Sabtu, 23 Agustus 2008

Indonesia Apa Adanya



Memeringati HUT RI ke 63 yang udah telat banget, saya mau nyumbang foto nih. Foto ini diambil di Kecamatan Masama tanggal 17 Agustus kemaren pas saya mau pergi ke Balantak. Foto ini dibuat dengan meminjam henpon LG (tipenya lupa) punya temen saya. Hmmm, jadi inget sama masa kecil (tapi keknya masa kecil gw nggak pernah pake aksi pornoaksi begene deh :p). Maap kalo gambarnya burem. ^^

Akhirnya!

Akhirnya! Setelah lebih satu setengah tahun tinggal di Luwuk, saya berhasil berkeliling nyaris ke seluruh sudut kabupaten Banggai (sekedar info, Luwuk adalah ibukota kabupaten Banggai). Daerah yang dikenal sebagai kabupaten terluas di Sulawesi Tengah ini terdiri dari tigabelas kecamatan, yakni: Nuhon, Bunta, Pagimana, Bualemo, Balantak, Lamala, Masama, Luwuk Timur, Luwuk, Batui, Kintom, Toili, dan Toili Barat.

Bagi saya pribadi, apa yang sudah saya jalani ini bisa dikatakan sebuah torehan sejarah tersendiri. Karena, setidaknya sekali dalam seumur hidup saya yang baru menginjak angka duapuluhtiga ini, saya telah mengkhatamkan seluruh kecamatan di sebuah kabupaten tempat dinas pertama saya di KPP Luwuk, semenjak pertama kali datang ke daerah ini bulan Maret 2007 yang lalu. Alhamdulillah.

Oh iya, jadi cerita lengkapnya begini. Hari Ahad (17/8) kemarin saya dan ketiga teman saya (Candra, Jo, dan Santo) berangkat dari Luwuk menuju Bualemo melalui jalur Selatan. Itu berarti kami akan melewati lima kecamatan mulai dari Luwuk itu sendiri, kemudian Luwuk Timur, Masama, Lamala, dan Balantak, sampai akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke Bualemo.

Setelah menempuh jarak kurang lebih 210an kilometer, sampailah kami di Bualemo. Jarak dua ratus sepuluh kilometer itu jangan dibayangkan sebagai sebuah jalan yang lurus dan mulus, tapi jalan yang kami lewati benar-benar jalan kecamatan yang bergunung-gunung (Balantak adalah kecamatan yang disesaki dengan perbukitan) dan ’keriting’ (berlubang) di sana-sini. Cukup membuat motor Supra saya jadi sedikit kelabakan dengan trek yang dahsyat ini.

Ini dia reportase via fotonya.



Gambar 1. The Three Musketeer. Pas mau nyebrang ke Lamala



Gambar 2. Mau masuk ke Balantak neh ^^


Gambar 3. Habis dari Bualemo

Gambar 4. Di atas pegunungan Balantak



Gambar 5. Pelangi di atas langit Masama

Gambar 6. Wajah asli Indonesia ^^


Gambar 7. Peta perjalanannya (hiks). Kita mulai dari selatan ke utara (garis merah)

Gambar 8. He8x,,, sponsor dulu gitu ^^

Kejatuhan Cinta

Mulanya saya tidak terlalu yakin bahwa saya bisa mencintainya, wanita yang saat ini telah menjadi istri bagi saya itu. Sebelum menikah dahulu, ramai orang meyakinkan saya bahwa cinta itu bisa diupayakan, meskipun saya belum terlalu mengenal calon istri saya itu. Akan tetapi, kini saya benar-benar telah merasakannya. Setelah hampir dua bulan menikah, saya merasa bahwa saya telah jatuh cinta kepadanya. Saya telah jatuh cinta kepada bidadari itu, yang kini telah menjadi istri yang sah bagi saya.

Suatu hari, ketika tubuh kami saling merapat dalam gurauan senja, pelan saya berbisik kepadanya bahwa saya sedang jatuh cinta dengan seorang wanita yang sangat cantik. Seketika itu juga dia langsung menolak tubuhnya seraya menekuk wajahnya. Saya perhatikan lekat-lekat wajahnya sambil mengusap lembut dahinya. Kemudian sambil bersungut, dia bertanya kepada saya, siapakah wanita yang saya maksud itu. Sambil tersenyum saya membisikkan sebuah kata kepadanya, ”Kamu”. Dalam hitungan sepersekian detik, dia langsung menunduk dan langsung memeluk tubuh saya. Erat sekali.

Saya sendiri tidak terlalu paham dengan apa itu makna jatuh cinta. Yang saya pahami dari sebuah ceramah mengenai Cinta dari seorang ustadz beberapa tahun yang lalu adalah, bahwa dua orang yang sebelumnya tidak saling mencintai (mengenal), kelak mereka akan saling mencintai. Bagaimana bisa rasa cinta itu muncul? Jawabnya sederhana saja. Karena memang Allah telah menganugerahi rasa cinta itu kepada mereka berdua, suami istri itu. Penjelasannya seperti ini; bilamana ada dua orang yang keduanya sama-sama mencintai Allah, kemudian dua orang ini menikah karena Allah, maka kelak Allah akan menganugerahi cinta kepadanya. Dalam istilah saya, Allah akan ”menjatuhkan cinta” kepada sepasang insan itu sehingga jadilah cinta itu suci, dan abadi. Suci karena berasal dari yang Maha Suci, dan Abadi, karena berasal dari yang Maha Abadi.

Bisa jadi, inilah yang sedang terjadi kepada saya. Tepatnya, saya tidak sedang jatuh cinta. Tapi saya sedang kejatuhan cinta. Iya, Allah telah menjatuhkan sejumput cintaNya kepada saya sehingga saya mencintainya. Kalau menurut sebuah buku yang pernah saya baca, apa yang saya rasakan ini disebut sebagai "Penganugerahan Cinta". Mungkin analisa saya bisa saja salah. Tapi setelah saya lihat sebuah ayat di dalam Al Quran, saya kira analisa saya ada sedikit benarnya. Semoga.

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Ruum 21)


Peling, Mei 2008 Sambil memandang lelapmu Dari catatan lama

SETAHUN YANG LALU

Surat Untuk Bapak


Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
(Peterpan, Semua Tentang Kita)

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi kusapa senyummu, duhai lelaki yang keras hati. Tak lagi kudengar parau suaramu, yang kadang tersela dengan batuk karena uzurmu.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi bisa kunikmati kisah dan kesahmu. Tak lagi dapat kusimak, gundah gelisahmu akan dunia.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Tak lagi kudengar sayup-sayup tilawahmu selepas waktu shubuh, tatkala ku berbicara dengan wanitamu. ”Tak dengar”, begitu katamu jika diri ini hendak melepas rindu berdialog dengan kerut di sapamu.

Semenjak setahun yang lalu, tahun duaributujuh. Apa kabarmu, Pak? Di alam yang tak terlihat sinar mentari jua cahaya rembulan.

Melalui coretan ini, izinkanlah aku, anakmu yang tersayang ini, menceriterakan satu dua hal kepadamu. Mungkin kau tak bisa mengerti apa yang kukatakan, pak, tapi setidaknya kegundahan di hati ini bisa kuluapkan. Sebagaimana kau yang dulu setia mendengar keluh-kesahku akan dunia kala hidupmu.

Pak. Kabarku baik dan sehat, alhamdulillah. Hanya saja anakmu ini sedang ada sedikit sakit. Yah, biasalah, pak, sakitnya orang miskin. Diare dan maag. Kalau orang kaya mana sempet maag, lha wong makanan saja terhambur di sana dan di sini. Kuman-kuman diare pun aku yakin nggak akan berani mampir ke perut mereka. Lha wong dari ujung rambut sampai ujung kaki saja sudah dijejali produk-produk anti kuman. Belanja pun di supermarket mewah yang takkan pernah ditemui genangan air dan atap bocor di dalamnya.

Pak. Aku sekarang sudah beli motor pak. Motor yang dulu sering bapak impikan untuk aku miliki. Motor yang dulu bapak angankan untuk aku naiki, ke kampus, ke sekolah, ke kantor, dan kemanapun mauku. Aku tahu dan mengerti, anganmu itu dulu hanya sebatas angan. Karena kau tak mampu membelikanku motor baru. Motormu yang antikpun tak terurus. Bukan karena kau tak peduli, pak, tapi karena memang karena kau memang tak mampu. Aku mengerti pak, usahlah kau gulanakan kalbumu. Oh iya, adik juga sudah punya motor baru pak. Alhamdulillah, aku ada rejeki berlebih. Jadinya, ya, aku coba nyicil motor buat dia. Bapak tau bagaimana reaksi anak bungsumu itu ketika mendapatkan motor baru? Aku yakin, kau akan bahagia melihatnya, pak. Dia sangat senang, bahagia, terharu, atau apalah itu namanya. Intinya, dia begitu senang dengan hadiahnya itu.

Pak. Apa bapak sudah mengetahui tentang pernikahan anakmu ini? Anakmu ini sudah menikah pak. Dengan seorang wanita yang, kurang lebih, sesuai dengan apa yang kau kehendaki bertahun lalu. Saat ini, pak, menantumu itu tengah mengandung calon cucumu. Sayang ya pak, bapak nggak bisa ketemu sama dia. Tapi aku yakin, insya Allah kita akan bertemu kelak di syurgaNya. Amin.

Pak. Ternyata jadi kepala rumah tangga itu tidak mudah, ya? Harus begini harus begitu. Pikir ini dan itu. Pusing karena itu dan ini. Menanggungjawabi ini dan itu. Berencana itu dan ini. Aku baru tahu, mungkin dulu kegundahanmu jauh melebihi kegundahanku saat ini. Dulu gajimu tak seberapa, tanggunganmu justru beberapa. Tapi, dengan segala keterbatasanmu dalam mengarungi hidup yang keras ini, aku jadi tersadar, betapa kau sungguh seorang lelaki yang bertanggungjawab. Kau rela bekerja siang malam membanting tulang, sampai tak ada lagi yang bisa kau banting, demi menghidupi dan memenuhi kebutuhan anakmu ini, pak. Dari sini aku jadi menyesal, pak, karena dulu ketika hidupmu aku pernah mengkritik kepemimpinanmu seperti ini seperti itu. Astaghfirullah, malu diri ini ketika mengingat itu pak. Serasa hina diri ini ketika mengenang masa itu. Maafkan aku pak, anakmu yang tak tahu diri ini.

Pak. Kuliah adik alhamdulillah lancar. Meski ada satu dua mata kuliah yang tidak lulus, tapi setidaknya dia sudah berusaha pak. Aku jadi ingat tatkala anak bungsumu itu meneleponku, menyatakan penyesalannya karena tidak lulus di salah satu mata kuliah. Tapi biar begitu, pak, aku yakin kau akan bangga dengan anakmu itu, pak. Karena setidaknya, dia sudah mewujudkan salah satu mimpimu untuk menguliahkan dua-dua anakmu. Meski kau hanya seorang pegawai negeri golongan rendah, tapi kau pantaslah berbangga kepada kedua-dua anakmu ini. Yang satu lulusan sekolah kedinasan anu dan yang dua sedang kuliah di PTN itu.

Pak. Alhamdulillah, aku udah jadi PNS. Sebagaimana yang dulu kau inginkan atasku. Kau dulu mengatakan, bahwa PNS itu enak. Enak dikala tuanya, karena ada jaminan dari pemerintah. Enak, karena penghasilan sudah pasti dan tetap. Enak karena begini dan begitu. Kurang lebih seperti itulah kisahmu dulu kepadaku yang belum juga bisa mengikat tali sepatuku sendiri.

Pak. Bisnis mamak agak seret. Beberapa waktu yang lalu BBM naik lagi. Harga-harga kebutuhan pokok otomatis naik. Cabe sekilo jadi sekian, gula sekilo jadi sekian, minyak goreng sekilo jadi sekian, minyak tanah mulai langka, ini itu mulai mahal. Ah, apa gerangan yang hendak kau pikirkan, pak, jika sampai hari ini kau masih hidup dan melihat realita dunia yang semakin sulit dan sempit ini. Kriminalitas begitu menggila, nekat dan makin beringas. Tak pandang laki perempuan tua muda kaya miskin, semua disikat, semua digilas. Begitu edannya jaman kiwari ini pak. Beruntunglah, kau yang tak lagi ikut gundah dengan semua itu, pak.

Pak. Ingin sekali diri ini bercerita banyak kepadamu. Ingin sekali tangan ini menuliskan beribu, berjuta kisah yang sudah lewat kepadamu. Ingin sekali jemari ini mengelus rambutmu yang menipis dan penuh uban, mengusap wajahmu yang dipenuhi keriput kasar karena tuamu. Ingin sekali telinga ini mendengarkan lantunan ayat suci yang lazim kau lakukan selepas shalat shubuh di atas kursi kayu itu. Ingin sekali diri ini kau ingatkan, ”Motor sudah dicuci belum? Motor sudah diganti oli belum? Motor sudah dibeliin bensin belum?” dan tanya-tanya lainnya yang biasa kau lontarkan kepadaku.

Pak. Maaf jika anakmu yang lemah ini jarang mendoakanmu di malam-malam yang sepi. Maaf, jika anakmu yang payah ini kerap melupakanmu dalam munajat-munajat panjangku. Maaf, pak.

Pak. Ingin sekali mata ini menatap senyummu, tangismu, marahmu, tawamu, diammu, tidurmu, dan semua yang melekat pada dirimu. Meski ku tahu, itu semua tidak mungkin. Itu semua tidak akan pernah mungkin terjadi di dunia fana ini, pak. Tapi aku yakin, aku yakin dan selalu yakin, bahwa semua itu akan kembali kutemui di sana, pak, di tempat dimana tak ada lagi kegelisahan dan keresahan. Tempat dimana hanya kesenanganlah yang menjadi bahan pembicaraan, tempat dimana tak lagi dijumpa sedih dan tangis. Yang ada hanya bahagia semata.

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Peluk rindu penuh cinta dariku


Kampung Baru, Agustus 2008
5 Agustus 2007 – 5 Agustus 2008

Menulis Adalah Investasi Pikiran: Sebuah Sudut Pandang

Apa pendapat Anda tentang sebuah tulisan? Saya kira akan ada jawaban yang beragam ketika kita menemui pertanyaan semacam ini. Kalau saya sendiri akan menjawab, ”Tulisan adalah sebuah investasi pikiran”. Ya, investasi. Tulisan, menurut saya, bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk dari investasi pikiran. Dan blog adalah salah satu produk dari investasi itu, selain buku tentunya.

Memang, di era yang semakin maju ini, banyak orang telah menjadikan blog sebagai sebuah sarana untuk mengungkapkan, baik cipta, rasa dan karsa seseorang kepada khalayak ramai, selain sebagai media informasi tentunya. Di sisi lain, baik kita yakini maupun tidak, secara sadar kita telah menginvestasikan pikiran kita melalui tulisan-tulisan yang kita buat dalam sebuah blog. Blog, menurut Jonru, adalah sarana yang paling efektif untuk mengekspresikan diri kita melalui sebuah tulisan.

Dari penjelasan singkat ini saya bisa melihat kecenderungan seseorang melalui tulisan-tulisannya dalam sebuah blog. Meski saya paham bahwa pendapat saya ini bisa diperdebatkan. Hanya saja, ketika saya membaca sebuah blog, maka saya, seolah, dihadapkan pada sebuah kondisi yang sebenarnya tengah menjelaskan kepada saya mengenai apa dan siapa si pemilik blog ini.

Ketika saya berkunjung ke blog si A yang isinya kebanyakan adalah lelucon, maka saya bisa menyimpulkan bahwa si A ini adalah orang yang humoris. Ketika saya berkunjung ke blog si B yang penuh dengan renungan-renungan kontemplatif, maka saya bisa menyimpulkan bahwa si B adalah seorang yang arif. Begitu pula ketika saya membaca blognya si C yang kebanyakan ulasannya adalah tentang buku dan buku, maka jangan salahkan saya jika si C akan saya deskripsikan sebagai orang yang gemar membaca. Sama halnya ketika sebuah blog diisi dengan puisi dan segala yang berbau seni, maka saya bisa simpulkan bahwa orang tersebut memiliki jiwa seniman.

Oke, oke. Pendapat saya ini tidak bisa sepenuhnya Anda terima. Karena terkadang saya pernah menemui seorang penulis yang luar biasa tapi dari segi penampakan (penampakan?) tidak timbul kesan dalam diri saya bahwa ia adalah orang yang pernah membuat tulisan tersebut. Dari sini saya jadi ingat dengan sebuah pepatah yang berbunyi, “Don’t judge the book by it’s cover”. Maaf jika ada kesalahan dalam penulisan, karena saya bukan seorang ahlul-Inggris yang baik.

Kembali ke masalah blog.

Jika orang lain menilai blog sebagai sarana untuk berekspresi, maka saya lebih melihatnya sebagai sebuah investasi. Kenapa investasi? Karena dari blog yang kita buat, tulisan yang kita susun, pandangan yang kita berikan dan informasi yang kita bagi, itu sama saja dengan investasi kebaikan yang bisa berguna bagi siapapun yang membacanya. Termasuk dalam istilah saya ini blog-blog yang berisi cerita-cerita lucu dan sebangsanya. Bagaimanapun, saya menilai kelucuan yang ada di dalamnya itu sebagai salah satu bentuk hiburan bagi jiwa saya yang terkadang mengalami kepenatan, bete, dan sebagainya. Dalam hal ini, bergantung dari sudut pandang mana kita menilainya.

Lalu bagaimana dengan tulisan sampah? Saya tidak setuju dengan istilah sampah ini. Semua tulisan, menurut saya, adalah berharga. Saya sendiri sangat menghargai orang-orang yang telah bersusah-payah untuk menulis, apapun yang mereka tulis. Adapun sampah tidaknya sebuah tulisan, menurut saya lagi, adalah terletak pada nilai yang terkandung di dalam tulisan itu. Apakah mendorong pembacanya untuk berbuat kebaikan atau justru sebaliknya. Apakah tulisan itu mengajak pembacanya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat atau justru sebaliknya.

Terakhir. Satu yang pasti, dengan menulis, maka pikiran kita akan terpelihara, demikian ujar Hernowo, pengarang buku Mengikat Makna. Menulis akan mencegah kita dari kepikunan dan kelemahan ingatan. Dan dengan menulis, maka pikiran kita akan terinvestasikan. Sehingga, melalui tulisan yang kita investasikan itu, kita dapat berharap kemanfaatan yang bisa dikais setelah orang lain membacanya. Karena sebuah tulisan bisa bercerita banyak, meski waktu telah lewat bermasa, dan jarak telah tercakup sedemikian panjangnya.

Begitulah. Namanya juga sebuah sudut pandang. Tentunya akan ada banyak sudut yang tidak terekspos jika hanya menggunakan satu sudut ketika memandangnya.



Kambar, Agustus 2008
Tetap belajar menulis.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Bumi Manusia : Sebuah Testimoni

Judul buku : Bumi Manusia
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : 535 halaman
Cetakan : III, Desember 2006

“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” (Pramoedya Ananta Toer)

Bumi Manusia, termasuk tiga buku lainnya yang termasuk dalam Tetralogi Buru, diciptakan oleh Pram, begitu Pramoedya biasa dipanggil, saat berada di kamp kerja paksa di pulau Buru akibat keterlibatan Pram dengan Lekra, sayap kebudayaan PKI. Buku ini sebelumnya diceritakan secara lisan oleh Pram kepada teman-temannya di penjara, yang menandakan betapa Pram sangat menguasai kisah ini secara kuat, sampai akhirnya ditulis dua tahun setelah penceritaan secara lisan itu dengan sarana yang sangat terbatas. Naskah buku ini bahkan sempat dibakar oleh petugas penjara. Namun berkat kegigihan Pram dan bantuan dari seorang wartawan Australia, karya ini akhirnya berhasil diselamatkan sebelum akhirnya diterbitkan di sana.

Buku ini adalah sebuah roman sejarah. Mengisahkan tentang kehidupan Minke, seorang priyayi Jawa yang tengah gelisah dengan kondisi wangsa dan bangsanya yang terpuruk dalam kerendahdirian dan kebodohan. Di satu sisi, pergumulannya dengan peradaban Eropa telah mengangkat derajat Minke di antara bangsanya sendiri pada status yang cukup menggembirakan. Akan tetapi, semua kedigdayaan itu hanya berskala regional, karena di kalangan masyarakat Eropa totok dan Indo, Minke tetap warga kelas tiga yang tidak ada bedanya dengan Pribumi lainnya.

Coba perhatikan dialog berikut ini:

“Kau mimpi. Aku takkan jadi bupati.”

“Dengarkan dulu. Aku akan bertanya: Hai philogynik, mata kranjang, buaya darat, mana haremmu?”

Rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai Jawa yang belum beradab.”

“Mana ada Jawa, bupati pula, bukan buaya darat?”

“Aku takkan jadi bupati.”

Begitulah. Minke hidup di tengah prasangka bangsa Eropa yang merendahkan Inlander (kaum Pribumi) hingga sedemikian rupa. Sehingga yang ada di pikiran mereka adalah, Pribumi itu bodoh, budak, tak berguna, dan, rendah.

Ada banyak dialog cerdas yang terdapat dalam buku ini. Kekritisan dibalut dengan kecerdasan, mengiringi hampir di semua halamannya. Lihat saja dialog Minke dengan Jean Marais berikut ini ketika Minke terkena sassus (gosip)yang kurang enak terkait pergaulannya dengan Nyai Ontosoroh, seorang Nyai Pribumi yang sangat cerdas dan berhasil menggugah relung intelektual Minke. Wanita inilah yang kelak akan menjadi mertua sekaligus orang yang memengaruhi pemikiran Minke terhadap dunia:

“Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, dan benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui benar-tidaknya pendapat umum itu.”

“Jadi kau anjurkan aku datang lagi ke sana?”

“Aku anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik dari hakimnya sendiri.”

“Jean, kau memang sahabatku. Aku kira kau akan adili aku.”

“Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk perkara.”

Zaman itu, Nyai (baca: gundik) identik dengan kebobrokan moral dan kebodohan. Sehingga jika ada seorang wanita Pribumi mendapatkan predikat Nyai, sudah dipastikan, masyarakat akan mencap jelek wanita itu. Tapi ternyata, Nyai Ontosoroh adalah Nyai yang berbeda dengan Nyai kebanyakan. Ia mampu membaca dan berbahasa Belanda dengan sangat baik. Sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di masa itu. Itulah yang menarik Minke untuk bergaul dengan Nyai Ontosoroh walaupun ramai orang membicarakan mereka.

Di samping itu, buku ini tetaplah sebuah roman. Sehingga yang namanya kisah cinta tetap tak lupa disisipkan oleh Pram. Kisah cinta dalam buku ini berbicara tentang Minke dan Annelies Mellema, anak dari Nyai Ontosoroh yang merupakan Indo. Ada sebuah dialog antara Minke dan Annelies yang cukup membuat saya tersenyum sendiri saat membacanya.

“Pernah kau lihat gambar Sri Ratu?”

“Tentu saja. Cantik bukan kepalang!”

“Ya. Kau tak salah.”

“Mengapa?”

“Kau lebih daripadanya.”

Secara keseluruhan, buku ini memang menarik perhatian saya. Entah apa yang ada di dalam benak Jaksa Agung di era awal delapan puluhan sehingga melarang peredaran buku ini. Padahal buku ini begitu laris di luar negeri bak kacang goreng. Bahkan paska pelarangan terbitnya, Bumi Manusia termasuk buku yang paling banyak dicari setelah karya Marx di masa itu.

Pram, melalui karyanya ini, adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah masuk nominasi penerima nobel sastra. Namun karena ada suara-suara sumbang yang bicara tentang masa lalu Pram yang gelap, nominasi itu pun hanya bisa maju mundur tanpa ada kejelasan hasilnya.

Bicara mengenai buku ini, maka kita akan berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Pram terhadap nasionnya lewat tokoh Minke. Selain itu, Pram juga meletakkan kritik-kritiknya atas peradaban Eropa yang maju tapi tak mengenal kemanusiaan, kejawaan yang membelenggu, kebodohan dan keengganan Pribumi untuk maju, serta sindiran-sindiran Pram terhadap bangsanya yang masih terjebak dalam kekerdilan.

Lihatlah dua kritiknya terhadap kekerdilan budaya Jawa dan kejumawaan Eropa berikut ini:

“Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam? Tak pernah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampai hati mewariskan adat semacam ini?”

“Apabila tak ada yang mau mendengarkan, tahulah aku: omongkosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan itu. Omongkosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai: kehormatan, keringat, hak, bahkan juga anak dan istri.”

Saya melihat Pram sebagai sosok yang sangat menghargai perempuan. Ini terlihat dari hadirnya empat tokoh wanita yang turut mewarnai dan bahkan memengaruhi pemikirannya dengan sangat dominan. Keempat perempuan itu adalah Nyai Ontosoroh, Ibundanya sendiri, Annelies Mellema, dan Juffrouw Magda Peters. Selain itu ada juga Miriam dan Sarah de la Croix yang turut berdiskusi dengan pemikiran Minke lewat surat-suratnya yang penuh ekspektasi terhadap kemajuan Pribumi di masa depan. Banyaknya perempuan yang berpengaruh dalam tokoh ini memang berakar dari pribadi Pram sendiri yang dikabarkan sangat dekat dengan ibunya. Sehingga tak heran jika Pram mewakilkan sosok ibunya itu lewat dua tokoh perempuan: Nyai Ontosoroh dan Ibundanya.

Dari segi fisik, buku ini memiliki cover yang cukup antik. Warna hijau tua dipadu dengan warna krem yang lembut, membingkai sebuah lukisan yang bergambar dua orang pria dan dua orang perempuan yang sedang duduk di atas bendi tanpa atap. Di belakang mereka ada sebuah rumah dan lapangan yang sangat luas bergaya Eropa abad 19. Dialog-dialog di dalam buku ini sangat unik, karena Pram menggunakan gaya bahasa Indonesia lama dalam penceritaannya. Dengan kesalahan pengetikan yang nyaris tidak ada, pemilihan huruf dan spasi yang cukup baik, menambah nyaman mata saya saat membaca buku yang cukup tebal ini.

Ohya, Bumi Manusia ini sudah menerima banyak sekali penghargaan internasional, mulai dari Amerika, Jepang, Australia, Norwegia, Filipina, Belanda dan sebagainya. Buku yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa asing ini memang telah memberikan sumbangan pemikiran yang brilian terhadap dunia yang kala itu, mungkin juga sekarang, tengah berada dalam cengkeraman tirani penguasa yang bobrok dan korup. Inilah mungkin yang menyebabkan Pram tergolong ke dalam idealis cerdas, karena ia melakukan perlawanan tidak melalui jalan kekerasan, tapi melalui jalan pemikiran dan penulisan. Tak heran, ada ungkapan yang pernah saya dengar mengenai Pram ini yang berkata, “Pram adalah manusia yang dicintai dunia, tapi dibenci bangsanya sendiri.”

Begitulah. Di tangan Pram, sejarah terasa begitu hidup dan menghidupkan, karena kita diposisikan sebagai pelaku utama saat mengikuti kisah ini.

Selamat membaca!
Datu Adam, Januari 2008

Jumat, 15 Agustus 2008

Qui Scribit, Bis Legit



Siapa yang menulis, itu berarti dia membaca dua kali. Kurang lebih demikianlah arti dari kalimat latin di atas. Karena dengan menulis, itu berarti kita menyampaikan kembali apa-apa yang telah kita dapatkan sebelumnya dari apa yang sudah kita baca.

Tulisan yang kita buat sebenarnya berasal dari kemampuan kita dalam membaca pertanda-pertanda yang tersebar di penjuru mayapada. Saat tangan kita menekan tuts keyboard maupun menulis di atas berhelai kertas, itu berarti bahwa kita telah memindahkan segala yang tersimpan dalam ruang baca kita kepada sebuah media baru yang bisa diketahui dan dinikmati banyak orang. Media itu bernama tulisan.

Ruang baca sendiri tidak terbatas pada pengertian ruang baca pada umumnya, yakni dengan membaca buku semata. Ruang baca itu bisa berwujud apa saja dan dimana saja. Ruang baca bisa terdapat pada angin yang berhembus, pada malam yang gelap, pada debu yang bertebangan, pada tangis seorang anak, pada cinta orangtua, pada sampah yang berserakan, pada teman kita yang sedang marah atau jatuh cinta, dan juga pada banyak hal. Termasuk pada diamnya kita, maka di situlah terdapat ruang baca. Saya menyebutnya dengan inspirasi.

Inspirasi adalah motor penggerak bagi penulis untuk menulis. Dengan perantara inspirasi, maka tabungan pengetahuan dan pengalaman yang tertimbun di dalam diri seorang calon penulis akan mudah untuk disalurkan dalam berbagai bentuk. Saluran itu bisa berupa catatan harian (diary), puisi, essai, opini, resensi, atau coretan ringan seperti yang saya lakukan ini. “Apa yang terjadi adalah sebuah kisah”, demikian ujar Kaisar Oktavianus Augustus. Sehingga, tak ada salahnya untuk berbagi kisah-kisah yang penuh hikmah dan pelajaran, karena semua manusia pasti memiliki kisahnya sendiri. Ruang bacanya sendiri.

Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh para penulis dalam merancang sebentuk saluran yang sesuai dengan keinginan, kemampuan, dan juga kebutuhannya. Tidak ada aturan yang baku dan mengikat bahwa kita harus menulis ini atau itu. Tidak ada. Yang ada adalah sebuah kesepakatan tak tertulis agar tulisan yang kita buat bisa bermanfaat bagi sesama.

Kunci utama dari semua itu adalah mencoba. Dengan mencoba, maka kita akan mengetahui letak kekurangan dan kesalahan pada karya kita. Dengan mencoba, maka kita akan memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah guru yang terbaik. Sudah cukup bagi kita untuk berkutat pada gumaman-gumaman pelan dan suara-suara lemah yang hanya bergaung di ujung lorong. Sekaranglah saatnya bagi kita untuk mengukir gumaman itu di tembok-tembok waktu yang panjang. Karena dengan begitu, kita telah berusaha untuk mewariskan sebuah nilai yang kelak, harapannya, akan tetap dikenang oleh sejarah. Practice, practice, and practice. Begitulah ujar seorang penulis ketika ia ditanya tentang tips menulis yang baik.

Saya sudah mencoba untuk memulai dan sedang berusaha untuk menikmati masa percobaan saya itu dengan sebaik dan serileks mungkin. Meluaskan ruang baca saya hingga ke sudut-sudut yang jarang terekspos. Menyebarkan jaring-jaring penangkap inspirasi yang kian banyak bertebaran di segala penjuru mata angin. Karena saya bertekad untuk menghasilkan karya-karya yang, mengutip perkataan Andrea Hirata sang pengarang tetralogi Laskar Pelangi, mampu menggerakkan pembacanya untuk melakukan hal-hal yang luhur setelah membacanya. Begitulah.


Saatnya berburu inspirasi.


Datu Adam, kamarku berantakan sekali Dari tumpukan file lama

Minggu, 03 Agustus 2008

Hanya Di Luwuk Saja


Hanya ada di Indonesia. Kalo nggak salah, acara ini ada setiap pagi di sebuah acara berita yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini. Acara tersebut berisi tentang fenomena-fenomena yang hanya ada di Indonesia. Mulai dari makanan sampai kebiasaan rakyat negeri yang jumlah penduduknya sudah lebih dari dua ratus juta ini.

Nah, saya juga nggak mau kalah dunk. Secara saya tinggal di sebuah kota yang namanya masih cukup asing di telinga rakyat Indonesia, yakni di Luwuk. Tau nggak Luwuk itu dimana? Nah, belom tau khan? Karena itulah, saya ingin membagi fenomena-fenomena yang hanya ada di Luwuk. Atau tepatnya, khas Luwuk deh. Kan bisa jadi fenomena ini ada di daerah lain, tapi dengan nama yang berbeda. Kali aja ada di antara Anda yang suatu hari nanti penempatan di Luwuk inih^^. Ok, kita mulai yuks^^.

Sambel Ijo

Suka masakan Padang? Nah, kalo suka, biasanya ada satu hidangan yang khas banget masakan Padang ini. Namanya sambel ijo. Tau donk. Itu tuh, sambel yang dibuat dari cabai hijau dan diulek agak2 kasar. Nah, kalo makan di warung Padang nggak pake sama yang namanya sambel ijo ibarat makan sayur tanpa sayuran, alias nggak lengkap.

Kalo Anda berkunjung ke Luwuk, coba deh cari warung masakan Padang dan tanya, ada sambel ijonya apa nggak. Dan jawabannya adalah tidak ada. Ketika saya tanya kenapa, seorang ibu yang memiliki sebuah warung Padang berkata kepada saya, "Orang sini nggak doyan sambel ijo pak. Kalau pun dibuat ntar saya bisa dibilang orang pelit karena nyajiin sambel yang cabenya masih mentah".

Yah, begitulah.

Martabak Telor dan Terang Bulan

Mau beli martabak manis di Luwuk? Hati2 lho, jangan sampe kebolak-balik. Kenapa? Karena kalau kita mau beli martabak manis tapi pas bilang ke penjualnya kita mau beli martabak, bisa-bisa kita dibuatin martabak telor. Karena kalau mau beli martabak manis, tapi bilangnya terang bulan, bukan martabak. Di Luwuk, Terang bulan itu berarti martabak manis, dan martabak berarti martabak telor.

Oh iya, di Luwuk juga jangan harap bisa dapet martabak telor yang bahan dasarnya telor bebek. Karena orang Luwuk nggak doyan. Aneh rasanya, begitu kata mereka. Padahal justru martabak yang pake telor bebek itu yang enak.

Oncom

Anda yang combrolovers tentunya tau donk sama yang namanya oncom. Itu lho, makanan ringan yang dibuat dari parutan singkong, kelapa, dan diisi dengan tumis oncom. Di Luwuk, jangan harap bisa ketemu sama makanan yang satu ini. Karena di Luwuk tidak ada oncom. Tanyalah ke mama-mama di pasar-pasar Luwuk apa itu oncom, dan pastikan mereka akan menggeleng sembari berbalik bertanya, "Apa itu oncom?"

Yah, secara ndak ada oncom, akhirnya saya kalau mau buat sayur asem terpaksa nggak pake oncom deh. T_T

Ojek

Sebagaimana Bogor yang (katanya) dijuluki dengan kota yang banyak angkot, maka Luwuk dijuluki sebagai kota seribu ojek. Bayangin aja, ada sekitar seribu tukang ojek di Luwuk ini, malah bisa jadi jumlahnya bisa lebih dari itu. Padahal dulu jumlah tukang ojek dibatasi oleh pemerintah agar tidak semrawut dan lebih tertib. Namun dengan bergantinya birokrasi tentu saja akan membawa kebijakan baru buat warganya.

Efeknya? Kalo bisa hindari deh berjalan kaki di Kota Luwuk. Karena apa? Karena baru keluar rumah udah diklakson sama tukang ojek. Baru jalan sedikit udah diklakson tukang ojek lainnya. Belom lagi wajah-wajah nyalang para tukang ojek yang sedang berburu calon penumpang, ngebikin jalan santai di Luwuk jadi bikin ilfill ajah.

Nah, itu baru sebagian kecil aja beberapa fenomena yang hanya ada di Luwuk. Sisanya nanti disambung lagi, insya Allah. Secara masih ada banyak cerita yang mau saya sharing tentang Luwuk dan pernak-perniknya. Nah, bagaimana dengan daerah Anda?

Sabtu, 02 Agustus 2008

Nikah dan Semangat Baca

Saya akui, frekuensi baca saya paska menikah terasa menurun. Apalagi pada medio tiga bulan pertama. Hampir tidak ada satu judul buku pun yang berhasil saya tamatkan pada jangka waktu ini, meskipun kegiatan membaca saya masih ada. Oleh karenanya, ketika dalam pekan ini saya berhasil menamatkan dua buah buku yang cukup tebal, saya merasa begitu berbahagia.

Saat menulis judul ini, saya jadi teringat dengan sebuah tantangan yang dilontarkan oleh seorang sahabat kepada saya. Tantangannya simpel. Dia hanya ingin melihat apakah menikah akan memengaruhi frekuensi baca saya yang, ketika belum menikah bisa dikatakan, cukup edan. Tantangan itu sendiri dilontarkan karena frekuensi baca sahabat saya ini telah ’ditaklukkan’ oleh kehadiran istrinya, dan penaklukkan itu pun berlanjut ketika anak-anaknya lahir ke dunia. Itulah mengapa, dia mengajukan tantangan itu kepada saya.

Ketika menjawab penawaran itu, spontan saya menjawab bahwa ada banyak sekali variabel yang akan memengaruhi kualitas dan kuantitas baca seseorang. Dan saya sama sekali tidak menafikan bahwa kehadiran seseorang, entah itu istri atau anak, dalam kehidupan kita pastilah akan memengaruhi dua hal tersebut.

Entah kenapa, saya merasa bahwa saya sedang membuat sebuah apologi saat menjawab tantangan itu. Tapi, saya percaya bahwa kita bisa bijak melihat persoalan ini. Bahwa kita tidak bisa begitu saja ’menyalahkan’ sebuah perkawinan atau kehadiran anak sebagai variabel tetap yang memengaruhi turunnya kuantitas baca, meskipun kita tidak pungkiri bahwa memang seperti itulah realita yang ada. Adapun yang harus kita perhatikan, bahwa saat hidup kita berubah, maka manajemen hidup kita pun juga harus kita ubah. Termasuk dalam hal ini menajemen baca.

Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa menurunnya frekuensi baca saya paska menikah bukan dikarenakan adanya sang belahan jiwa yang kini sudah menemani. Akan tetapi lebih kepada lemahnya perhatian saya terhadap manajemen baca yang saya kira sudah usang dan layak dikaji kembali.

Adapun istri, saya lebih melihatnya sebagai partner bagi saya dalam hal ini. Sehingga, ketika saya hendak membuat komitmen terhadap manajemen baca ini, saya, pastilah, harus mengkomunikasikannya kepada istri tercinta. Sehingga tidak ada yang akan dirugikan dalam hal ini, baik kewajiban saya sebagai seorang suami, maupun kewajiban saya untuk menuntut ilmu.

Semoga Allah menghendaki. Amin.

Kampung Baru, Juli 2008 Evaluasi sederhana paska 3 bulan menikah

KETIKA PARPOL BERINTERAKSI DENGAN BUDAYA

Ditulis oleh : Wahid Nugroho
PNS dan Penikmat Budaya


Suatu hari, mata saya menangkap sebuah pemandangan yang cukup unik. Pemandangan itu adalah sebuah pamflet kecil yang tertempel di dinding sebuah toko. Pertanyaannya adalah, apa yang menarik dari sebuah pamflet? Kalau dibilang menarik, saya kira tidak juga. Karena ukuran pamflet itu yang cukup kecil dan tidak mencolok mata. Tapi kalo disebut, unik, saya tidak akan menolak istilah ini. Kenapa? Karena pesan yang tercantum di dalam pamflet itulah yang membuat mata saya jadi enggan berpaling untuk melewatkannya. Kata-kata itu berbunyi begini: PKS, Bole Bagitu?

Memang, bicara mengenai partai politik dan budaya, maka PKS-lah, sampai hari ini, yang dapat memanfaatkannya dengan cantik. Padahal kita sama-sama ketahui bahwa PKS adalah partai yang berbasiskan islam. Dan seperti kebanyakan parpol berbasis islam, yang saya tahu, hampir tidak ada satu pun dari mereka yang memerhatikan hal yang satu ini. Karena di saat mereka masih berkutat dengan isu-isu yang sifatnya ideologis, PKS tampaknya telah berlepas dari isu-isu itu. Dalam hubungannya dengan budaya, PKS, menurut saya, adalah yang berhasil memanfaatkan unsur yang satu ini dalam teknik berpolitik mereka.

Begitu pula dengan parpol lainnya. Saat para aktivis parpol dan pengamat politik sibuk menghitung dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan dalam pemilu mendatang, PKS ternyata tidak sekonyong-konyong terjebak dalam isu itu semata. Di sisi lain, saat PKS sibuk mempersiapkan pemilu, mereka ternyata sudah menaruh perhatian, bahkan menggarap isu ini dengan serius.

Apa tolok ukur saya berbicara seperti ini? Sederhana saja. Cobalah sejenak kita melihat ke luar, apa saja produk budaya dari parpol islam ini yang sudah dapat kita nikmati. Nasyid adalah salah satunya. Dahulu, di era tahun 90an, nasyid baru berupa lagu-lagu berbahasa arab dengan syair-syair yang isinya lebih bersifat heroik. Tapi sekarang, nasyid telah menggarap tema-tema yang lebih bersifat umum. Bahkan, di beberapa daerah, muncul nasyider-nasyider, sebuah istilah untuk pelantun nasyid, yang mengemas nasyid mereka dengan balutan bahasa daerah.

Kalau kita ingat dengan kemenangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf di Pilgub Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, maka kita juga harus memerhatikan salah satu strategi mereka dalam berkomunikasi pada masyarakat dalam setiap kampanyenya. Apa itu? Ternyata mereka memanfaatkan nasyid berbahasa Sunda sebagai bahasa politik mereka kepada masyarakat Jawa Barat.

Seingat saya, dari dulu, bahkan sampai sekarang, PKS tidak pernah melewatkan suguhan nasyid ini dalam setiap aksinya. Mulai dari demonstrasi-demonstrasi yang mereka lakukan maupun dalam aksi kampanyenya. Dan mulailah kita mengenal tim nasyid Izzatul Islam, Ruhul Jadid, dan Shoutul Harokah. Yang terakhir ini adalah tim nasyid yang diarsiteki oleh salah seorang anggota DPR dari partai berlambang padi emas ini. Saya sendiri pernah mendapat kiriman sebuah lagu Jawa yang isinya ajakan untuk memilih PKS dari teman saya di Jawa.

Baru-baru ini malah kita dapati berita tentang PKS yang melakukan launching film buatan kader PKS sendiri yang berjudul Sang Murabbi. Sebuah film yang mengisahkan salah seorang tokoh pendiri PKS yang juga anggota DPR yang telah wafat tahun 2005 yang lalu, yakni Ustadz Rahmat Abdullah. Sebuah pertanda yang semakin menegaskan PKS sebagai parpol yang sangat menaruh perhatian dengan budaya.

Kembali ke masalah pamflet. Saya jadi teringat dengan Ramadhan tahun lalu yang merupakan Ramadhan pertama saya di kota Berair ini. Waktu itu saya melihat beberapa spanduk ucapan dari parpol ini dengan kemasan yang sangat unik. Yakni, lagi-lagi, mereka (PKS) menggunakan bahasa lokal, meski pasaran, dalam pesan-pesan Ramadhan mereka. Satu hal yang belum pernah saya dapatkan dari parpol lainnya.

Dari sekelumit contoh yang saya sebutkan di atas, tidaklah salah jika PKS telah berhasil menembus sekat budaya yang selama ini mengerangkeng partai Islam atau partai berbasis agama. PKS telah menjadi contoh, bahwa parpol pun bisa pula melahrkan basis sosial baru berdasarkan budaya alternatif, tanpa kehilangan identitas politiknya yang hakiki.

Ke depannya, saya melihat PKS perlu menggarap aspek ini dengan serius. Karena bukan tidak mungkin, orang-orang yang tadinya curiga dengan pergerakan PKS, karena ketidaktahuan mereka, dapat lebih terbuka hatinya untuk memberikan dukungan kepada PKS di pemilu mendatang.


Tulisan ini pernah dimuat di Luwuk Post

MEMBACA DAN MENULIS ITU LUAR BIASA


Sepekan belakangan ini saya sedang asyik-asyiknya melahap buku-buku yang membahas mengenai membaca dan menulis. Beberapa buku yang sedang saya lahap itu sebenarnya adalah buku-buku lama yang sudah pernah saya baca, tapi entah kenapa, saya merasa ingin sekali menikmati kembali tulisan-tulisan bertenaga yang disajikan oleh para penulis buku tersebut. Adapun buku yang sedang saya nikmati ada dua, yakni Membuat Anak Gila Membaca (MAGM) karangan Muhammad Fauzil Adhim dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza (ABISP) karangan Hernowo.

Kedua buku itu kebetulan saya impor dari luar kota. Buku ABISP saya beli di Bandung dan buku MAGM saya beli ketika berada di Gorontalo beberapa bulan yang lalu. Dua buku ini sangat menarik, khususnya buku yang berjudul ABISP, karena saya merasa dipecut untuk bisa menghasilkan ”sesuatu” dari apa yang pernah saya baca. ”Sesuatu” itulah yang dimaksud dengan manfaat. Hernowo menjelaskan bahwa efek lanjutan dari orang yang suka membaca adalah menulis. Menuliskan apa yang sudah dibaca merupakan salah satu upaya untuk mengikat makna dari buku yang telah kita lahap itu. Mungkin kalimat simpelnya adalah, dengan menuliskan kembali hasil bacaan kita ke dalam tulisan, maka bacaan yang telah kita lahap itu bisa kita lebih kita pahami dengan maksimal.

Ini tentu saja sejalan dengan apa yang saya pahami dari kitab suci saya, Al Quran. Saya ingat sekali, bahwa wahyu pertama dalam Al Quran adalah 5 ayat pertama di surat Al Alaq yang berbunyi ”Iqra’”, yang artinya adalah ”bacalah!”. Ayat ini menandakan bahwa islam adalah agama yang menjadikan membaca sebagai sesuatu yang ditekankan oleh agama. Jadi, kalau ada orang Islam yang kurang suka membaca, itu berarti dia belum memahami agama ini secara baik.

Kemudian, saya jadi teringat, bahwa setelah ayat ”bacalah!” ini turun, datanglah wahyu selanjutnya yang merupakan kelanjutan dari apa yang kita sebut sebagai ”tradisi intelektual”, yakni Qalam. Qalam sendiri dalam bahasa indonesia artinya adalah pena, dan pena, kita ketahui, adalah alat untuk menulis. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa membaca dan menulis adalah sebuah unsur penting yang dimiliki oleh agama islam sehingga agama ini, bisa dibilang, adalah agama yang mendorong kemajuan.

Jadi, kalau ada orang yang menuduh islam sebagai agama yang terbelakang, kuno dan sebagainya, maka saya sarankan kepada mereka untuk kembali mempelajari agama ini dengan akal dan hati yang jernih. Bahkan bisa dibilang, hasanah dunia pendidikan yang ada di dunia ini memiliki hutang besar kepada peradaban islam, yang sama-sama kita ketahui dipenuhi dengan penemuan-penemuan yang menakjubkan. Salah satu contohnya adalah angka. Angka yang sekarang kita pakai di dunia adalah angka arab. 1,2, dan seterusnya. Bayangkan jika sampai hari ini kita masih menggunakan angka Romawi. Tentu kita bisa bayangkan kesulitan yang terjadi di dunia ini. Adapun mengapa dunia islam sekarang ini sempat mengalami kemunduran, maka orang islamlah yang pertama kali harus kita tunjuk sebagai penanggungjawabnya.

Nah, dari sinilah, saya kemudian jadi tersadar, betapa luar biasanya orang-orang yang rajin membaca dan menulis. Apalagi jika tulisannya itu dapat menjadi nutrisi bagi jiwa-jiwa yang membacanya. Jadi, kepada Anda yang punya kebiasaan membaca, dan menulis, saya sampaikan apresiasi saya kepada Anda. Ketahuilah bahwa apa yang Anda lakukan itu, jika dilandaskan keikhlasan niat, maka itu insya Allah akan menjadi amal sholih bagi Anda. Dan berbanggalah, bahwa kebiasaan membaca dan menulis bukanlah sebuah kebiasaan yang katro dan ndeso. Berbanggalah, bahwa apa yang Anda lakukan itu insya Allah akan mendapat apresiasi dari Allah subhanahuwata’ala sebagai bagian dari memenuhi perintahNya.

Saya pun berharap demikian. Semoga apa yang saya tulis ini dapat menjadi manfaat bagi Anda yang telah meluangkan waktu berharga Anda untuk membacanya.

Bole bagitu?

Kampung Baru, Agustus 2008