istri saya bukan pesolek tulen. Ia, bisa dibilang, adalah seorang pesolek yang buruk. Bahkan sangat buruk. Setidaknya menurut saya. Karena ia sudah merebut perhatian saya meski tanpa pulasan ini itu di wajahnya. Memang, cukup sering ia dipuji oleh teman-temannya perihal wajahnya yang seperti wajah bayi itu. Pertanyaannya, perlukah pujian-pujian itu ada jika pujian dari suaminya yang seorang ini sudah berbobot milyaran kali lebih baik dari pujian-pujian yang jumlahnya hanya satu dua cuil itu?
            Beribu maaf saya kepada para pengusaha produk kecantikan. Bukan saya hendak meragukan kualitas jualan sampeyan. Sama sekali bukan. Ini soal istri saya, selera saya, kesukaan saya, subjektifitas saya, yang menganggap bahwa produk-produk yang beredar itu sama sekali tidak garis lurus dengan kuantitas dan kualitas cinta saya padanya, istri saya itu. Betapa kehormatan saya serasa dicoreng-moreng ketika cinta saya kepadanya diragukan lantaran fisiknya yang tak lagi seginak-ginuk dan seclemeguk seperti dulu?
            Padahal, dengan semakin bertambahnya usia pernikahan, cinta antara suami dan istri itu sudah harus lepas dari unsur-unsur badaniah ansich. Ketika usia pernikahan semakin bertambah, masalah cinta tidak lagi diukur dari perkara jerawat di jidat, pipi terawat, dan bibir berkilat. Sungguh, cinta tidak semanja itu.
Cinta yang sudah dimakan usia seharusnya sudah jauh naik derajat dan bukan seperti cinta ala remajaremaji usia dini.
            Memang, istri bersolek sesekali tidak mengapa. Itu sudah bagian dari fitrah kaum hawa. Para suami pun perlu mengantarkan istri mereka ke salon kecantikan dan perawatan tubuh. Toh itu buat kebaikan kita, para suami, juga. Saya juga tidak masalah dengan itu. Wajar, lazim, dan memang sudah seharusnya demikian. Yang jadi masalah adalah ketika cinta itu sedemikian rapuh dan lemahnya sehingga ia harus diteteki terus-menerus dengan rupa-rupa fisikal itu. Itu, cinta yang membosankan semisal itu, sama sekali, bukan cinta versi saya.
            Bertahun lalu, dari sebuah buku, saya mendapati sebuah kalimat dari Ibnu Hazm yang berkata bahwa “Cinta hilang karena hilangnya sebab. Jika sebabnya abadi maka cintapun akan turut mengabadi. Jika sebabnya fana maka cintapun hanya sementara.”
Kurang lebih demikian bunyinya.
Dari situ, saya kemudian bertekad bahwa cinta ini akan saya gantungkan pada Sang Maha Segala. Bahwa cinta yang murni lagi suci lagi sejati itu harus dijauhkan dari aspek-aspek yang fana, yang sementara, dan dibatasi masa. Termasuk soal pada wajah mulus, kulit kencang, bibir merekah, dan rambut terurai. Bahwa ada asbab cinta yang lebih mulia lagi kekal yang tak perlu dipulas gincu pupur sedemikian tebal.
Pada akhirnya, tulisan ini lebih saya tujukan untuk kaum adam ketimbang kaum hawa. Bahwa cintamu seharusnya tidak (selalu) semanja itu. Dan buat kaum hawa, lintasan pikiran ini bukan apologi suami yang kurang bersemangat membelikan produk ini itu buatmu. Ini hanya soal selera dan citarasa perkara cinta.
Terakhir, terkenang saya dengan sepenggal syair Anis Matta:

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
Rindu mengelus rindu

            Kiranya demikian. [wahidnugroho.com]

Saaba, Juli 2016
Reaksi:

1 komentar: