Jumat, 22 Januari 2016

Memantaskan Diri Dalam Berkriteria

Siapakah istri impianmu? Atau jika pertanyaan itu terlalu spesifik, perempuan seperti apakah yang ingin kau sunting dan jadikan pendamping hidupmu kelak? Redaksi “seperti apa” tidak terkait dengan kondisi fisikal. Harap buang jauh-jauh pertimbangan fisikal karena itu tidak terlalu berarti untuk sebuah rasa yang tak butuh asbab teraba. Aspek-aspek seperti kulit putih atau kuning langsat, hidung mancung, dada montok, pinggul sekel, pinggang ramping, rambut lurus, tinggi sekian, suku anu dan itu, dan aspek-aspek fisik lainnya terlalu penuh dengan omong-kosong dan tipu-tipu. Cobalah menggali lebih dalam lagi. Jujurlah dengan sepenuh hati, perempuan seperti apa yang kau kehendaki, atau yang kau harapkan, sebagai istrimu? Kau perlu kriteria yang lebih dari kriteria-kriteria fisikal itu karena kau tahu bahwa segala yang sifatnya fisikal akan memiliki akhir, ada masanya akan selesai dan berkurang kualitasnya. Kau butuh kriteria yang lebih dari itu.


Sayyid Quthb punya kriteria tentang gadis impiannya: gadis yang hatinya masih perawan. Itu kriteria yang sulit dan berat. Menjaga kesucian fisik mungkin lebih mudah dilakukan ketimbang kesucian hati. Ia memasang kriteria itu bukan tanpa sebab, karena Sayyid sendiri belum pernah merasakan jatuh cinta kepada perempuan manapun kecuali ibunya sendiri. Wajar jika kemudian kriteria itu ia kedepankan. Mencari perempuan berfisik suci yang belum pernah dijamah lelaki asing adalah kesulitan pertama, mencari perempuan yang belum pernah jatuh cinta kepada lelaki asing adalah kesulitan selanjutnya. Dan akhirnya jadi sedikit rumit untuk Sayyid, karena sampai akhir hayatnya di tiang gantungan, ia belum menemukan perempuan seperti itu.


Pram sempat menggambarkan situasi ini dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia. Ketika mendapati Annelies Mellema tak lagi suci, betapa kecewanya Minke. Kekecewaan yang tak bisa dihilangkan mesti Annelies sudah menjelaskan perihal asbab ternodanya kesucian sang gadis secara tragis. Kekecewaan yang kerap tertanam betapapun ia berusaha sekuat mungkin melupakannya.


Di zaman yang semakin menggelisahkan seperti ini, mungkinkah menemukan perempuan yang hatinya masih perawan? Perempuan yang begitu ketat menjaga agar hatinya tidak mencinta kepada lelaki yang bukan siapa-siapa baginya? Aku katakan mungkin. Sangat mungkin. Dunia ini meski telah sampai pada level yang cukup menggelisahkan tapi tidaklah serusak itu. Masih ada kesempatan.


Namun biar tulisan ini terasa adil, pertanyaan itu harus ditujukan pula kepada kaum laki-laki. Jika kalian mengharapkan perempuan seperti itu, yang hatinya masih suci lagi perawan seperti itu, maka cobalah bertanya kepada diri kalian sendiri, evaluasilah hati dan jiwa kalian sendiri, jujurlah kepada nuranimu, apakah kalian sudah menjadi lelaki yang pantas menyuarakan kriteria seperti itu? Pantaskah lelaki yang berkali-kali jatuh hati mengharapkan seorang perempuan yang hatinya tak pernah jatuh ke sanubari lelaki lainnya? Aku tidak berhak menjawab pertanyaan itu.


Maka kembali lagi ke soal kejujuran. Kriteria selalu seiring dengan kepantasan diri. Pantaskah saya jika mengharapkan perempuan dengan kriteria seperti itu ketika diri saya masih seperti ini. Mampukah saya menampilkan kualitas diri yang terbaik ketika kriteria perempuan yang terbaik dari segala linilah yang saya harapkan. Jawabannya sejujur-jujurnya ada pada diri kita masing-masing.


Jadi, pertanyaan soal siapa dan apa kriteria calon istri kita akan berpulang kepada siapa dan bagaimana kualitas diri kita. Setidaknya itu yang aku yakini. Aku percaya bahwa Allah akan menghadirkan pasangan yang sesuai dengan kondisi diri kita saat ini.


Suatu hari pada masa-masa awal pernikahan, istriku bertanya tentang perempuan-perempuan yang pernah hinggap di hatiku. Dan kukatakan secara jujur bahwa aku pernah jatuh hati kepada perempuan lain sebelum dirinya tanpa harus menyebut nama-namanya. Ia tampak bisa memafhumi itu dan mencoba untuk menerimanya. Aku, meski tidak merasa pantas, lalu balik bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama, adakah nama lelaki lain yang pernah hinggap di hatinya sebelumku selain orangtua dan saudara laki-lakinya?


Ia tak langsung menjawab. Ada sedikit jeda yang tercipta. Matanya yang bening seolah mampu menembus palung jiwa terdalamku. Ia lalu berkata dengan malu-malu bahwa ia tidak pernah jatuh hati kepada lelaki lain sebelum bertemu denganku. Merasa ragu, aku kembali menegaskan pertanyaan itu dan dijawabnya dengan redaksi yang sama. Tiba-tiba saja, aku merasa mendapatkan anugerah yang melebihi kepantasan diri. Anugerah yang langsung melambungkan kesyukuran kepada Sang Pemilik Cinta, dimana hati-hati ini tergenggam di antara dua jemariNya.


Jadi demikianlah soal kriteria. Ia tidak searah, tapi ada kata 'saling' yang tersemat di antaranya. Resiprokal. Saling melengkapi. Perlu usaha lebih untuk giat memantaskan diri, dan menyamakan frekuensi. Mohon maaf. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Januari 2016