Senin, 29 September 2008

Suami Bagi Anak Perempuanku (Kelak)



Walid bin Abdul Malik. Siapa sih yang nggak kenal dengan pemuda ini? Keren, kaya, pintar, dan berkedudukan tinggi di masyarakat. Bapaknya adalah Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah Bani Umayyah pada masa itu. Secara garis keturunan pun, Walid termasuk dalam trah ningrat di tanah Arab. Intinya, secara keseluruhan, tidak ada satu pun cela yang melekat pada diri pemuda ini. Kalo kata grup band Andra and The Backbone, Walid adalah sesuatu yang, bisa dikatakan, ”sempurna...” (pake gayanya Dedi si vokalis Andra and The Backbone)

Akan tetapi, apa gerangan yang membuat seorang lelaki bernama Sa’id ibn Musayyab rahimahullah menolak Pangeran Walid sebagai calon suami dari anak perempuannya yang cantik itu? Dan yang lebih mengejutkan lagi, Sa’id justru lebih memilih Abu Wada’an yang notabene adalah seorang lelaki yang miskin dan berasal dari golongan masyarakat papa.

Ternyata, Sa’id sang ulama Madinah tidak tergoda dengan harta dunia. Ia lebih memilih muridnya yang miskin tapi memiliki pemahaman agama yang baik ketimbang sang pangeran yang kaya.

Namun sekarang, prinsip yang dimiliki Sa’id ibn Musayyab ini tampaknya belum familiar di masyarakat kita yang masih cenderung materialis. Dengan dalih kehormatan keluarga, mereka seolah menolak lelaki baik-baik yang hendak meminang anaknya dan lebih memasang kriteria kekayaan. Padahal dengan begitu, mereka (para orangtua itu) telah menjerumuskan mereka ke dalam kawah kebinasaan.

Saya jadi ingat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi yang berbunyi seperti ini:

“Jika datang kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”

Kemudian ada yang bertanya,

“Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?”

Maka, Rasulullah Saw. menjawab, (mengulangnya tiga kali)

“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!”

So, syarat pemahaman agama adalah sebuah prinsip yang harus diambil oleh para orangtua dalam menikahkan anak perempuannya, dan sebaliknya.

Alhamdulillah, saya termasuk yang dimudahkan Allah dalam hal ini. Waktu hendak menikah dengan wanita yang sekarang telah menjadi istri saya sekarang, saya tidak dibebani apapun oleh calon mertua saya (mertuaku baek banget lo..^^). Asalkan mampu bertanggungjawab sudah cukup, begitu katanya. Meskipun apa yang dikatakan oleh mertua saya itu mendapat tantangan yang cukup keras, terutama dari keluarga besar suaminya, tapi mertua saya itu tetap kukuh (tentunya setelah diprovokasi oleh saya, he8x,,, :p). Tapi, yah, demi menghormati keluarga besar mereka, saya pun akhirnya harus mengikhlaskan sekian lembar uang saya untuk diserahkan kepada istri saya sebagai uang maharnya. Ndak papa lah, sekian ditukar sekian. Karena kalau saya pikir-pikir juga, apalah arti uang segitu dibanding keberkahan dunia dan akhirat saya (cie,,,).

Ah, saya pun juga ingin meniru Ibnul Musayyab, begitu juga mertua saya, dan orangtua-orangtua lainnya yang memberikan kemudahan kepada cowok-cowok sholeh untuk meminang anak-anak perempuan mereka. Semoga kelak ketika Allah mengamanahi saya seorang anak perempuan yang cantik (seperti ibunya ^^), Allah pun berkenan untuk melapangkan dada ini untuk memudahkan setiap lelaki beriman nan baik akhlaqnya untuk meminang anak saya itu menjadi istri bagi dunia dan akhiratnya. Amin. Karena saya nggak mau kalau keluarga saya ditimpa bencana karena silaunya saya terhadap harta dunia.

Kapan ya...?


Kambar, Agustus 2008
Reaksi:

1 komentar:

  1. Sejauh itu sudah pikirannya...
    Btw senang bertemu alumnus Ciblog dan Kublog disini...

    Setelah kedua hal tersebut tutup :(

    BalasHapus